Minggu, 30 Agustus 2009

Seputar Ramadhan "Bid'ahnya Imsak & Kerancuan Muadzin"

Assalamualaikum Warahmatullah…

Adakah Imsak di dalam Islam ?.

Lantas bagaimana dengan kata yang biasa kita dengar yakni waktu Imsak , sehingga sebagian dari kita menghentikan makan , minum dan bercampur antara suami istri sebelum adzan Subuh?

Untuk itu, mari kita simak hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, Ibnu Jarir, al-Hakim, al-Baihaqi, dan Ahmad melalui jalan Hammad, dari Muhammad bin ‘Amr, dari Abu Salamah dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu, dimana Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam bersabda


إِدَا سَمِعَ أَحَدُ كُمُ النِّدَاءَ وَاْلإِ نَاءُ فِي يَدِهِ


فَلاَ يَضَعْهُ حَتَّى يَقْضِيَ حَاجَتَهُ مِنْهُ.


“Jika salah seorang diantara kalian mendengar suara adzan sedang bejana masih di tangannya (sedang meneguk air minum), maka janganlah dia meletakkannya sehingga keperluannya pada bejana itu terpenuhi.”

Dan menurut Syaikh Salim ‘Ied al Hilalli, yang dimaksud an-nida’ di hadits tadi adalah adzan Shubuh kedua yakni saat fajar Shadiq telah tiba berdasarkan pada tambahan yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Ibnu Jarir ath Thabari (pada zaman Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam Ikhwa fillah, adzan shubuh dikumandangkan dua kali Ikhwa fillah, adzan pertama saat fajar Khadzib sedangkan adzan kedua saat fajar Shadiq dimana sholat Shubuh boleh ditegakkan). Dan makna tersebut, diperkuat oleh apa yang diriwayatkan oleh Abu Umamah Radhiyallahu Anhu, (dimana) dia bercerita : “Ketika adzan dikumandangkan , sedang bejana masih ditangan ‘Umar. Dia (Umar) bertanya, ‘Apakah aku boleh meminumnya wahai Rasulullah?’ Beliau (Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wasallam) menjawab : ‘Boleh.’ Maka ‘Umar pun meminumnya.” Hadits ini diriwayatkan Ibnu Jarir.

Dengan demikian , jelas sudah Ikhwa fillah bahwa pengadaan waktu Imsak serta pengharaman makan, minum dan bercampur pada waktu imsak terbantahkan oleh hadits tadi.

Dan kita janganlah menjadi bagian dari orang-orang yang memutarbalikkan sunnah dimana telah jelas bahwa yang sunnah adalah Menyegerakan berbuka dan mengakhirkan sahur . Dan hanya kepada Allah sepatutnya kita mengadu.

Wahai saudaraku yang mencintai Sunnah, Jika malam telah datang dari arah timur dan siang telah pergi dari arah barat serta matahari pun telah terbenam maka, dipersilahkan bagi orang yang berpuasa untuk berbuka, hal ini disandarkan kepada hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim,l dari ‘Umar Radhiyallahu Anhu, dia bercerita, Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam bersabda : “Jika malam telah datang dari arah sini dan siang telah berlalu dari arah sini serta matahari pun telah terbenam, maka orang yang berpuasa sudah boleh berbuka.” Tentunya hal ini berlangsung tepat setelah bulatan matahari terbenam, sekalipun sinarnya masih tampak. Salah satu petunjuk Nabi Shalallahu 'Alaihi Wasallam jika beliau tengah berpuasa, di mana beliau memerintahkan seseorang untuk memantau (melihat) sesuatu (yakni Matahari), dan jika (ada yang) mengatakan , “Matahari telah terbenam,” maka beliau pun langsung berbuka.

Nah sebagian orang dizaman kita ini, ada yang mengira bahwa malam itu tidak terealisasi langsung setelah matahari terbenam, tetapi masuk setelah tersebarnya kegelapan, baik dibagian timur maupun barat. Dan sungguh hal tersebut telah terjadi pada sebagian Sahabat Nabi Shalallahu 'Alaihi Wasallam, namun kemudian beliau (Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam) memberikan pemahaman bahwa waktu malam itu cukup pada permulaan gelap dari arah timur, langsung setelah bulatan matahari terbenam.

