Sabtu, 26 Desember 2009

Etika Berpergian atau Bersafar 1

بِسْÙ…ِ ا للَّÙ‡ِ الرَّ Ø­ْÙ…َÙ†ِ الرَّ Ø­ِÙŠْÙ…ِ

Wahai Saudaraku yang mencintai Sunnah, Semoga Allah merahmati kita semua...

Segala puji bagi Allah Azza wajalla, kepada-Nya kita memberikan sanjungan , memohon pertolongan dan ampunan. Kepada-Nya lah saudaraku kita senantiasa berlindung dari kejahatan diri dan keburukan amal perbuatan kita. Semoga Allah Azza Wa jalla menyatukan kita semua untuk senantiasa mencintai-Nya dan mengikuti Sunnah Rasul-Nya.

Wahai Saudaraku yang mengharapkan sebaik-baik tempat kembali yakni Jannah, sehubungan dengan dua hari raya yang bisa kita jalankan didalam agama yang agung ini, maka terkadang dalam menjalankan hari raya tersebut kita sering melakukan safar atau berpergian, atau bahasa kerennya Mudik. Atau terkadang kita Mudik atau melakukan perjalanan alias bersafar dikarnakan karna tugas dari kantor atau hanya sebatas berziaroh kepada sanak saudara dan keluarga, atau bisa juga karna menuntut ilmu. Apalagi sekarang lagi banyak hari libur (tanggal merah). Nah tentunya islam sebagai agama yang sempurna tidak membiarkan hal ini berjalan dengan sendirinya. Di dalam islam telah diatur adab adab atau etika ketika kita berpergian.

Nah saudaraku yang mencintai Sunnah, sebagaimana yang kita ketahui bahwa yang namanya Bepergian alias bersafar adalah salah satu kebutuhan hidup yang tidak dapat terpisahkan dari kita selaku seorang Muslim sebab seorang Muslim harus melakukan perjalanan dan bepergian misalnya untuk berhaji, umrah, perang, menuntut ilmu, bermuamalah atau berbisnis dan mengunjungi saudar-saudara se-aqidah kita dimanapun mereka berada. Oleh karena itu, Allah Azza Wa jalla memberi perhatian besar terhadap hukum-hukum, dan etika-etika bersafar atau bepergian. Dan kita selaku Muslim tentunya harus mempelajari itu semua serta merealisasikannya ketika kita bersafar atau ber-pergian.

Untuk itu, berikut ini akan ana postingkan beberapa diantara hukum-hukum bersafar atau bepergian yang patut kita ketahui, semoga bermanfaat bagi ana pribadi dan antum sekalian :

Pertama-tama, jika kita bersafar atau bepergian, maka kita selaku orang yang disebut Musafir diperkenankan untuk mengqashar shalat-shalat fardhu yang empat raka’at. Afwan, tentunya kita semua tahu apa itu menqoshorkan. Yakni meringkas sholat yang jumlahnya empat rakaat menjadi dua rakaat. Dimana sholat yang empat rakaat seperti dzuhur, ashar serta Isya cukup kita kerjakan dua raka’at saja, kecuali sholat Maghrib maka tetap harus dikerjakan tiga rakaat begitu juga Sholat shubuh tetap harus dikerjakan dua rakaat. Selain itu, yang namanya meng-qoshor sholat bisa dilakukan sejak kita meninggalkan daerah kita hingga kembali lagi, kecuali jika kita berniat untuk menetap ditempat tujuan kita bersafar atau berpergian selama empat hari atau lebih. Hal ini disandarkan pada nash –nash ilahi pada Surah An-Nisa ayat 101

“Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, Maka tidaklah Mengapa kamu men-qashar Shalat…”

Kemudian yang juga di jadikan pegangan atau dalil dalam meng-qoshor sholat yakni sebuah hadits yang diriwayatkan An Nasai dan disahihkan At-Tirmidzi, (semoga Allah merahmati mereka), dari Anas bin malik Radhiyallahu Anhu, ia berkata, “Kami bersama Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam keluar dari Madinah ke Mekkah, dan beliau mengerjakan shalat-shalat empat raka’at, dengan dua rakaat hingga kita kembali ke Madinah.”

