Selasa, 17 November 2009

Meningkatkan Nilai Ibadah 5

Selanjutnya saudaraku se-Iman se-Aqidah, Semoga Allah selalu menegakkan jasad-jasad dan batin-batin kita diatas Manhaj yang haq, manhajnya para Sahabat Ridwanallahu alaihi jamian.

Selain yang telah ana sebutkan dipostingan sebelumnya, maka yang perlu kita lakukan agar nilai ibadah kita meningkat, yakni kita perlu Mengutamakan amalan sosial daripada amalan yang manfaatnya terbatas hanya untuk pribadi semata. Nah ditinjau dari sudut kemanfaatannya nih Saudaraku, yang namanya Amalan Sholeh ter-kualifikasi-kan menjadi dua :

Dimana yang pertama yakni Amalan yang hanya terbatas kemanfaatannya bagi pelakunya saja, tidak bisa dinikmati oleh orang lain. Banyak contohnya ya saudaraku, dalam hal ini seluruh ibadah yang menjadi kendaraan seorang hamba untuk mendekatkan diri kepada Allah tanpa ada kaitan dengan makhluk, termasuk ibadah yang hanya diperuntukkan bagi pelakunya saja. Adapun yang kedua yakni : Amalan yang manfaatnya bisa dinikmati oleh orang lain, sehingga maslahat keagamaan dan duniawi nya terpenuhi. Dan dalam masalah penilaian amalan sholeh, para ulama telah menetapkan, bahwa yang namanya amalan sholeh yang bersifat sosial lebih utama dibandingkan amalan yang manfaatnya terbatas pada pelakunya sendiri. Sebabnya Saudaraku, dengan amalan tersebut dapat terwujudnya maslahat serta dampak positif yang dapat dirasakan oleh orang lain. Dasar penetapan para ulama yakni, semua dalil yang menunjukkan ketinggian nilai amal sholeh yang bersifat sosial, dan anjuran untuk melakukannya serta sanjungan bagi para pelakunya. Diantaranya nih Saudaraku, sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim Rahimahullah : “Barangsiapa menyeru kepada hidayah, niscaya ia mendapatkan pahala sebesar pahala orang-orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun…”

Toyib Saudaraku, hadits tersebut dengan jelas menggambarkan besarnya keutamaan menyalurkan dan mengajarkan ilmu kepada orang lain, sehingga orang yang menyerap ilmu darinya dapat beribadah sebagaimana apa yang dianjurkan dan dilarang Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam. Dan nash-nash yang senada dengan makna hadits tadi sangatlah banyak Saudaraku

Seperti sanjungan bagi orang-orang yang sering berbuat baik untuk orang lain, maka mereka (orang yang berbuat baik tersebut) adalah mahluk pilihan di sisi Allah. sebagiamana sabda Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah : “Sebaik-baik kawan disisi Allah ialah yang paling bermanfaat bagi kawannya. Dan sebaik-baik tetangga adalah tetangga yang paling baik bagi tetangganya.”

Jadi Saudaraku yang mengharapkan sebaik-baik tempat kembali yakni Jannah, maka sangatlah jelas hadits yang diriwayatkan Ibnu Majah Rahimahullahu Ta’ala Anhu bahwa sebaik-baik kawan disisi Allah ialah yang paling bermanfaat bagi kawannya. Dan sebaik-baik tetangga adalah tetangga yang paling baik bagi tetangganya.

Selian itu ada juga hadits dari Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhu, dimana Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam bersabda : “Sebaik –baik kalian adalah orang yang terbaik bagi keluarganya. Dan aku adalah orang yang terbaik bagi keluargaku.”

Maka, jadilah orang yang paling bermanfaat dimanapun kita berada Saudaraku, sekali lagi , jadilah orang yang bermanfaat dimanapun kita berada, baik ketika kita berposisi sebagai kawan atau sebagai tetangga atau di dalam lingkungan keluaraga, karna Allah Azza Wa jalla memuliakan orang-orang yang bermanfaat bagi orang lain.