Jadi telah jelas bahwa hukum-hukum puasa yang diterangkan Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam semuanya berkaitan dengan penglihatan mata telanjang. Dan bukan rahasia lagi bahwa ibadah saum atau puasa yang kita jalani sangat berkaitan erat dengan matahari dan fajar. Maka jika ada yang meyalahi hal ini, berarti mereka telah melakukan kesalahan. Di sebagian Negara, kita dapati sebagian orang berbuka dengan berdasarkan pada matahari dan melakukan sahur berdasarkan fajar. Artinya jika matahari telah terbenam, maka mereka akan berbuka dan jika fajar shadiq telah terbit maka mereka menghentikan diri dari makan , minum dan bercampur. Tentunya amalan yang seperti inilah yang benar yang sesuai dengan syari’at. Namun di banyak tempat kita dapati para muadzin menggunakan bantuan penanggalan yang telah berlalu lebih dari 50 tahun, sehingga banyak orang mengakhirkan waktu berbuka dan menyegerakan waktu sahur, yang mengakibatkan adanya pertentangan dengan petunjuk Nabi Shalallahu 'Alaihi Wasallam. Sebagaimana kita ketahui bersama, bahwa adzan merupakan sarana pemberitahuan masuknya waktu shalat. Lantas ketika ada muadzin mengumandangkan adzan maghrib saat malam telah datang serta mengumandangkan adzan shubuh ketika fajar Kadzib, padahal menurut Sunnah, saat Magrib yakni dimana matahari telah terbenam (belum datangnya malam) dan pada saat shubuh pada saat fajar shadiq telah muncul, artinya sang muadzin mengumandangkan adzan lebih cepat atau lebih awal dari waktunya, maka yang berlaku tetap pada hukum pokoknya yakni berbuka dan sahur sesuai dengan matahari dan fajar yang telah disunnahkan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wasalam. Demikianlah yang dijelaskan Syaikh Salim ‘Ied al Hilalai dan Syaikh ‘Ali Hasan ‘Ali di dalam Kitabnya Shifatu Shaumin Nabi fii Ramadhaan.

Maka peliharalah dan pikirkanlah Ikhwa fillah !

Tentunya hal ini sangatlah krusial, sangatlah penting saudaraku, artinya penting dan tidak dapat disepelekan karna di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ibnu Majah, dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu, bahwa Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam bersabda : “Agama ini masih tetap jaya selama umat manusia menyegerakan buka puasa karena orang-orang Yahudi dan nasrani biasa mengakhirkannya. Kemudian dihadits yang lain yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, dari ‘Amr bin al-‘Ash Radhiyallahu Anhu, bahwa Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam bersabda :


فَضْلٌ مَا بَيْنَ صِيَا مِنَا وَ صِيَامِ أَهْلِ الْكِتَابِ


أَكْلَةُ السَّحَرِ.


“Perbedaan antara puasa kita dengan puasa Ahlul Kitab terletak pada makan sahur

Jadi jelaslah sudah bahwa pengadaan istilah imsak dari makan sebelum terbit fajar shadiq dengan alasan bersiap-siap diri menjelang adzan atau apapun alasannya adalah bid’ah yang diada-adakan. Wallahu a’lam

Seputar Ramadhan "Waktu Fajar"

Assalamualaikum…

Alhamdulillah , Ikhwa fillah Rahimahi Warahimakumullah… Semoga Allah Azza Wa jalla menerima amal ibadah kita di bulan ramadhan ini, … amin ya rabbal alamin.

Toyib ! Tahukah ikhwa fillah mengenai fajar. Insya Allah kata fajar telah terbiasa kita dengar. Namun bagaimana makna fajar dan cirri-ciri fajar menurut islam, yang sangat erat kaitannya dengan ibadah di Bulan ramadhan. Untuk itulah ana postingkan mengenai Fajar ini yang maraji’ serta manfaatnya ana ambil dari kitab Shifatu Shaumin Nabi fii Ramadhaan karya Syaikh Salim ‘Ied al Hilali Hafidzahullah dan Syaikh ‘Ali Hasan ‘Ali al-Halabi al-Atsari Hafidzahullah, semoga bermanfaat bagi ana dan bagi Ikhwa fillah sekalian. Ikhwa Fillah yang dirahmati Allah, setelah ayat ke 187 dari Surah Al-Baqarah


وَكُلُواوَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْظُ اْلأَبْيَضُ


مِنَ الْخَيْطِ اْلأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ.


diturunkan, para Sahabat Nabi Shalallahu 'Alaihi Wasallam sengaja mengambil tali hitam dan tali putih (yakni tali yang biasa dipakai untuk mengikat unta atau yang lebih dikenal dengan al-Mishbaah), dan mereka meletakkannya di bawah bantal mereka, bahkan salah seorang dari mereka (sahabat Radhiyallahu Anhu) mengikatkannya di kakinya, dan dia masih tetap bebas makan dan minum sehingga terlihat jelas olehnya kedua tali tersebut. Hal ini sebagaimana hadits dari Sahabat ‘Adi bin Hatim Radhiyallahu Anhu, dimana ia bercerita : Ketika turun ayat “Hingga terang bagimu benang putih dan benang hitam yaitu fajar.” Aku mengambil tali hitam dan juga tali putih, lalu meletakkannya di bawah bantalku, kemudian aku melihatnya (maksudnya melihat tali hitam dan putih tersebut) pada malam hari dan keduanya tidak tampak olehku. Selanjutnya aku berangkat menemui Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam dan menceritakan kejadian itu, maka beliau (Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam) bersabda : “Yang dimaksudkan adalah hitamnya malam dan putihnya siang.” Hadits riwayat Bukhari dan Muslim. Begitu juga dengan Sahabat Sahl bin Sa’ad Radhiyallahu Anhu. Di dalam hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim (semoga Allah merahmatinya), Sahl bin Sa’ad Radhiyallahu Anhu, bercerita, “Ketika ayat ini turun “Makan dan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar,’ dia bercerita : “Jika ada seseorang yang hendak berpuasa maka salah seorang di antara mereka mengikatkan tali pada kedua kakinya, benang putih dan benang hitam. Dan dia masih bebas makan dan minum sampai tampak jelas olehnya kedua benang tersebut. Dan setelah itu, turunlah ayat : Yaitu Fajar.” Kemudian mereka mengetahui bahwa yang dimaksud adalah malam dan siang.

Dan Setelah adanya penjelasan al-Qur’an, keterangan Rabbani , Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam berusaha menjelaskan batasan perbedaan hitam dan putih tersebut kepada para Sahabat Radhiyallahu Anhu, sehingga tidak meninggalkan ruang keraguan dan ketidaktahuan. Maka diantara hukum-hukum yang dijelaskan Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam secara rinci yakni tentang FAJAR, dimana yang namanya fajar dibagi menjadi dua yakni :

FAJAR KADZIB : yakni fajar dimana shalat Shubuh TIDAK SAH untuk dilakukan dan tidak pula DIHARAMKAN bagi orang yang akan berpuasa untuk makan danminum pada waktu itu. Sedangkan yang kedua yakni

FAJAR SHADIQ : yakni saat dimana orang yang berpuasa DIHARAMKAN untuk makan dan minum dan DIHALALKAN untuk mengerjakan Sholat Shubuh.

Hal ini disandarkan kepada hadits Nabi Shalallahu 'Alaihi Wasallam yang diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah, al-Hakim, ad-Daruquthni, dan al-Baihaqi (semoga Allah Azza Wa jalla merahmati mereka), melalui jalan Sufyan dari Ibnu Juraij dari ‘Atha’ dari Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhu, dimana Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhu bercerita , Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam bersabda : “Fajar ituada dua, Adapun fajar yang pertama,makanan tidak diharamkan dan tidak diperbolehkan mengerjakan shalat . Sedangkan fajar yang kedua, makanan diharamkan dan dibolehkan mengerjakan shalat shubuh.

Dan sungguh saudaraku, perbedaan kedua fajar ini sangatlah jelas, dimana yang namanya Fajar Khadzib berwarna putih panjang yang menjulur ke atas seperti ekor srigala. Sedangkan fajar Shadiq berwarna merah yang naik dan muncul dari puncak gunung dan yang tersebar di muka bumi.