Selanjutnya (hukum yang kedua) yang juga patut kita ketahui diantara hukum-hukum bersafar atau berpergian yakni : jika kita selaku Musafir maka kita diperbolehkan berwudhu’ dengan membasuh lapisan atas dari sepatu kita (kalau di jaman Rasulullah disebut membasuh Khuf), tanpa kita membasuh kaki lagi (artinya sepatu tersebut tidak perlu kita buka), dimana basuhan tersebut boleh dilakukan selama tiga hari tiga malam, karena dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim , Imam Ahmad dan An-Nasai serta Ibnu majah, dari Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu Anhu, ia berkata, “Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam membolehkan membasuh sepatu selama tiga hari tiga malam bagi musafir, dan satu hari bagi orang mukim.”

Nah saudaraku yang se-Iman dan se-Aqidah, telah dua hukum dalam bersafar yang kita ketahui, adapun Hukum bersafar atau bepergian selanjutnya atau hukum yang ketiga yakni Musafir atau orang yang bepergian diperbolehkan bertayamum jika kehabisan air, atau bertayamum jika sulit mendapatkan air. Hal ini berdasarkan firman Allah Azza Wa jalla dalam Surah An-Nisa ayat 43 yang berbunyi : “Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu Telah menyentuh perempuan, Kemudian kamu tidak mendapat air, Maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu…”

Tuh mudahkan... ! Makanya banyak-banyaklah bersyukur kepada Allah, karna kita telah banyak diberi kemudahan oleh Allah Azza wa jalla dalam beribadah, salah satunya ya bertayamum. Namun bukan berarti kita lantas memudah-mudahkan segala sesuatunya. Yang jelas, sesuaikanlah segala bentuk ibadah dengan dalil dan contoh dari Rasulullah beserta para sahabat Ridwanallahu ’Alaihim jamian. Karna Rasulullah adalah sebaik-baik teladan, sedangkan Sahabat adalah sebaik-baik generasi.

Adapun hukum-hukum bersafar selanjutnya yakni seorang Musafir mendapatkan Rukhshah atau keringanan untuk tidak berpuasa selama dalam perjalanannya . Hal ini dikarnakan Allah Subhanahu Wata 'alla berfirman didalam Surah Al-Baqarah ayat 184 “Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain…”

Selain itu kita selaku Musafir, juga diperbolehkan menjamak atau menggabungkan dua waktu shalat, misalnya shalat maghrib dengan shalat isya, atau sholat dzuhur dengan sholat Ashar atau sebaliknya. Hal ini disandarkan pada hadits dari Muadz bin Jabal Radhiyallahu Anhu, ia berkata, “Kami keluar bersama Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam pada perang tabuk, kemudian beliau kerjakan shalat Dzuhur dan Shalat Ashar secara jamak dan mengerjakan shalat maghrib dan shalat Isya’ secara jamak.” Rawahu Muttafaqun ‘Alaih.

Wahai saudaraku..., satu lagi kemudahan yang Allah Azza Wajalla berikan kepada kita. Jadi kalau kita sedang berpergian, maka pergunakanlah kemudahan-kemudahan yang Allah berikan kepada kita selaku seorang Muslim. Wallahu a’lam.

9 dan 10 Muharram

Alhamdulillah…

segala puji bagi Allah Azza wajalla, kepada-Nya kita memberikan sanjungan , memohon pertolongan dan ampunan. Kepada-Nya lah wahai saudaraku, kita senantiasa berlindung dari kejahatan diri dan keburukan amal perbuatan kita. Semoga Allah Azza Wa jalla menyatukan kita semua untuk senantiasa mencintai-Nya dan mengikuti Sunnah Rasul-Nya.

Atas izin dan kehendak Allah Azza wa Jalla, tak terasa kita telah berada di Bulan Muharram. Salah satu bulan yang dimuliakan oleh Allah Azza wa Jalla. Dimana dibulan ini terdapat hari-hari yang kita dianjurkan untuk berpuasa. Di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim Rahimahullahu Ta’ala Anhu dengan nomor hadits 1163, Sahabat Abu Hurairah Radiyallahu Anhu berkata, Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam bersabda, “Puasa yang paling utama setelah puasa Ramadhan adalah puasa di bulan Muharram dan shalat yang paling utama setelah shalat wajib adalah shalat malam.”