Nabi Shalallahu 'Alaihi Wasallam pernah bertanya kepada para sahabat tentang orang-orang yang baik dan orang-orang yang buruk sampai tiga kali. Namun mereka (para sahabat) diam. Maka beliau (Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam) menerangkan :

“Sebaik-baik kalian adalah orang yang diharapkan kebaikannya dan dirasa aman (dari) keburukannya. Dan sejelek-jelek kalian adalah orang yang tidak pernah diharapkan kebaikannya dan tidak dirasa aman (atas) keburukannya.”

Hadits-hadits tersebut Saudaraku mengindikasikan bahwa manusia pilihan disisi Allah adalah mereka yang terbaik di mata manusia, dan yang paling utama dari kalangan mereka di sisi Allah, adalah insan yang paling bermanfaat bagi orang lain.

Namun pada jaman sekarang ini banyak orang yang menilai bahwa orang yang bermanfaat bagi mereka apabila ia memiliki harta yang lebih dan dapat membuat mereka bahagia dengan harta tersebut. Padahal orang tersebut membawanya kedalam jurang kenistaan. Sedangkan orang-orang yang selalu memberi nasehat, yang mengajarkan sunnah dengan manhaj yang haq malah dianggap pengacau bahkan dinilai mengada-ada dan mencampuri urusan pribadinya. Naudzubillahi min dzalik. Semoga kita termasuk ke dalam orang-orang yang mau menerima nasehat.

Mari Saudaraku yang mencintai Sunnah, sedikit kita selami makna orang-orang yang bermanfaat yang diaplikasikan oleh generasi terdahulu dari para Shalafus Sholeh, dimana mereka mengutamakan amalan-amalan yang bermanfaat bagi orang lain ketimbang amalan sholeh yang bersifat pribadi. Sebagaimana diceritakan Majaad bahwa ia pernah menemani perjalan Ibnu Umar dimana ia berniat untuk membantunya, namun justru Ibnu Umarlah yang melayani Majjaad. Bahkan Saudaraku sebagian dari kalangan salafus Sholeh kita , mereka mengajukan syarat saat akan melakukan perjalanan bersama rekan-rekannya yang lain agar dia saja yang melayani mereka ditengah perjalanan. Ibnu Rajab di dalam Lathaiful Ma’arfi yang kami kutip dari Majalah As-Sunnah berkata : “Berbuat baik kepada teman perjalanan lebih baik daripada Ibadah Qashirah (yang manfaatnya hanya direguk secara pribadi), apalagi jika seseorang punya keinginan sendiri untuk melayani kawan-kawannya.”

Nah Saudaraku, orang yang bermanfaat bukanlah orang yang hanya dinilai dari manfaat akan hartanya saja tetapi juga bisa bermanfaat dengan tenaganya seperti yang dicontohkan oleh Salafus Shalih, atau dapat juga bermanfaat dengan lisannya, dengan saran-saran atau nasehatnya yang kadang-kadang kita anggap sepele padahal nasehat tersebut mengandung kebaikan dan kebenaran.

Allah Azza Wa jalla berfirman di dalam Surah Al-Ashr


وَألْعَصْرِ . إِنَّ أ ْلإِنسَنَ لَفِى خُسْرٍ .


إِلاَّ الَّذِينَ ءَامَنُو اْ وَعَمِلُواْ الصَّلِحَتِ


وَتَوَا صَوْبِالْحَقِّ وَتَوَا صَوْا بِالصَّبْرِ.


Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.

Wallahu A’lam Bishowab….

Semoga bermanfaat. Semoga Nilai Ibadah kita semangkin meningkat dan berarti.

Meningkatkan Nilai Ibadah 4

فَإِنَّ أَحْسَنَ الْكَلاَمِ كَلاَمُ اللهِ

وَخَيْرَ الْهَدْيِ

هَدْيُ مُحَمَّدٍ صَلى لله عَليهِ وَسَلم ,

وَشَرَّ اْلأُمُوْرِمُحْدَثَا تُهَا ,

وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ ,

وَكُلَّ بِدْ عَةٍ ضَلاَلَةٌ ,

وَكُلَّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ.

Sesungguhnya sebaik-baik ucapan adalah kalamullah, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam, seburuk-buruk perkara adalah sesuatu yang diada-adakan dalam agama, setiap yang diada-adakan dalam agama adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah sesat, dan setiap kesesatan tempatnya di Neraka.

