Kamis, 26 Agustus 2010

Kemudahan-Kemudahan yang diberikan Allah Azza wa Jalla bagi beberapa kondisi orang yang berpuasa

بِسْمِ الّلهِ الرَّ حْمنِ الرَّ حِيمِ


Wahai saudaraku se-Iman se-Aqidah, segala puji bagi Allah Azza wajalla, kepada-Nya kita memberikan sanjungan , memohon pertolongan dan memohon ampunan. Kepada-Nya lah kita senantiasa berlindung dari kejahatan diri dan keburukan amal perbuatan kita. Semoga Allah Azza Wa jalla menyatukan kita semua untuk senantiasa mencintai-Nya dan mengikuti Sunnah Rasul-Nya. Dan Semoga Amal ibadah yang kita kerjakan tak menjadi amal yang sia-sia. Semoga Allah azza wa Jalla selalu memberikan kita kekuatan, kesabaran, serta ilmu yang bermanfaat, sehingga segala amal yang kita lakukan berbuah pahala dan insya Allah menjadi bekal kita diakhirat kelak. Amin ya Rabball..... ‘alamin.

Toyib, pada postingan kali ini isinya masih mengenai Meneladani Saum atau puasanya Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam, yang Insya Allah berisikan mengenai Kemudahan-kemudahan yang diberikan Allah Azza wa Jalla bagi beberapa kondisi orang yang berpuasa.

Nah apa saja Kemudahan yang pertama diberikan oleh Allah Azza Wa jalla kepada orang yang berpuasa.

Kemudahan pertama diberikan Allah azza wa jalla kepada MUsafir atau orang yang sedang dalam perjalanan. Mengenai hal ini saudaraku yang mencintai Sunnah, ada beberapa hadits shohih yang memberikan pilihan kepada orang yang sedang dalam perjalanan untuk berpuasa. Dan rahmat Ilahiyyah tersebut yakni kemudahan-kemudahan tersebut, disebutkan Allah Azza Wa jalla di dalam Al-Qur’an yang mulia yakni surah Al-Baqarah ayat 185 :


وَ مَن كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ


فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ.


يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ


وَلاَيُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ.


“Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagi kamu sekalian, dan tidak menghendaki kesukaran bagi kamu sekalian.”

Adapun di dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari dan Imam Muslim (semoga Allah merahmatinya), Hamzah bin ‘Amr al-Aslami pernah bertanya kepada Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam : “Apakah saya harus berpuasa dalam perjalanan “ (dan Hamzah termasuk orang yang rajin mengerjakan puasa), maka Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam bersabda kepadanya : “Jika engkau mau, berpuasalah ! dan jika mau, engkau boleh berbuka.”

Kemudian, Anas bin Malik Radhiyallahu Anhu, dia bercerita, “Aku pernah melakukan perjalanan bersama Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam pada bulan Ramadhan, maka orang yang berpuasa tidak mencela orang yang berbuka dan tidak juga orang yang berbuka terhadap orang yang berpuasa.” Hadits ini diriwayatkan oleh al-Imam al-BUkhari dan Imam Muslim Rahimahullahu Ta’ala anhu.

Dan Ketahuilahwahai saudaraku yang mencintai Sunnah. Hadits –hadits yang ada memberikan pengertian AGAR KITA MEMILIH, BUKAN PENGUTAMAAN. Namun, dimungkinkan penggunaan dalil-dalil tersebut untuk mengutamakan berbuka puasa, seperti hadits yang bersifat umum sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad serta Ibnu Hibban dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu Anhu dengan sanad shohih, dimana Nabi Shalallahu 'Alaihi Wasallam bersabda : “sesungguhnya Allah senang bila keringanan-keringanan –Nya dimanfaatkan, sebagaimana Dia tidak senang bila larangan atau maksiat-Nya dilanggar.”

Kemudian di dalam riwayat lain, yang dibawakan Ibnu Hibban, al-Bazzar serta ath-Thabarani (Semoga Allah merahmati mereka) di dalam Al Kabiir dari Ibnu Abbas juga dengan sanad shohih disebutkan : “Sebagaimana Dia suka perintah-Nya dilaksanakan.”

Tetapi, dimungkinkan untuk membatasi hal tersebut yakni seseorang boleh tidak berpuasa atau berbuka sebelum waktunya, hanya bagi orang yang merasa kesulitan untuk mengganti puasa pada hari lain, agar keringanan yang diberikan oleh Allah tersebut tidak bertentangan dengan tujuan. Demikian penjelasan yang kami kuitip dari shifatu Shaumin Nabi fii Ramadhaan karya Syaikh Abu Usamah salim bin ‘Ied al Hilalai dan Syaikh ‘Ali Hasan ‘Ali Abdul hamid.

Jadi saudaraku se-Iman se-Aqidah, telah diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu Anhu : “Dan mereka berpandangan , bagi orang yang memiliki kekuatan, berpuasa baginya adalah lebih baik. Dan bagi yang merasa lemah, maka berbuka baginya adalah lebih baik.” Hadits riwayat at-Tirmidzi dan al-Baghawi. Wallahu a’lam.