Bahkan Bulan Muharram ini dinamakan dengan Balan Allah, sebagaimana yang dikatakan Ibnu Rajab Rahimahullahu Ta’ala Anhu di dalam kitabnya Lathaif al-Ma’arif di mana dijelaskan bahwa Nabi shalallahu’alaihi wasallam menamakan bulan Muharram dengan bulan Allah dan penyandarannya kepada Allah menunjukkan kemuliaan dan keutamaan bulan ini. Karena Allah tidak akan menyandarkan sesuatu kepadaNya kecuali sesuatu itu makhluk pilihanNya. Sebagaimana Allah Azza wa Jalla menisbatkan Muhammad, Ibrahim, Ishaq, Ya’qub dan Nabi-Nabi yang lain kepada penghambaan-Nya. Allah juga menisbatkan kepada-Nya rumah-Nya yakni Baitullah, maka ketika bulan ini memiliki keistimewaan dengan disandarkan kepada Allah dan puasa yang ada didalam bulan tersebut adalah juga ibadah yang disandarkan kepada-Nya karena puasa adalah milik-Nya, maka pantaslah bulan yang disandarkan kepada Allah ini mendapatkan keistimewaan tersendiri dengan amal yang disandarkan kepada-Nya, yakni puasa.

Didalam riwayat Imam Muslim, Abu Qatadah Radiyallahu Anhu mengatakan bahwa Nabi shalallahu’alaihi wasallam bersabda, “Puasa hari asyura’ aku mengharap Allah akan menghapus dosa-dosa di tahun sebelumnya.” Selain itu saudaraku yang mencintai Sunnah, Muawiyah bin Abu Sufyan Radiyallahu Anhu berkata, “Aku mendengar Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam bersabda, “Ini adalah hari Asyura’ dan Allah tidak mewajibkan atas kalian berpuasa, tetapi saya akan puasa, maka barangsiapa yang ingin puasa, puasalah dan barangsiapa yang ingin berbuka, berbukalah.” Hadits ini diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari Rahimahullah dengan nomor hadits 2003 serta Imam Muslim dengan nomor hadits 1129.

Bahkan didalam riwayat yang lain, juga dari Imam al-Bukhari dan Imam Muslim, Ibnu Abbas pernah ditanya tentang puasa hari asyura’, lalu beliau menjawab, “Aku tidak mengetahui Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam berpuasa pada satu hari untuk mencari keutamaannya dari hari-hari yang lain selain hari ini dan aku pun tidak mengetahui beliau berpuasa pada satu bulan untuk mencari keutamaannya dari bulan-bulan lain selain bulan ini, yakni Ramadhan.”

Nah saudaraku yang mencintai Sunnah, Para Ulama sendiri berbeda pendapat tentang puasa hari Asyura’ pada masa awal Islam. Dimana mayoritas Ulama madzhab Hanafiyah, Malikiyah, serta Hanbaliyah berpendapat pada masa awal Islam puasa Asyura’ hukumnya wajib, lalu hukum wajib tersebut dibatalkan dengan diwajibankannya puasa Ramadhan, sehingga akhirnya puasa asyura’ menjadi sunnah. Adapun moyoritas Ulama Syafi’iyah dan merupakan pendapat Imam Syafi’i Rahimahullah, bahkan pernyataannya yang tegas bahwa sejak awal hukum puasa Asyura’ adalah sunnah. Puasa asyura’ tidak pernah diwajibkan pada umat ini, tetapi kesunnahannya amat ditekankan. Namun setelah diturunkan kewajiban puasa ramadhan, ia menjadi mustahab atau hukumnya dibawah sunnah muakkad.

Adapun dasar atau sandaran dalil dari mereka para ulama dalam berpendapat yakni :

Hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dengan nomor hadits 2004 serta Imam Muslim dengan nomor hadits 1130 (semoga Allah merahmati mereka), (dimana) Ibnu Abbas berkata, “Ketika Nabi shalallahu’alaihi wasallam datang ke Madinah, beliau melihat kaum Yahudi berpuasa pada hari Asyura’, lalu beliau bertanya, ‘hari apakah ini? Orang-orang menjawab, ‘ini adalah hari yang baik, hari dimana Allah menyelamatkan kaum bani Israil dari musuh mereka, lalu Musa berpuasa pada hari itu.’ Beliau (rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam) berkata, ‘Aku lebih berhak dengan puasa Nabi Musa daripada kalian.’ Lalu Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam berpuasa dan memerintahkannya.”