Toyib Saudaraku se-Iman Se-Aqidah, ana lanjutkan postingan mengenai faktor –faktor atau aspek lainnya yang bisa meningkatkan Kualitas Ibadah atau Amaliah kita. Nah faktor selanjutnya nih, kita harus Meningkatkan Kapasitas Ilmiah kita.

Lho ! Kenapa kita mesti meningkatkan kapasitas ilmiah kita? Emangnya selama ini kita tidak ilmiah ? Kolot atau terbelakang atau bahkan tidak realistis ?

Mari kita lihat hadits yang sangat memuliakan kedudukan orang-orang, dimana kapasitas ilmiahnya (ketaatan, kejujuran, keilmuan dan loyalitasnya) diatas rata-rata manusia yang ada dimuka bumi ini.

Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam bersabda : “Janganlah kalian mencela para sahabatku. Sendainya salah seorang dari kalian berinfaq emas sebesar gunung uhud, niscaya tidak akan menyamai pahala infak mereka sebesar satu mud ataupun setengahnya.” Al Badawi menjelaskan hadits ini bahwa seseorang dari kalian (atau kita sekarang ini) tidak akan mampu menggapai dengan infak sebesar gunung uhud yang berupa emas, keutamaan dan pahala yang diraih oleh salah seorang dari mereka (yakni para sahabat) dengan infaq satu mud atau setengahnya. Sebab, karna adanya perbedaan kondisi amaliah ilmiah yang menyertai orang yang lebih mulia, yakni berupa kekuatan ikhlas yang lebih tinggi dan kejujuran niat mereka.” Jadi Saudaraku sangatlah jelas keutamaan para sahabat dan amalan yang mereka lakukan dibandingkan amalan orang-orang selain mereka.

Sebagian ulama Saudaraku telah menyinggung serta menjelaskan beberapa sebab pengutamaan (para sahabat) dalam kaedah ini, melalui nash-nash yang ada, dimana peningkatan nilai amaliah tergantung dari kedudukan orang yang beramal. Namun Saudaraku ada beberapa rahasia dibalik dimuliakannya kedudukan sahabat. Hal tersebut atau rahasia tersebut telah disinggung oleh sebagian para ulama di dalam kitab-kitabnya.

Diantaranya nih Saudaraku : bahwa keutamaan yang mereka (para sahabat) raih itu, berangkat dari kondisi bathiniah mereka yang mengalahkan manusia lainnya. Sebagaimana yang dikatakan Ibnu Mas’ud Radhiyallahu Anhu (mari kita renungkan dan camkan Saudaraku). “Kalian itu lebih banyak puasanya dibandingkan sahabat Muhammad, tetapi mereka (para sahabat) tetap lebih baik dari kalian’. Mereka bertanya : “Apa sebabnya?” dijawab oleh Ibnu Mas’ud : “Mereka para sahabat lebih zuuhud kepada dunia dan lebih berharap kepada akhirat daripada kalian.” Kedua, lantaran mereka (para sahabat) lebih paham terhadap agama dan otomatis berpengaruh pada kualitas ibadah mereka sehingga dilaksanakan dengan cara yang lebih baik.