Semoga Allah Azza Wa jalla selalu membimbing kita, menuju jalan petunjuk dan ketakwaan, serta mengaruniai kita pemahaman dalam agama ini. Dan jika berpuasa dalam perjalanan memberatkan seseorang, maka berpuasa bukanlah sesuatu yang baik baginya, bahkan berbuka adalah lebih baik dan lebih disukai Allah. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, dari Muhammad bin Hatim dari Abdurrahman bin Mahdi dari Mu'awiyah bin Shalih dari Rabi'ah ia berkata, telah menceritakan kepadaku Qaza'ah ia berkata : “Aku pernah mendatangi Abu Sa'id Al Khudriy, yang saat itu (Abu Sa’id) sedang dikerumuni oleh orang banyak. Ketika mereka telah membubarkan diri aku berkata kepadanya, "Aku tidak ingin menanyakan apa yang telah mereka tanyakan. Aku hanya ingin menanyakan perihal puasa dalam safar." Maka ia (Abu Sa’id al-Khudry) pun menjawab, "Kami dulu pernah bepergian ke kota Makkah bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan kami saat itu sedang berpuasa. Lalu kami singgah di suatu tempat, kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Jarak kalian dengan musuh kalian sudah semakin dekat, dan makan (tidak berpuasa) akan dapat membuat kalian lebih kuat, dan ini adalah sebuah rukhshah (keringanan)." Maka di antara kamipun ada yang masih berpuasa dan ada pula yang tidak berpuasa. Setelah itu, kami singgah lagi pada sebuah tempat, lalu beliau (Rasulullah) bersabda: "Sesungguhnya besok pagi kalian akan menghadapi musuh sedangkan berbuka akan membuat kalian lebih kuat, maka berbukalah kalian, ini adalah suatu ketetapan." Maka sesudah itu, kami pun berbuka.

Dan hal ini dikuatkan dengan hadits yang juga diriwayatkan oleh Imam Muslim dari sahabat Ibnu Abbas radliallahu 'anhuma, ia berkata, “Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah melakukan perjalan pada bulan Ramadlan, beliau berpuasa hingga sampai di Usfan, kemudian beliau meminta bejana berisi minuman, lalu beliau meminumnya di siang hari agar-agar orang-orang juga melihatnya. Beliau berbuka hingga memasuki kota Makkah. Ibnu Abbas radliallahu 'anhu berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam biasa berpuasa (saat dalam perjalanan) dan juga terkadang berbuka. Maka barangsiapa ingin berpuasa silahkan berpuasa dan barangsiapa ingin berbuka silahkan berbuka."

Namun, ada sebagian orang yang berpandangan bahwa berbuka puasa dalam perjalanan di masa sekarang ini tidak diperbolehkan, sehingga akhirnya, karna pemahaman sepihak tersebut, ada beberapa diantara mereka mencela orang-orang yang memanfaatkan Keringanan atau kemudahan yang diberikan (ketika dalam perjalanan) oleh Allah Azza Wa jalla. Maka dari itu, berhati-hatilah dalam berbicara, bertanyalah, dan mari kita terus menerus mempelajari dienul islam ini, demi kesempurnaan hidup, sehingga kelak tak ada lagi celaan kepada orang-orang yang memanfaatkan kemudahan dari Allah, seperti berbuka pada saat safar atau melakukan perjalanan. Jadi jangan ada lagi cela-mencela terhadap seorang musafir yang berbuka, mari kita merujuk kepada kehidupan para Salafu ummah, sebagaimana hadits Anas bin Malik Radhiyallahu Anhu, yang diriwayatkan al Bukahari dan Muslim (semoga Allah Merahmatinya), dimana Anas Radhiyallahu Anhu bercerita, “Aku pernah melakukan perjalanan bersama Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam pada bulan Ramadhan, maka orang yang berpuasa tidak mencela orang yang berbuka dan tidak juga orang yang berbuka terhadap orang yang berpuasa.”

Jadi saudaraku yang mengharapkan rahmat dan ridho Allah, Kemudahan bagi orang yang tengah dalam perjalanan (musafir) merupakan sesuatu yang memang dikehendaki Allah, sekaligus toleransi. Karna, Allah Azza Wa jalla adalah pencipta zaman, pencipta tempat dan juga manusia, dan pasti Allah Azza Wa jalla lebih mengetahui akan kebutuhan dan kepentingan setiap hambanya. Sebagaimana firman-Nya di dalam Surah al-Mulk ayat 14 :


أَلَايَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ.


“Apakah Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu lahirkan atau rahasiakan); dan dia Maha halus lagi Maha Mengetahui.”

Toyib, Saudaraku. Kemudahan selanjutnya diberikan kepada Orang yang Sakit. Dan Allah Azza Wa jalla membolehkan bagi orang yang sakit untuk berbuka, hal ini sebagai rahmat sekaligus kemudahan bagi orang yang sakit. Dan tentunya, Sakit yang diperbolehkan bagi seseorang untuk berbuka adalah sakit yang apabila orang tersebut berpuasa, maka puasanya akan berbahaya bagi jiwanya, memperparah sakit yang diderita atau dikhawatirkan dengan puasa tersebut, sakit yang diderita akan dapat menghambat kesembuhan orang tersebut. Wallahu A’lam.

Selanjutnya, wanita yang sedang menjalankan Haidh dan Nifas juga mendapatkan kemudahan dari Allah Azza Wa jalla. Berdasarkan kesepakatan ulama bahwa wanita yang tengah menjalani haidh atau nifas tidak boleh berpuasa. Keduanya boleh berbuka tetapi mereka harus menggantinya pada hari-hari yang lain. Dan jika keduanya tetap berpuasa, maka puasanya tidaklah Sah.