Adapun dalil berikunya yakni hadits yang juga diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dengan nomor hadits 2007 serta Imam Muslim dengan nomor hadits 1135, dari Salamah bin al-Akwa, (dimana) Salamah bin al-Akwa berkata, “Nabi shalallahu’alaihi wasallam memerintahkan kepada seorang laki-laki dari Aslam, Kumandangkan kepada manusia bahwa barangsiapa yang telah mekan hendaknya berpuasa pada sisa harinya dan barangsiapa yang belum makan hendaknya berpuasa, karena hari ini adalah hari Asyura’.”

Selanjutnya saudaraku, masih dari riwayat yang dibawakan oleh al-Imam al-Bukhari dengan nomor hadits 2002 dan Imam Muslim dengan nomor hadits 1125 (semoga Allah merahmatinya) dari Ummul Mukminin ‘Aisyah Radiyallahu Anha, dimana Ummul Mukminin ‘Aisyah berkata, “Hari Asyura’ adalah hari dimana kaum Quraisy berpuasa di masa jahiliyah dan Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam juga ikut berpuasa pada masa jahiliyah. Ketika beliau datang ke Madinah, beliau berpuasa pada hari itu dan memerintahkan orang untuk berpuasa. Ketika puasa Ramadhan diwajibkan, beliau meninggalkan puasa Asyura’, maka siapa yang mau, ia berpuasa dan siapa yang tidak mau, tidak berpuasa.”

Tentunya masih ada lagi nash-nash atau dalil yang lain saudaraku, diantaranya hadits yang dibawakan Imam Muslim dengan nomor hadits 1127. Dari Abdurrahman bin Yazid, ia berkata, “al-Asy’asy bin Qais datang kepada Abdullah, saat itu ia sedang makan siang, lalu Abdullah berkata, “Wahai Abu Muhammad, kemarilah makan!’ Ia berkata, ‘Bukankah hari ini adalah hari Asyura’?’ Abdullah (kemudian) berkata, ‘Tahukah kamu apa hari Asyura’ itu?’ Ia (al-Asy’ bin Qais) berkata, ‘Hari apa itu?’ Abdullah menjawab, “Hari dimana Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam berpuasa sebelum turunnya kewajiban puasa Ramadhan dan setelah turun kewajiban puasa bulan Ramadhan, beliau meninggalkannya.”

Selanjutnya, Ath Thahawi Rahimahullah dalam Syarh Musykil al-Atsar berkata, atsar-atsar ini menjelaskan tentang pembatalan kewajiban puasa Asyura’ dan menunjukkan bahwa hukumnya telah kembali kepada sunnah setelah sebelumnya adalah wajib.

Kemudian Ibnu Abdil Bar Rahimahullah dalam al-istidzkar berkata, sabda Nabi shalallahu’alaihi wasallam, “Barangsiapa yang mau berpuasa, berpuasalah dan yang mau berbuka, berbukalah.” Menunjukkan adanya hukum mubah (boleh) setelah hukumnya wajib. Hal itu karena ada sebagian ulama yang mengatakan puasa Asyura’ sebelumnya diwajibkan dan kemudian dibatalkan dengan puasa Ramadhan.

Adapun Ibnu Qudamah Rahimahullah dalam al-Mughni berkata, diriwayatkan dari Imam Ahmad bahwa puasa Asyura’ dahulu hukumnya wajib berdasarkan hadits ‘Aisyah bahwa Nabi shalallahu’alaihi wasallam melakukannya dan memerintahkannya pula. Namun setelah puasa Ramadhan diwajibkan maka itulah puasa yang wajib (dalam Islam) dan Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam meninggalkan puasa Asyura’ sehingga siapa yang mau berpuasa, boleh berpuasa dan siapa yang tidak mau boleh berbuka.

Dan tentunya kita juga perlu penjelasan, kapan sih waktunya puasa Asyura’ itu ?

Nah telah jelas dan terang dalil-dalil tentang kapan waktu berpuasa Asyura yang sampai kepada kita dari para ulama – ulama hadits, dimana kita disunnahkan berpuasa pada tanggal sembilan dan sepuluh Muharram, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim Rahimahullah didalam shahihnya dengan nomor hadits 1134 dari Ibnu Abbas radiyallahu Anhu, dimana ia (Ibnu Abbas) berkata, “Ketika Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam berpuasa hari Asyura’ (yakni tanggal 10 Muharram) dan memerintahkannya, para sahabat berkata, ‘Wahai Rasulullah, ini adalah hari yang diagungkan kaum Yahudi dan Nashrani.’ Lalu Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam bersabda, ‘Pada tahun depan “Insya Allah” kita akan berpuasa pada tanggal sembilan.” Ibnu Abbas berkata, “Sebelum tiba tahun depan Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam telah wafat.”.