Kemudian, Abu Darda’ sebagaimana yang kami kutip dari Tajridu al-Ittiba’ Fi Bayani Asbabi Tafadhuli Al-Amali karya Syaikh Ibrahim bin Amir ar Ruhaili, berkata Bahwa satu biji sawi kebaikan orang yang bertakwa dan yakin, lebih besar, lebih utama dan lebih berat timbangannya seperti beratnya gunung-gunung dibandingkan ibadah orang-orang yang tertipu. Mari kita ambil pelajaran dari riwayat ini Saudaraku. Di dalam Syarah Riyadhus Sholihin , Syaikh Muhammad al-Utsaimin (semoga Allah Merahmatinya) menceritakan, Uyainah bin Hishn menghadap ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu Anhu. Dia berkata kepada Umar Radhiyallahu Anhu dengan perkataan yang tidak sopan, “Wahai putra Al-Khaththab (ini dalah kalimat yang tidak sopan), demi Allah engkau tidak berbuat banyak kepada kami dan engkau tidak adil dalam mengadili kami.” Padahal Umar- seperti yang dikatakan oleh Ibnu Abbas mengangkat orang-orang yang pandai dalam Al-Qur’an sebagai kawan duduk dan kawan bermusyawarah, dari kalangan sahabat Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Mereka diperlakukan sama baik, yang sudah tua maupun yang masih muda dalam bermusyawarah. (Seperti inilah yang mestinya dilakukan oleh seorang pemimpin atau kalifah Saudaraku, agar menjadikan penasehat-penasehatnya dari kalangan orang-orang soleh, ahli ilmu dan ber-iman. Karena jika memilih penasihat-penasihat yang tidak soleh, maka dia akan hancur dan menghancurkan umat). Selanjutnya Saudaraku, Mendengar Uyainah berkata kasar seperti itu, maka marahlah Umar dan hampir memukulnya atau menamparnya. Akan tetapi anak paman Uyainah berkata kepadanya, “Wahai Amirul mukminin, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman kepada Nabi-Nya, ‘jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.’ (Qur’an Surah : al-A’raaf ayat 199). Uyainah termasuk orang yang bodoh Saudaraku, maka setelah mendengar ayat itu, Umar menghentikan kemarahannya, tidak memukul atau menamparnya dan berpaling meninggalkan orang tersebut akan tetapi bukan karna untuk menghinakan atau merendahkan, namun karna beliau tunduk kepada Kitabullah dan ridho kepadanya. Lihatlah etika para sahabat terhadap Al-Qur’an, mereka tidak melanggarnya. Jika dikatakan kepada mereka, “Ini adalah firman Allah”, maka mereka melaksanakannya bagaimanapun keadaanya. Semoga bermanfaat.

Sabtu, 14 November 2009

Meningkatkan Nilai Ibadah 3

إِنَّ الْحَمْدَ ِللهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ


وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَا تِ أَعْمَالِنَا


مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ


وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِ يْكَ لَهُ


وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ


Amma Ba’du : Wahai saudaraku yang mencintai Sunnah, setelah ana postingkan pada postingan sebelumnya mengenai aspek Mutaba’ah kita kepada Nabi Shalallahu 'Alaihi Wasallam, maka faktor selanjutnya yang dapat meningkatakan kualitas amalan kita yakni kita haruslah Mengutamakan dan memberikan perhatian yang lebih atau ekstra terhadap amalan yang Wajib.

Saudaraku yang dirahmati Allah. yang namanya amalan wajib memang lebih utama dari pada amalan yang Sunnah. Demikian juga apabila perhatian kita lebih kepada ibadah yang wajib, maka hal tersebut tentunya lebih dicintai Allah Azza Wa jalla dari pada Ibadah yang Sunnah. Nah di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu, ia berkata Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam bersabda : “Sesungguhnya Allah berfirman : “Barangsiapa yang memusuhi wali-Ku, maka Aku telah mengobarkan peperangan dengannya. Dan tidaklah ada seorang hamba-Ku yang mendekatkan dirinya kepada-Ku, dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada amalan yang Aku wajibkan kepadanya.. hadits ini Saudaraku diriwayatkan oleh al-Bukhari. Dan al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani (semoga Allah Merahmatinya) berkata di dalam Fathul Baari (Syarah Shohih Bukhari) mengenai hadits tersebut bahwa “dapat disimpulkan dari hadits tersebut, bahwa melaksanakan amalan yang wajib merupakan tindakan yang paling dicintai oleh Allah.”

Kemudian Saudaraku, Syiakhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahumullah menegaskan di dalam Majmu Fatawanya bahwa kita Wajib bertaqarrub kepada Allah dengan amalan-amalan yang wajib sebelum menjalankan amalan yang sunnah. mendekatkan diri kepada Allah dengan amalan yang Sunnah terhitung sebagai ibadah, jika amalan yang wajib sudah dikerjakan.”