Kemudian, Orang Yang sudah Tua renta dan wanita yang Lemah juga merupakan pihak-pihak yang mendapatkan keringanan dan kemudahan dari Allah Azza wa Jalla dalam menjalankan ibadah puasa. Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu Anhu berkata, “Orang yang sudah tua, laki-laki maupun perempuan yang tidak mampu mengerjakan puasa, maka keduanya harus memberi makan kepada seorang miskin setiap hari dari hari-hari puasa yang ditinggalkannya.” Hadits ini diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari (semoga Allah merahmatinya). Kemudian di hadits yang lain yang diriwayatkan oleh ad-Daraquthni dan dinilai Shohih melalui Jalan Manshur dari Mujahid, dari Ibnu ‘Abbas, dia berkata : “dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah yakni memberi makan orang miskin.” Dia mengatakan : “Yaitu orang yang sudah tua dan tidak mampu mengerjakan puasa sehingga dia harus berbuka. Dan dia harus memberi makan setiap hari satu orang miskin sebanyak setengah sha’ gandum.

Dan yang semakin menguatkan yakni adanya dalil hadits dari Anas bin malik Radhiyallahu Anhu dimana ia (Anas Bin Malik Radhiyallahu Anhu ) ketika telah tua, ia pernah tidak mampu mengerjakan puasa selama satu tahun, maka dia pun membuat bubur satu mangkuk besar dan memanggil tiga puluh orang miskin hingga membuat mereka semua kenyang.” Hadits riwayat ad-Daraquthni dengan sanad shohih.

Adapun kemudahan atau keringanan selanjutnya, diperuntukkan Allah Azza Wa jalla bagi Wanita Hamil dan Menyusui. Di dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, an Nasa’I, abu Dawud serta Ibnu Majah, dari Anas bin malik Radhiyallahu Anhu (ada juga yang mengatakan al-Ka’bi), dia bercerita, “Kuda Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam lari kepada kami, lalu aku mendatangi Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam, ternyata aku mendapatkan beliau tengah makan, maka beliau bersabda, “Mendekatlah kesini dan makanlah.” Lalu kukatakan, “Sesungguhnya aku tengah berpuasa.” Lalu beliau bersabda, “mendekatlah kesini, aku akan memberitahukan mu tentang puasa : “Sesungguhnya Allah, yang maha suci lagi maha tinggi telah meringankan setengah dari beban shalat bagi seorang musafir, dan meringankan beban puasa bagi wanita hamil dan wanita menyusui. “Demi Allah, sesungguhnya Nabi Shalallahu 'Alaihi Wasallam telah mengucapkan keduanya atau salah satu dari keduanya. Dan aku benar-benar berselera untuk memakan makanan Nabi Shalallahu 'Alaihi Wasallam.

Demikianlah wahai saudaraku se-Iman dan se-Aqidah, diantara wujud keagungan rahmat Allah Subhanahu Wata 'alla kepada kita hamba-hamba-Nya yang lemah, dengan diberikannya keringanan dan kemudahan dalam berpuasa bagi sebagian orang yang telah kami sebutkan. Wallahu a’lam. Semoga bermanfaat. Semoga Amal Ibadah kita di Bulan Ramadhan dirahmati dan diridhoi Allah Azza wa Jalla dan Insya Allah ditetapkan sebagai pahala . Amin ya Rabbal ‘alamin.

Hal-hal yang boleh dilakukan pada saat puasa dan tak membatalkan puasa

بِسْمِ الّلهِ الرَّ حْمنِ الرَّ حِيمِ

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah Azza wajalla, kepada-Nya kita memeberikan sanjungan , memohon pertolongan dan ampunan. Kepada-Nya lah Ikhwa fillah kita senantiasa berlindung dari kejahatan diri dan keburukan amal perbuatan kita. Semoga Allah Azza Wa jalla menyatukan kita semua untuk senantiasa mencintai-Nya dan mengikuti Sunnah Rasul-Nya.

Kadarullah, Alhamdulillah! sekarang kita telah memasuki dan merasakan nikmatnya hari ke-17 di Bulan Ramadhan, Semoga Amal ibadah yang kita kerjakan tak menjadi amal yang sia-sia. Semoga Allah azza wa Jalla selalu memberikan kita kekuatan, kesabaran, serta ilmu yang bermanfaat sehingga segala amal yang kita lakukan menjadi bekal kita diakhirat kelak. Amin ya Rabball..... ‘alamin.

Toyib ! terkesan agak telat, mempostingkan tulisan mengenai hal-hal yang boleh dilakukan oleh orang yang berpuasa. Namun Sungguh saudaraku, dan ketahuilah, bahwa Allah Azza wa Jalla menghendaki kemudahan bagi hamba-hamba-Nya, dan Allah Azza wa Jalla tidak menghendaki kesulitan sama sekali bagi hamba-Nya. Maka, sehubungan dengan hal tersebut, Allah Azza Wa jalla sang pembuat Syari’at, telah membolehkan beberapa hal bagi kita kaum muslimin, yang sedang menjalankan ibadah puasa, dan memaafkannya jika kita yang lagi berpuasa melakukan sesuatu karena kesulitan. Jadi di dalam menjalankan saum Ramadhan ada hal-hal atau kondisi-kondisi dimana hal tersebut atau kondisi tersebut tidaklah membatalkan amaliah saum Ramadhan kita jika hal tersebut terjadi pada diri kita, saudara kita atau tetangga-tetangga dan saudara kita kaum muslimin sekalian.