Selain itu diriwayatkan secara shahih dari Ibnu Abbas bahwa ia berkata, “Berbedalah dengan kaum Yahudi dan berpuasalah pada tanggal sembilan dan sepuluh.” Hadits shahih ini dikeluarkan oleh Abdurrazzaq Rahimahullah dalam al-Mushannaf dengan nomor hadits 7839, juga oleh ath-Thahawi Rahimahullah dalam syarh Ma’ani al-Atsar serta al-Baihaqi Rahimahullah dalam as-Sunan al-Kubra.

Selanjutnya Ibnu al-Hamam dalam Fath al-Qadir berkata, disunnahkan berpuasa Asyura’ dan puasa pada hari kesembilan.

Ada juga Az-zarqani dalam Syarh al-Muwaththa’ , dimana ia berkata, Malik, Syafi’i dan Ahmad berpendapat disunnahkan menyatukan puasa hari kesembilan dan hari kesepuluh agar tidak menyerupai kaum Yahudi yang hanya berpuasa pada hari kesepuluh saja.

Dan tak ketinggalan An-Nawawi yang berkata di dalam al-Majmu’, “Para sahabat kami dan lainnya berpendapat sunnah puasa asyura’ ( pada hari kesepuluh) dan puasa Tasu’a (pada hari kesembilan).

Kemudian Imam Ahmad Rahimahullah dalam Syarh al-Umdah berpendapat, dalam puasa Asyura’ hendaknya dilakukan puasa pada hari kesembilan dan kesepuluh berdasarkan hadits Ibnu Abbas, “Berpuasalah pada hari kesembilan dan kesepuluh.”

Namun saudaraku yang mencintai Sunnah, ada sebagian ulama yang berpendapat tentang disunnahkannya puasa Asyura’ pada tanggal sembilan, sepuluh dan sebelas, dan menurut mereka inilah yang lebih sempurna. Dimana yang berpegang pada pendapat ini berdalil dengan hadits yang diriwayat Ibnu abbas Radiyallahu Anhu bahwa Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam bersabda, “Berpuasalah pada hari Asyura’, berbedalah dengan kaum Yahudi dan berpuasalah sehari sebelumnya dan sehari setelahnya.”

Padahal saudaraku, hadits ini derajatnya sangat lemah dan diriwayatkan oleh ahmad selanjutnya al-Humaidi dalam Musnadnya, ath-Thabari dalam Tahdzib al-Atsar, kemudian Ibnu Khuzaimah Ath-Thahawi dalam Syarh Ma’ani al-Atsar, juga oleh Tamam dalam al-Fawaid, al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra serta Ibnu Adi dalam al-Kamil Dimana kesemuanya riwayat diriwayattkan melalui melalui jalan Muhammad bin abdurrahman bin Ali Ya’la dari Daud bin Ali bin Abbas dari bapaknya dari kakeknya.

Adapun mengenai hal ini, Usamah Abdul Aziz dalam kitabnya Shiyam at-tathawwu’ fadha’il wa Ahkam berpendapat, bahwa tidak ada hujjah (argumentasi) yang dapat diambil dari sebuah hadits karena ia adalah hadits yang dhoif atau lemah serta hadits yang tidak menentu (muththarib).

Untuk itu saudaraku. yang sempurna adalah berpuasa pada tanggal sembilan dan sepuluh. Sekali lagi kita puasa Asyura’ pada tanggal Sembilan dan sepuliuh, sebab itulah yang memiliki landasan hadits dan atsar yang shahih dan itulah tuntunan Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam Maka yang sempurna adalah berpuasa pada tanggal sembilan dan sepuluh. Sebab itulah yang memiliki landasan hadits dan atsar yang shahih dan itulah tuntunan Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam serta madzhab Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu.

Jadi telah jelas saudaraku, bahwa yang sempurna dalam pelaksanaan puasa asyura yakni kita berpuasa pada tanggal 9 Muharram dan tanggal 10 Muharram.,

Wallahu ‘alam.