Selain itu Saudaraku, di dalam fathul Baari (Syarah Shohih Bukhari) al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani (semoga Allah merahmatinya) menukil dari sebagian ulama besar terdahulu yakni para Shalafus Shalih, dimana mereka menetapkan :

“Barangsiapa disibukkan dengan perkara wajib sehingga melupakan perkara sunnah, maka ia termaafkan. (kemudian) Barangsiapa disibukkan dengan perkara Sunnah sehingga perkara wajib terbengkalai maka ia adalah orang yang tertipu.” Naudzu billahimindzalik. (semoga Allah Azza Wa jalla menjauhkan kita dari hal yang demikian Saudaraku, dan memberikan kita kekuatan dan kemampuan untuk melaksanakan ibadah dan amalan yang wajib serta kita diberikan taufiq dan kekuatan-Nya untuk melengkapinya dengan amalan dan ibadah Sunnah. Amin.. amin Yam Rabbal Alamin..)

Selanjutnya Saudaraku, Faktor lainnya yang bisa meningkatkan nilai Amaliah kita yakni Al-Mudawamah atau yang kita kenal dengan Kontinyu-itas dalam beramal. Nah, tentunya Amalan yang sedikit, tapi kontinyu lebih utama dari amalan yang putus-putus alias tidak dikerjakan secara terus-menerus kendati jumlah amalan tersebut banyak.

Al Imam Muslim Rahimahumullah Ta’ala Anhu, meriwayatkan hadits dari Ummul Mukminin ‘Aisyah Radiallahu Anha, ia berkata : Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam bersabda : “Amalan yang paling dicintai Allah adalah yang paling kontinyu dikerjakan , meskipun sedikit.”

Di dalam Syarah Riyadhus Sholihin, bab Menjaga Amal Shalih, al-Alamah Syaikh Muhammad Shalih al-Utsaimin Rahimahullahu Ta’ala mengingatkan “Sebagaimana yang diingatkan oleh al-Imam An-Nawawi bahwa manusia harus menengah dalam ibadah, tidak berlebih-lebihan dan tidak kurang. Setelah itu kita harus menjaganya dengan baik karena menjaga ketaatan menjadi bukti atas kecintaannya. Amal yang paling dicintai Allah Azza Wa jalla adalah amal yang dikerjakan secara terus menerus, walaupun sedikit. Jika manusia menjaga ibadahnya dan melaksanakannya secara terus menerus, itu menjadi bukti atas kecintaannya kepada kebaikan.”

Selain itu Saudaraku, Syaikh Utsaimin Rahimahullahu Ta’ala juga mengingatkan bahwa kontinyu-itas itu tidak saja hanya dalam amal ibadah tetapi juga seharusnya dilakukan dalam masalah-masalah biasa lainnya. Dimana dikatakan oleh nya, bahwa seharusnya manusia tidak memiliki pemikiran yang berubah-ubah disetiap saat, tetapi dia harus melanjutkan dan meneruskan pemikirannya yang sebelumnya, selama tidak tampak salah. Jika tampak bahwa pemikirannya salah, maka orang tersebut tidak boleh menjerumuskan dirinya dalam kesalahan (jadi jika telah tampak kesalahan barulah boleh diubah dalam arti untuk diperbaiki dengan yang benar). Tetapi selama tidak tampak adanya kesalahan, kemudian orang tersebut tetap berpegang teguh padanya (maksudnya pada perinsip yang dipegangnya) hal tersebut lebih baik dan lebih kuat – sehingga dimana dia melangkahkan kakinya, dia tahu kemana dia meletakkan kakinya dan dimana dia mengangkat kakinya. (Maksudnya Saudaraku tidak ada kebimbangan dalam melangkah, karna pijakan dan dalilnya telah jelas)

Wallahu A’llam Bishowab…

Saudaraku yang dirahmati Allah. Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam telah menganjurkan kita dan mengingatkan kita umatnya, agar mengerjakan amalan-amalan secara Diimah atau kontinyu, serta tidak melakukan amalan-amalan yang memberatkan yang tidak mampu dipikul, yang akhirnya menyebabkan kita meninggalkan ibadah dan amalan tersebut sehingga ibadah atau amaliah tersebut tidak berlangsung lama.