Hal-hal tersebut yakni :

Bahwa Orang yang berpuasa tetap bisa berpuasa, artinya tetap boleh berpuasa, walaupun kita, atau orang yang berpuasa bangun setelah waktu Subuh tiba, dalam keadaan Junub atau berhadas besar. Hal ini saudaraku disandarkan kepada peristiwa dimana hal tersebut pernah dialami Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam, dimana Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam bangun pagi ketika fajar sudah terbit, sedangkan beliau saat itu dalam keadaan Junub setelah bercampur dan beribadah dengan istrinya. Lantas beliau (Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa sallam) mandi , yakni mandi Junub setelah terbit fajar tersebut, dan kemudian beliau berpuasa. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukahari dan Imam Muslim (semoga Allah merahmatinya) dari Ummul Mukminin ‘Aisyah dan Ummu Salamah Radhiyallahu Anhu. “bahwa Nabi Shalallahu 'Alaihi Wasallam pernah mendapati fajar setelah terbit, sedang ketika itu beliau dalam keadaan Junub, karena bercampur dengan istrinya, kemudian beliau mandi dan berpuasa.”

Jadi, bagi saudaraku se-iman dan se-aqidah yang telah berkeluarga, mendapati kondisi seperti ini, yakni bangun tidur saat fajar telah terbit, namun belum sempat mandi junub setelah berhubungan suami istri, maka segeralah mandi dan berpuasalah. Adapun bagi yang belum menikah, dapat juga mengalami hal ini, dimana bangun tidur pada waktu fajar tiba dalam kondisi junub karna mimpi, maka jika demikian , maka segeralah mandi dan berpuasalah ! dan ingat solusi selanjutnya , Segeralah menikah ! wallahu a’lam.

Toyib ! Saudaraku yang selalu mengharapkan rahmat dan ridho Allah. Adapun hal-hal lain yang dibolehkan dilakukan pada saat kita berpuasa dan tidak membatalkan puasa kita yakni Bersiwak atau kalau tak menemukan siwak ya... menggosok gigi dengan sikat gigi. Namun yang memang dianjurkan adalah bersiwak menggunakan kayu siwak. Di dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh al Imam al-Bukhari Rahimahullah, hadits yang senada dengan hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Muslim Rahimahullah, dimana Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam bersabda :

“Seandainya aku tidak takut akan memberatkan umatku, niscaya aku akan menyuruh mereka bersiwak setiap kali berwudhu’

Jadi berdasarkan hadits ini , di dapati bahwa Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam tidak hanya mengkhususkan bersiwak bagi orang yang berpuasa saja, tetapi juga yang lainnya. Dimana orang yang berpuasa atau tidak, setiap harinya ia dianjurkan atau patut untuk bersiwak ketika akan berwudhu atau sholat. Selain itu, ber-siwak bersifat umum yang bisa dilakukan setiap saat, dan baik untuk kesehatan Wallahu ‘Alam.

Selanjutnya nih, kita dibolehkan Berkumur dan memasukkan air ke hidung. Hal ini karena Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam biasa berkumur dan memasukkan air ke hidung saat beliau (Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam) berwudhu ketika menjalankan ibadah Ramadhan, hanya saja beliau (Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam) melarang orang yang sedang berpuasa untuk berlebih-lebihan dalam berkumur dan memasukkan air ke hidung. Hal ini sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh al-Imam at-Tirmidzi, al Imam Abu Dawud, Imam Ahmad, Ibnu Abi Syaibah, ibnu Majah serta an-Nasa’i, Semoga Allah merahmati mereka semua, dari Laqith bin Sarah Radhiyallahu Anhu, dengan sanad shohih , Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda : dan lakukan istinsyaq (memasukkan air ke dallam hidung) secara mendalam (artinya sebaik-baiknya), kecuali jika kamu dalam keada‘an puasa.

Dan ketahuilah saudaraku yang mencintai Sunnah, telah ditegaskan di dalam sebuah hadits dari Ummul Mukminin Aisyah Radhiyallahu Anhu bahwa , Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam pernah menciumnya, dimana saat itu Rasulullah tengah berpuasa, hanya saja beliau adalah orang yang paling kuat menahan nafsunya diantara kalian.” Jadi bagi yang telah menikah, boleh mencium istrinya saat berpuasa, asalkan dapat mengendalikan nafsunya dan tidak keluarnya mani. Adapun bagi yang belum menikah, segeralah menikah ! Jadi berdasarkan hadits dari ‘Aisyah Radhiyallahu Anhu yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim (Semoga Allah merahmati mereka), maka mencium Istri bagi orang berpuasa diperbolehkan. Namun hal ini dimakruhkan bagi pasangan suami istri yang berusia muda dan tidak mengapa bagi pasangan suami istri yang telah tua. Sebagaimana hadits dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash Radhiyallahu Anhu, dia bercerita : “Kami pernah bersama Nabi Shalallahu 'Alaihi Wasallam, tiba-tiba ada seorang pemuda mendatangi beliau seraya berucap : ‘Wahai Rasulullah ! , bolehkan aku mencium (istriku) sedang aku dalam keadaan berpuasa? Beliau (Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam) menjawab : Tidak .!’ Kemudian ada orang tua seraya bertanya : ‘Apakah aku boleh mencium (istriku) sedang aku dalam keadaan berpuasa ?’ Beliau menjawab : ‘Boleh.!! (selanjutnya) ‘Abdullah bercerita, “lalu sebagian kami saling berpandangan. Kemudian Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam bersabda : “Sesungguhnya orang yang sudah tua itu bisa menahan nafsunya.” Hadits ini diriwayatkan oleh imam Ahmad melalui jalan Ibnu Luhai’ah dari Yazid bin Abi Habib, dari Qaishar at-Tujaibi darinya. Dan ketahuilah, berdasarkan keterangan yang ada, Sanad hadits ini adalah Dhoif, dikarenakan kedhoifan Ibnu Luhai’ah. Tetapi hadits ini mempunyai syahid atau penguat, yang diriwayatkan oleh at-Thabrani sehingga hadits ini menjadi Hasan. Demikian penjelasan yang kami kuitip dari shifatu Shaumin Nabi fii Ramadhaan karya Syaikh Abu Usamah salim bin ‘Ied al Hilalai dan Syaikh ‘Ali Hasan ‘Ali Abdul hamid al-halabi.