Adapun di dalam hadits yang lain, yang diriwayatkan oleh Imam Muslim (semoga Allah merahmatinya), sahabat Samurah Radhiyallahu Anhu bercerita, Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam bersabda : “janganlah kalian tertipu oleh Adzan bilal dan warna putih ini untuk waktu Shubuh sehingga naik.”

Selain itu saudaraku, dari ‘Thalq bin ‘Ali bahwa Nabi Shalallahu 'Alaihi Wasallam bersabda : “ Makan dan minumlah serta janganlah kalian tertipu oleh pancaran putih yang naik. Makan dan minumlah sehingga tampak oleh kalian warna merah.”

Jadi saudaraku yang mencintai Sunnah, diketahui bahwa sifat-sifat Fajar Shadiq adalah yang sesuai dengan ayat yang mulia ini yakni : “Sehingga terang begimu benang putih dan benang hitam, yaitu fajar.” Jika cahaya fajar telah tampak di ufuk dan puncak gunung, sehingga terlihat seakan-akan ia sebagai benang putih , lalu tampak pula dibagian atasnya benang warna hitam, yaitu sisa-sisa malam yang akan segera beranjak pergi. Maka jika hal tersebut telah benar-benar tampak, maka berhentilah dari makan dan minum serta bercampur. Dan jika di tangan Antum masih memegang gelas berisi air atau minuman, maka minumlah dengan tenang dan nikmat, karena hal itu sebagai keringanan yang sangat berharga dari Allah Azza Wa jalla, Rabb yang maha penyayang kepada hamba-hamban-Nya yang mengajarkan puasa sekalipun kita telah mendengar adzan. Al-Imam Abu Dawud, Ibnu Jarir, al-Hakim, al-Baihaqi, dan Imam Ahmad meriwayatkan hadits melalui jalan Hammad, dari Muhammad bin ‘Amr, dari Abu Salamah dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu, dimana Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam bersabda :


إِدَا سَمِعَ أَحَدُ كُمُ النِّدَاءَ وَاْلإِ نَاءُ فِي يَدِهِ


فَلاَ يَضَعْهُ حَتَّى يَقْضِيَ حَاجَتَهُ مِنْهُ.


“Jika salah seorang diantara kalian mendengar suara adzan sedang bejana masih di tangannya (sedang meneguk air minum), maka janganlah dia meletakkannya sehingga keperluannya pada bejana itu terpenuhi.”

Dan menurut Syaikh Salim ‘Ied al Hilalli, yang dimaksud an-nida’ di hadits tadi adalah adzan Shubuh kedua saat fajar Shadiq telah tiba berdasarkan pada tambahan yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Ibnu Jarir ath Thabari (dan pada zaman Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam, adzan shubuh dikumandangkan dua kali, adzan pertama saat fajar Khadzib sedangkan adzan kedua saat fajar Shadiq dimana sholat Shubuh boleh ditegakkan). Selain itu saudaraku, makna tersebut diperkuat oleh apa yang diriwayatkan oleh Abu Umamah Radhiyallahu Anhu, dia bercerita : “Ketika adzan dikumandangkan , sedang bejana masih ditangan ‘Umar. Dia bertanya, ‘Apakah aku boleh meminumnya wahai Rasulullah?’ Beliau menjawab : ‘Boleh.’ Maka ‘Umar pun meminumnya.” Hadits ini diriwayatkan Ibnu Jarir.

Dengan demikian , jelas sudah wahai saudaraku yang mencintai Sunnah, bahwa pengadaan waktu Imsak serta pengharaman makan, minum dan bercampur pada waktu imsak terbantahkan oleh hadits ini. Wallahu A’lam.

Do'a Berbuka Puasa

Assalamu ‘alaikum warahmatullah

Wahai saudaraku yang benci kemusyrikan dan benci bid’ah. Sebaik-baik do’a adalah do’a yang diwariskan dari Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam.

al-Imam Abu Daud, al-baihaqi, al-hakim, Ibnus Sunni, dan an-Nasa’i di dalam kitab Amalul Yaum wal lailah serta ad Daraquthni meriwayatkan sebuah hadits, Dimana pada saat berbuka puasa Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam membaca do’a

ذَهَبَ ا لظَّمَا ءُ وَابْتَلَّتِ اْلعُرُوْقُ,

وَثَبَتَ اْلأَ جْرُ إِنْ شَاءَ اللهُ.