Di dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh al-Imam Bukhari dan Imam Muslim, (semoga Allah merahmati mereka), Rasulullah Shalallahu ’Alaihi Wasallam bersabda : “Wahai Manusia, kerjakanlah amalan yang kalian sanggupi.”

Kemudian di dalam Al-Mu’alim, al-Qadhi ‘Iyadh menerangkan hadits ini dengan mengerjakan amalan yang kalian sanggupi dengan kontinyu (dengan berkelanjutan). Sementara itu al-Imam an-Nawawi Rahimahumullah di dalam Syarah Shohih Muslim yang kami kutip dari tulisan Syaikh Ibrahim bin ‘Amir ar Ruhaili, beliau (Imam An Nawawi) menyimpulkan hadits tersebut bahwa “Di dalamnya terkandung anjuran untuk kontinyu dalam beribadah, dan amalan yang sedikit (tapi) kontinyu lebih baik daripada amalan banyak tapi ditinggalkan.”

Selain itu mengenai hal ini Saudaraku, yakni amalan yang sedikit tapi kontinyu lebih utama dan mulia dibandingkan amalan lain yang berat namun terputus-putus, para ulama telah memaksimalkan daya pikirnya untuk menyibak rahasia amalan tersebut. Diantaranya nih, al-Imam Al-Qurthubi (semoga Allah merahmatinya), di dalam Al-Mufhim yang kami kutip dari majalah As Sunnah, beliau menjelaskan sebabnya, “bahwa amalan yang ringan , bisa dikerjakan berkesinambungan (terus menerus) dan (dengan) hati yang giat, sehingga pahala semakin banyak lantaran terjadinya pengulangan amalan tersebut disertai oleh konsentrasi pikirannya. Berbeda dengan amalan yang berat, biasanya disertai dengan terganggunya konsentrasi dan menyebabkan seseorang meninggalkannya.”

Sementara itu, al-Imam an-Nawawi (semoga Allah merahmatinya) memberikan alasan bahwa ‘Amalan sedikit yang langgeng itu lebih baik dari amalan banyak tapi putus di jalan, karena dengan kontinyu dalam satu amalan yang sedikit, berarti kataatannya kepada Allah juga berlangsung terus menerus, demikian juga Dzikir, Muraqabah, niat, keikhlasan serta sikapnya menghadapkan diri kepada Allah berjalan terus. Sehingga yang sedikit itu, akan membuahkan hasil yang berlipat-lipat daripada amalan banyak tapi ditinggalkan.” Demikian saudaraku pendapat para ulama mengenai kontinyu-itas dalam beramal yang kami kutip dari Tajridu al-Ittiba’ Fi Bayani Asbabi Tafadhuli Al-Amali karya Syaikh Ibrahim bin Amir ar Ruhaili.

Lantas .... Sudahkah kita kontinyu dalam beramal ?

Jumat, 13 November 2009

Meningkatkan Nilai Ibadah 2

Assalamu alaikum...

Wahai saudaraku dimanapun berada, Semoga Allah Azza Wajalla selalu memberkahi apa yang telah Allah anugerahkan kepada kita dan Merahmati apa yang kita usahakan. Didalam sebuah hadits, Al-Imam Muslim (Semoga Allah Azza Wa jalla merahmatinya) meriwayatakan dari Abu Mas’ud Uqbah Al-Anshary Al-Badri Radiallahu Anhu, (dimana) dia berkata, ”Barangsiapa yang menunjukkan (mengajak) kepada kebaikan, maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakan kebaikan itu.”

Nah saudaraku, sudahkah kita menyeru, mengajak dan menunjukkan kebaikan sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam dan para sahabat Ridwanallahu ’Alaihim Ajemain. Mari Saudaraku se-Iman se-Aqidah, kita mulai darai sekarang !