Kemudian Hal lainnya yang diperbolehkan bagi yang berpuasa dan tak membatalkan puasanya yakni Transfusi darah alias donor darah. Jadi selama kondisi kita baik-baik saja, dan tak membawa mudhorot bagi diri kita, setelah kita donor darah, maka diperbolehkan donor darah saat berpuasa. Selain itu jika kita disuntik namun suntikan yang tidak dimaksudkan sebagai makanan. maka hal ini juga diperbolehkan bagi orang yang berpuasa. Jadi antum sekalian jangan ragu jika ada saudara kita yang memerlukan darah dibulan Ramadhan. Bantulah saudara kita tersebut karna tranfusi atau donor darah tidaklah membatalkan puasa, asalkan setelah donor tidak menimbulkan mudhorot bagi pendonor. Wallahu a’alam. Selanjutnya Berbekam atau HIjamah pada saat berpuasa juga diperbolehkan dan tak membatalkan puasa bagi yang dibekam maupun yang mem-bekam. Namun Berbekam atau Hijamah sebelumnya Termasuk salah satu hal yang membatalkan puasa. Kemudian hukum tersebut dimansukh atau dihapuskan. Dimana berbekam pernah dilakukan Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam dalam keadaan puasa. Sebagaimana hadits dari Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhu ; “Bahwa Nabi Shalallahu 'Alaihi Wasallam pernah berbekam sedang beliau dalam keadaan berpuasa.” Hadits riwayat Bukhari dalam Fathul Baari. Nah untuk lebih jelasnya mengenai bolehnya berbekam disaat puasa, silahkan buka penjelasan Syaikh ash-Shon’ani di dalam kitab “SUBULUS SALAM Syarah kitab BULUGHUL MAROM pada Bab puasa. Wallahu a’lam.

Kemudian bagi yang biasa memasak, maka sekedar Mencicipi makanan dibolehkan ketika sedang berpuasa asalkan tidak sampai masuk ke dalam rongga tenggorokan. Artinya ya dilidah aja, dan itupun sedikit. Jadi, yang namanya mencicipi makanan diperbolehkan bagi yang memasak namun tidak boleh sampai masuk ke tenggorokan. Hal ini disandarkan kepada dalil yang diriwayatkan Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhu : “Tidak ada masalah untuk mencicipi cuka atau sesuatu selama tidak dimasukkan ke dalam kerongkongannya sedang dia dalam keadaan berpuasa.” Hadits ini disampaikan oleh al-Imam Al Bukhari (semoga Allah merahmatinya) dan disambung oleh Ibnu Abi Syaibah, serta al-Baihaqi melalui dua jalan. Dan hadits ini derajatnya Hasan.

Toyib ! hal-hal lainnya yang boleh dilakukan saat kita sedang berpuasa yakni, memakai Celak mata, kemudian memakai Obat tetes mata dan yang semisalnya yang dimasukkan ke dalam mata. Jadi semua hal tersebut tidak lah membatalkan puasa, baik barang tersebut terasa oleh kita maupun tidak. Dan Untuk lebih jelasnya, dapat merujuk kepada kitab Zaadul Ma’aad karya al-Alamah Ibnu Qayyim al-Jauziyah (semoga Allah merahmatinya) juga Haqiiqatush Shiyaam karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah atau Mukhtashar Shahih al-Bukhari karya Syaikh Muhammad Nashirudin al-Albani (semoga Allah merahmatinya).

Selain itu, di dalam Kitab Shohihnya, bab Ightisaalush Shaa-im, al-Imam al-BUkhari Rahimahullahu Ta’ala anhu, meriwayatkan, Ibnu Umar Radhiyallahu Anhu pernah membasahi pakaian dan kemudian meletakkannya diatas tubuh-nya sedang dia dalam keadaan puasa. Dan asy-Sya’bi juga pernah masuk kamar mandi sedang dia dalam keadaan puasa. (dan) Al-Hasan mengatakan : “Tidak ada masalah dengan berkumur dan mendinginkan diri (maksudnya menyejukkan badan) bagi orang yang sedang berpuasa.” Misalkan dengan berendam didalam bak air, karna panas yang amat sangat atau menyiramkan air ke kepala, sebagaimana hadits yang diriwayatkan al-Imam Abu Dawud, serta Imam Ahmad dengan sanad shohiih, dimana di sebutkan : “Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam sendiri, pernah menyiramkan air pada kepalanya, sedang beliau dalam keadaan berpuasa, karena haus atau panas yang menyengat.”

Jadi menyiramkan air dingin pada kepala atau kita berendam di bak mandi, atau mandi untuk mendinginkan badan pada saat puasa karna panas yang terik diperbolehkan dan tidak membatalkan puasa. Wallahu ‘alam bishowab

Kaffarat & Fidyah

بِسْمِ الّلهِ الرَّ حْمنِ الرَّ حِيمِ

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah Azza wa jalla, kepada-Nya kita memberikan sanjungan , memohon pertolongan dan ampunan. Kepada-Nya lah wahai saudaraku se-Iman se-aqidah, kita senantiasa berlindung dari kejahatan diri dan keburukan amal perbuatan kita. Semoga Allah Azza Wa jalla menyatukan kita semua untuk senantiasa mencintai-Nya dan mengikuti Sunnah Rasul-Nya. Dan semoga Allah azza wa Jalla memberikan kebaikan yang banyak kepada kita semua, hingga kita dapat menjalankan dan menikmati Ramadhan tahun ini dengan amal ibadah yang baik, sesuai sunnah Rasul-Nya, dan diterima sebagai bekal di yaumil akhir. Amiinn ya Rabbal ‘Alamin

Toyib ! Saudaraku yang mencintai Sunnah, berikut ana postingkan beberapa hal mengenai Ramadhan, dimana tulisan ini banyak mengambil manfaat dari kitab shifatu Saumin Nabii fii Ramadhaan karya Syaikh Salim I’ed Al-hilalai Hafidzahullah dan Syaikh Ali Hasan al-halabi hafidzahullah. Yakni mengenai Kaffarat dan Fidyah

Toyib, saudaraku yang selalu mengharapkan rahmat dan ridho Allah Azza wa Jalla ! Tentunya bagi yang telah berkeluarga faham apa yang dinamakan Hubungan Badan. Adapun bagi yang belum berkeluarga alias belum menikah, segeralah menikah ! he..he..he... biar lebih faham. artinya tidak ada salahnya bagi yang belum menikah untuk mengetahui mengenai hal ini. Karna hal ini adalah patut atau wajib untuk diketahui sebagai bekal nanti berumah tangga. Sebagaimana qaidah yang telah masyhur Ilmu dulu , baru amal”. Jadi yang namanya hubungan badan, menurut Al Alamah Ibu Qayyim Rahimahullahu Ta’ala anhu, di dalam kitabnya Zaadul Ma’aad mengatakan, “Al-Qur’an telah menunjukkan bahwa hubungan badan itu membatalkan puasa, sebagaimana halnya makan dan minum. Dan al Imam asy- Syaukani (semoga Allah merahmatinya) dalam ad-Daraaril Mudhiyyah mengatakan “Tidak diperdebatkan lagi bahwa hubungan badan membatalkan puasa jika dilakukan dengan sengaja. Namun jika lupa, maka sebagian ulama mengkatagorikan nya termasuk orang yang makan dan minum karena lupa.

Jadi ingat saudaraku, puasa itu juga menahan diri dari hubungan badan. Lantas, barangsiapa yang merusak puasanya dengan hubungan badan, artinya dengan sengaja melakukan jima’ atau berhubungan badan saat siang hari atau saat yang lainnya sedang berpuasa dibulan ramadhan, maka orang tersebut harus mengganti puasanya itu dengan kaffarat. Dan Hal ini pernah terjadi di jaman Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam. Dimana peristiwa ini diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu, dari Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam : (suatu ketika) “Beliau pernah didatangi seseorang seraya berucap : “Wahai Rasulullah, celakalah aku !!.’ ‘Apa yang telah mencelakakan dirimu?’ Tanya Rasulullah. Dia (orang tersebut) menjawab : “Aku telah berhubungan badan dengan istriku pada siang hari di Bulan Ramadhan.’ (Kemudian) Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bertanya : ‘Apakah kamu mampu memerdekakan seorang budak?’ ‘Tidak !!, ‘Jawabnya. (Selanjutnya) Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam bertanya lagi : ‘Apakah kamu mampu berpuasa selama dua bulan berturut-turut? Orang tersebut lantas menjawab : ‘Tidak’. Beliau (Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam) (kemudian) bertanya lagi : ‘Dan apakah kamu mampu memberi makan kepada enam puluh orang miskin? (orang itupun) menjawab : ‘Tidak !!.’ Kemudian Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam mempersilakan (orang tersebut) duduk kepadanya. (selanjutnya) orang tersebut pun duduk. Kemudian Nabi Shalallahu 'Alaihi Wasallam dibawakan satu wadah berisi kurma, dan beliau bersabda : ‘Bersedekahlah dengan kurma ini.’ (Mendapati apa yang dilakukan Rasulullah) berkata orang tersebut : ‘Adakah orang yang lebih miskin dari kami?

(Selanjutnya) Abu Hurairah mengatakan : ‘Maka (mendengar apa yang disampaikan orang tersebut) nabi pun tertawa sehingga gigi taringnya tampak. Kemudian beliau (Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam) berkata : ‘Ambillah dan berikan makan keluargamu dari sedekah itu. hadits ini disebutkan dengan lafadz yang bermacam-macam ada yang dari al-Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi, al-Baghawi, Abu Dawud, dan banyak lagi, termasuk al-Imam asy Syafi’i serta Imam Malik. Dimana sebagian ada yang me-Mursalkannya dan sebagian lainnya menyambungnya. Dan derajat hadits ini dinilai Shohih oleh al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani (semoga Allah merahmatinya) di dalam Fathul Baari.

Nah Sebagaimana peristiwa dari hadits Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu, mengenai seorang yang melakukan hubungan badan dengan istrinya pada siang hari di bulan Ramadhan, maka bagi orang tersebut, ia harus mengqadha’ puasa yang ditinggalkannya sekaligus membayar kaffarat. Adapun kaffaratnya yakni dengan memerdekakan seorang budak. Dan Jika tidak mendapatkan seorang budak, maka orang tersebut harus berpuasa selama dua bulan berturut-turut. Dan jika tidak mampu juga melakukan hal tersebut, maka dia harus memberi makan enam puluh orang miskin. Namun saudaraku, ada juga yang berpendapat , bahwa kaffarat yang harus dibayar karena melakukan hubungan badan itu di dasarkan pada pilihan dan tidak berdasarkan pada tertib urutan kaffarat. Adapun pendapat yang lebih kuat atau lebih Rajih yakni bahwa kaffarat itu harus ditempuh berdasarkan tertib urutan, Wallahu ‘alam. Demikianlah keterangan yang terdapat di dalam kitab shifatu Saumin Nabii fii Ramadhaan. Dan, sebagaimana kita ketahui bahwa orang yang berilmu merupakan hujjah bagi orang yang tidak berilmu. Adapun Ulama-ulama yang mentarjih tertib urutan, hal ini mereka lakukan sebagai suatu bentuk tindakan kehati-hatiaan.