Alhamdulillah pada kesempatan kali ini, akan ana postingkan beberapa Faktor-faktor lainnya yang dapat Meningkatkan Nilai Ibadah Kita, sebagaimana postingan sebelumnya. Dimana pada postingan sebelumnya dibahas mengenai meningkatkan Keikhlasan dan memperbaiki niat agar amalan kita berkualitas, maka faktor selanjutnya yakni kita perlu Meningkatkan Perhatian pada Aspek Mutaba’ah kepada Nabi Shalallahu 'Alaihi Wasallam dalam beribadah. Nah dalam hal ini, yang dimaksud Mutaba’ah di dalam beramal yakni “Menjalankan perintah Nabi Shalallahu 'Alaihi Wasallam dalam suatu amalan dan melaksanakannya sesuai dengan aturan syariat yang dahulu dilakukan oleh Nabi Shalallahu 'Alaihi Wasallam.

Di dalam Majmu’ fatawa yang kami kutip dari majalah As-Sunnah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (semoga Allah Merahmatinya) berkata : “Hendaknya (amalan) dikerjakan persis dengan yang dilakukan Nabi, sesuai dengan aturan pelaksanaannya.”

Jadi saudaraku yang mencintai Sunnah, yang namanya Mutaba’ah kepada Nabi Shalallahu 'Alaihi Wasallam haruslah memenuhi dua unsur, dimana unsur yang pertama yakni : Kesesuaian dengan Nabi Shalallahu 'Alaihi Wasallam dalam pelaksanaan, dan tentunya persis dengan tata caranya, tidak ditambah dan tidak dikurangi. Adapun unsur yang kedua yakni kesesuaian dalam niat, dimana niat hanya untuk beribadah kepada Allah Azza Wajalla. Untuk itu Saudaraku kita mestilah memahami agama kita, kita mestilah memahami ajaran-ajarannya.

Lantas bagaimana caranya agar kita memahami agama ini dan memahami ajaran-ajarannya ? Nah untuk itu, kita mesti Talabul Ilmi alias menuntut Ilmu kemana saja Saudaraku, dan dimana saja, selama orang tempat kita berbagi atau menimba ilmu tersebut berpegang atau bermanhaj pada Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Shalallahu 'Alaihi Wasallam yang lurus dan Shohih tentunya sebagaimana mahjaznya para Sahabat Ridwanalahu ’Alaihim Ajemain. Dan mutaba’ah kepada Nabi Shalallahu 'Alaihi Wasallam haruslah pada keseluruhan ibadah, tidak hanya menyibukkan pada satu jenis ibadah saja, sedangkan ibadah lainnya kita telantarkan , tidak kita ikuti petunjuk Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam.

Jadi yang namanya mengikuti tatacara Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam dan para sahabat dalam beribadah rauslah secara keseluruhan, maksudnya seluruh amal ibadah haruslah mencontoh Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam dan para sahabat Ridwanallahu ’Alaihim Ajemain.

Di dalam hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim (semoga Allah merahmatinya). Nabi Shalallahu 'Alaihi Wasallam menceritakan orang-orang yang dipanggil (masuk Surga) dari pintu yang sesuai dengan ibadah yang ia tekuni. (lantas) AbuBakar Radhiyallahu Anhu bertanya : “Apakah ada seseorang yang dipanggil dari seluruh pintu ?”

Dijawab oleh Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam :

“Ya, dan aku berharap engkau termasuk mereka, wahai Abu bakar.”

Selain itu yang namanya Mutaba’ah kepada Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam juga dalam ke-istiqomah atau kontinyu-itas dalam amalan, dan tentunya dalam Mutaba’ah, kita beramal tidak dengan unsur yang memberatkan diri atau takalluf. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan al-Imam Al Bukhari di dalam Fathul Baariy (Syarah Shohih Bukhari oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar). (Dimana) Nabi Shalallahu 'Alaihi Wasallam bersabda : “Sesungguhnya agama ini mudah. Tidak ada orang yang bersikap keras dengannya, kecuali akan terkalahkan..”

Dan juga yang tidak boleh kita lupakan Saudaraku, bahwa dalam Mutaba’ah haruslah dipenuhi unsur keseimbangan dimana hak-hak yang ada haruslah terpenuhi. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh al-Imam Bukhari dan Imam Muslim. Dimana Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam bersabda : “Maka, sesungguhnya bagi jasadnya ada hak atasmu, bagi matamu ada hak atasmu, dan bagi istrimu ada hak atasmu dan bagi tamumu ada hak atas mu.” Wallahu A’lam bish-shawab.