Selanjutnya, barang siapa yang diwajibkan membayar kaffarat sedang kan orang tersebut tidak mampu memerdekakan budak atau mengerjakan puasa selama dua bulan berturut-turut atau tidak juga mampu memberi makan kepada enam puluh orang miskin, maka kewajiban itu menjadi gugur. Karena, tidak ada taklif kecuali dengan adanya kemampuan . Sebagaimana firman Allah Azza Wa jalla di dalam Surah Al-Baqarah ayat 286

لاَ يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلّاَوُسْعَهَا

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.

Adapun dalil lainnya yang sangat layak untuk dijadikan hujjah, yakni dalil yang dikeluarkan oleh Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, dimana beliau menggugurkan kafarat dari orang tersebut, saat orang tersebut memberitahu bahwa dia merasa kesulitan untuk membayar kaffarat, Bahkan, beliau (Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam) memberikan satu wadah kurma agar orang tersebut memberikan makan kepada keluarganya. Jadi saudaraku yang mencintai Sunnah, kita benar-benar diberi rahmat akan kemudahan dalam beragama ini, namun bukan berarti lantas kita memudah-mudahkan, hingga melanggar apa yang telah ditetapkan. Dan cermatillah, bahwa ternyata, wanita tidaklah diharuskan kaffarat atas hubungan badan yang dilakukannya. karena Nabi Shalallahu 'Alaihi Wasallam, telah memberitahukan kepada kita melalui hadits dari Abu Hurairah tentang apa yang dialami oleh seorang laki-laki dengan istrinya, dan Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam tidak mewajibkannya kecuali satu kaffarat saja yakni bagi silaki-laki dan tidak bagi wanitanya. Wallahu a’lam.

Adapun mengenai masalah fidyah, Maka hal ini terjadi jika seorang muslimin telah tua renta, sehingga tak kuat lagi untuk berpuasa, atau seorang muslimah alias wanita muslim yang sedang dalam kondisi hamil dan menyusui anaknya, kemudian wanita tersebut khawatir terhadap dirinya sendiri atau terhadap anaknya, maka keduanya boleh tidak berpuasa, dan hanya cukup dengan memberi makan orang miskin setiap hari. Adapun yang menjadi syahid dalam hal ini, adalah nash ilahi sebagaimana al-Qur’an Surah al-Baqarah ayat 184 :

وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيْقُو نَهُ, فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ

“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. “

Jadi saudaraku yang mencintai Sunnah, sebagaimana yang kami kutip dari Shifatu Shaumin Nabi fii Ramadhaan karya Syaikh Salim ‘Ied al Hilali dan Syaikh Ali Hasan al-Halabi, bahwa sisi penggunaan dalil, yakni Surah Al-Baqarah ayat 184, merupakan dalil di-khususkan-nya bagi orang yang sudah tua, wanita yang sudah sangat lemah , orang yang menderita penyakit yang tidak dapat disembuhkan, wanita yang sedang hamil, serta wanita yang sedang menyusui jika keduanya khawatir terhadap dirinya sendiri atau pada anak mereka, maka mereka semua ini jika tak berpuasa, maka mereka membayar fidyah yakni memberi makan seorang miskin sebanyak hari yang ditinggalkannya. Hal ini sebagaimana penjelasan Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu Anhu, dimana di dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari (semoga Allah merahmatinya) dari Ibnu ‘Abbas Radiyallahu Anhu : “Dan ditetapkan bagi orang laki-laki yang sudah tua dan wanita tua yang lemah, jika keduanya tidak mampu mengerjakan puasa, serta wanita hamil dan wanita yang menyusui jika keduanya khawatir pada dirinya atau pada anaknya, maka keduanya boleh tidak berpuasa, tetapi harus memberi makan setiap hari kepada satu orang miskin.”

Namun ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa hal ini (ibu hamil atau ibu-ibu yang sedang menyusui anak, yang tidak mampu berpuasa), maka mereka diharuskan mengqadha’ puasa yang mereka tinggalkan bahkan ada juga yang berpendapat bahwa ibu-ibu tersebut harus mengqadha’ dan membayar fidyah sekaligus. Wallahu a’lam.

Dan sebagaimana penjelasan dari Sahabat yang mulia Ibnu ‘Abbas Radiyallahu anhu, juga ada dalil penguat yang lain yang diriwayatkan oleh al-Baihaqi di dalam kitab Sunnanya melalui jalan al-Imam Asy Syafi’i (salah satu Imam Mazhab kita) dengan sanad shohih, sebagaiaman yang tertulis di Shifatu Shaumi Nabi fii Ramadhaan , dari Malik, dari Nafi’ bahwa Ibnu Umar pernah ditanya tentang seorang wanita hamil jika khawatir pada kandungannya. Maka dia (Ibnu Umar) menjawab : “Dia boleh tidak berpuasa, tetapi harus memberi makan satu mud gandum setiap hari kepada satu orang miskin.” Dan juga selain itu, diriwayatkan oleh al-Imam ad-Daraquthni (semoga allah merahmatinya) dari Ibnu Umar Radhiyallahu Anhu, bahwasanya “Wanita yang hamil dan wanita yang menyusui boleh tidak berpuasa dan tidak perlu mengqadha’nya.” serta di dalam riwayat yang lain : Bahwa istrinya pernah bertanya kepadanya ketika tengah hamil, maka dia menjawab : “Tidak perlu berpuasa, tetapi kamu harus memberi makan kepada orang miskin setiap hari dan tidak perlu mengqadha’. Adapun dalil lainnya, masih dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu Anhu : “Bahwa seorang anak perempuannya dinikahi oleh seseorang dari kaum Quraisy, sedang dia tengah hamil, lalu dia merasa HAUS disiang hari pada bulan Ramadhan, maka dia menyuruhnya untuk tidak berpuasa, dan mengharuskan memberi makan orang miskin untuk setiap hari yang ditinggalkannya.” Maka semua dalil atau nash-nash yang ana postingkan ini mempertegas bahwa bagi ibu-ibu yang sedang mengandung atau yang lagi menyusui anak-anaknya, maka ibu-ibu tersebut membayar fidyah yakni memberi makan satu orang fakir miskin setiap hari yang ditinggalkan. Untuk lebih jelasnya, baca Shifatu Shaumin Nabi fii Ramadhaan karya Syaikh Salim ‘Ied al Hilali dan Syaikh Ali Hasan al-Halabi.

Dan untuk lebih menegaskan dan menjelaskan, makna peniadaan kewajiban puasa bagi orang-orang yang tidak mampu menjalankannya dengan membayar fidyah, maka kalamullah Surah Al-Baqarah ayat 184 adalah sandarannya , dimana Allah Azza Wa jalla berfirman :

وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيْقُو نَهُ, فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ

“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. “

Jadi telah jelas bukan, bahwa bagi wanita hamil dan wanita menyusui termasuk dalam cakupan ayat ini bahkan termasuk yang di khususkan. Jadi bagi wanita hamil dan ibu –ibu yang menyusui yang mengkhawatirkan akan kondisi dan keadaan anaknya sehingga tidak dapat berpuasa maka cukuplah baginya membayar fidyah. Dan Ingat yang namanya fidyah itu memberi makan , bukan memberi uang. Jadi fidyah adalah memberi makan satu orang miskin.

Sekarang ini, marak dimasyarakat kita, jika mereka membayar fidyah maka mereka menggantinya dengan memberikan uang kepada petugas amil zakat. Padahal jelas ditegaskan bahwa فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Bukan memberi uang kepada amil zakat. Jadi sekali lagi kami meng-ingatkan diri kami dan saudaraku se-Iman se-Aqidah, bahwa yang namanya fidyah yakni memberi makan seorang miskin. Lantas kalau ada yang merasa membayar fidyah dengan uang dan diserahkan kepada petugas amil zakat, maka kami tegaskan orang tersebut telah melakukan sesuatu yang tak sesuai dengan perintah Allah azza wa jalla dan tak sesuai dengan Sunnah rasul-Nya. Maka dari itu, jika membayar fidyah maka berilah makan seorang miskin. Ingat fidyah tidaklah dapat diganti dengan uang. Karna fidyah tidak dengan uang, tetapi dengan makanan. Membayar fidyah berarti dengan memberi makan orang miskin. wallahu a’lam bishowab. Semoga dapat bermanfaat.

Dan sebagai penutup postingan kali ini, ada do’a yang dapat kita hafalkan dan amalkan. Dimana beliau (Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam), pada waktu berbuka puasa, ( tentunya setelah membaca basmalah yakni بِسْمِ الّلهِ saat memasukkan makanan dan minuman kedalam mulut), maka Rasulullah membaca do’a :

ذَهَبَ ا لظَّمَا ءُ وَابْتَلَّتِ اْلعُرُوْقُ, وَثَبَتَ اْلأَ جْرُ

إِنْ شَاءَ اللهُ.

Jadi jangan salah ikhwa fillah, begitu tiba waktu berbuka, saat memasukkan makanan dan minuman kita lantas membaca do’a yang lain atau bahkan tidak membaca apa-apa, padahal telah diajarkan kepada kita bahwa do’a makan dan minum adalah membaca basmalah

عَنْ وَهْبِ بْنِ كَيْسَانَ أَبِي نُعَيْمٍ قَالَ


أُتِيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ


بِطَعَامٍ وَمَعَهُ رَبِيبُهُ عُمَرُ بْنُ أَبِي سَلَمَةَ


فَقَالَ سَمِّ اللَّهَ وَكُلْ مِمَّا يَلِيكَ


“dari Wahb bin Kaisan Abu Nu'aim ia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah diberi makanan, dan saat itu beliau bersama anak tirinya Umar bin Abu Salamah, maka beliau pun bersabda: "Bacalah Basmalah dan ambillah makanan yang ada didekatmu.".

Dan setelah kita membaca basmalah, yakni بِسْمِ الّلهِ kemudian kita memasukkan makanan atau minuman berbuka puasa kemulut dan makanan atau minuman tersebut telah membasahi kerongkongan kita, barulah setelah itu kita membaca do’a :

ذَهَبَ ا لظَّمَا ءُ وَابْتَلَّتِ اْلعُرُوْقُ,


وَثَبَتَ اْلأَ جْرُ

إِنْ شَاءَ اللهُ.


Adapun do’a yang masyhur ditengah-tengah kita selama ini, yakni yang biasa kita baca “Allahuma lakasumtu, wabika amantu... derajat haditsnya adalah dhoif atau lemah. Wallahu a’lam bishawab.