Jumat, 19 Agustus 2011

I'tikaf

بِسْمِ الّلهِ الرَّ حْمنِ الرَّ حِيمِ

Wahai saudaraku se-Iman dan se-Aqidah yang dirahmati Allah, segala puji bagi Allah Azza wajalla, kepada-Nya kita memberikan sanjungan, memohon pertolongan dan ampunan. Kepada-Nya lah wahai saudaraku yang mencintai sunnah, kita senantiasa berlindung dari kejahatan diri dan keburukan amal perbuatan kita. Semoga Allah Azza Wa jalla menyatukan kita semua untuk senantiasa mencintai-Nya dan mengikuti Sunnah Rasul-Nya.

Atas izin Allah Ta’ala bertemu lagi kita dengan Ramadhan. Alhamdulillah ! Insya Allah pada postingan kali ini akan berisi mengenai I’tikaf. Tentunya kita sering mendengar mengenai i’tikaf atau bahkan sudah pernah menjalani ibadah yang satu ini. Namun tak ada salahnya kita untuk mengetahui apa dan bagaimana sebenarnya i’tikaf yang sesuai dengan tuntunan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wasallam.

Ketahuilah wahai saudaraku yang mencintai Sunnah yang membenci bid’ah, bahwa hukum i’tikaf adalah sunnah, baik dilakukan di bulan ramadhan maupun yang lainnya sepanjang tahun, hal ini disandarkan kepada dalil ilallah, yakni firman Allah Subhanahu wa Ta’ala didalam Surah Al-Baqarah ayat 187

وَأَنتُمْ عَكِفُونَ فِى الْمَسَجِدِ

“Sedang kalian dalam kedaan I’tikaf di masjid”.

Selain itu ada juga beberapa hadist shahih tentang I’tikaf Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam serta atsar-atsar yang mutawatir dari ulama Salaf dalam masalah i’tikaf ini. Sebagaimana disebutkan dalam kitab Al Mushannaf, karya Ibnu Abi syaibah dan Abdurrazzaq.

Terdapat riwayat bahwa Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam i’tikaf sepuluh hari terakhir dari bulan Syawal , riwayat ini dibawakan oleh al-Imam al-Bukhari, Imam Muslim dan Ibu Khuzaimah (semoga Allah merahmati mereka), di dalam kitab shahih mereka, dan telah ditahkrij di dalam shahih Abu Dawud oleh al-Alamah Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani Rahimahullah. Dimana hadits ini bersumber dari Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu ‘anha.

Kemudian Umar radhiyallahu ‘anhu (pernah) berkata kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam “Dahulu aku bernadzar di zaman jahiliyah untuk I’tikaf semalam di Masjidil Haram”? (kemudian) Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Penuhilah nadzarmu”. (maka Umar I’tikaf semalam). Riwayat ini dibawakan oleh al- Imam al-Bukhari, Imam Muslim dan Ibnu Khuzaimah

Namun ketahuilah wahai saudaraku yang mencintai sunnah, bahwa i’tikaf lebih ditekankan di bulan Ramadhan berdasarkan hadist dari Sahabat yang mulia Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam ber i’tikaf di setiap Ramadhan 10 hari. Dan pada tahun dimana beliau wafat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam ber- I’tikaf selama 20 hari. Rawahu al-Bukhari dan Ibnu Khuzaimah. Dan yang paling utama lagi yakni dilakukan pada akhir bulan Ramadhan, karena Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam I’tikaf pada 10 hari terakhir dari bulan Ramadhan sampai Allah mewafatkan beliau. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan Imam al-Bukhari dan Ibnu Khuzaimah

Jadi yang namanya i’tikaf itu, yang paling baik dilakukan di Bulan Ramadhan dan paling utama dilakukan di 10 terakhir bulan Ramadhan. Mari saudaraku kita persiapkan diri-diri kita untuk ber’tikaf di 10 terakhir bulan ramadhan. Semoga Allah Azza wa Jalla memberikan kita kemudahan, kesempatan dan kekuatan untuk dapat menunaikan ibadah sunnah ini. Insya Allah..... Amin !

Wahai saudaraku yang mencintai Sunnah. Ketahuilah, bahwa yang namanya i’tikaf tidak lah sembarangan, i’tikaf mempunyai syarat-syarat tertentu yang mesti dipenuhi oleh orang-orang yang akan melakukannya. Adapun syarat-syaratnya antara lain :
Yang pertama, bahwa i’tikaf tidaklah disyariatkan kecuali di lakukan didalam masjid-masjid, hal ini berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
“Dan janganlah kalian melakukan jima’ (hubungan badan antara suami istri) dengan mereka, sedang kalian beri’tikaf di masjid-masjid”. Qur’an Surah Al Baqarah ayat 187, Berkata al Hafidz Ibnu Hajar mengenai ayat ini :“ Sisi pendalilan dari ayat itu, bahwa kalau seandainya I’tikaf itu sah selain dimasjid tidaklah akan dikhususkan pengharaman jima’ itu hanya padanya, karena jima’ itu membatalkan I’tikaf secara ijma’ atau kesepakatan, maka diketahui dengan penyebutan masjid, bahwa dimaksudkan I’tikaf itu tidak boleh kecuali di masjid.

Berkata ummul mukminin Aisyah radhiyallahu ‘anha : “Disunnahkan, bagi seorang I’tikaf, agar tidak keluar kecuali untuk kebutuhan yang mesti dia lakukan. Tidak boleh menjenguk orang sakit, tidak boleh menyentuh wanita, tidak pula jima’ dengan mereka, dan tidak I’tikaf melainkan pada masjid jami’ (yang digunakan untuk shalat jum’at). Disunnahkan pula bagi yang I’tikaf untuk berpuasa. Hadits ini diriwayatkan oleh al-Baihaqi dengan sanad yang shahih, dan Abu Dawud dengan sanad yang Hasan.

Adapun syarat yang kedua jika akan ber-i’tikaf yakni Hendaklah ber i’tikaf pada masjid jami’ agar tidak terpaksa keluar masjid untuk melaksanakan shalat jum’at, karena keluar untuk melaksanakan sholat jum’at adalah wajib. Hal ini berdasarkan ucapan Ummul Mukmin 'Aisyah Radhiyallahu ‘anha, yakni “…dan tidak ada I’tikaf kecuali di masjid jami' “ dan Asy-Syaikh Nashiruddin al-Albani menukil perkataan al-Imam al-Baihaqi dari Ibnu Abbas : ”Sesungguhnya perkara yang paling Allah benci adalah bid’ah dan sesungguhnya termasuk bid’ah adalah I’tikaf di masjid-masjid yang ada di rumah” dalam artian i’tikaf tersebut tidak dilakukan di masjid jami yang terselenggaranya sholat jum’at disana. Kemudian Syaikh Al-Bani membawakan hadist yang shahih dan jelas, yang mengkhususkan keumuman makna “masjid-masjid” yang tersebut dalam ayat, yaitu hanya pada tiga masjid : Masjidil Haram, Masjid Nabawi, dan Masjidil Aqsa , sebagaimana hadist Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam :
“Tidak ada I’tikaf kecuali pada 3 masjid itu”. rawahu Thahawi, isma’ily dan Baihaqi dengan sanad yang shahih dari Hudzaifah bin Al Yaman, dan telah ditakhrij oelh syaikh al-bani dalam “Silsilah shahihah” no : 2787 bersama dengan riwayat-riwayat yang lain.

Dan diantara ulama salaf yang berpendapat demikian bahwa i’tikaf hanya di tiga masjid yakni sahabat Hudzaifah bin Al Yaman dan Sa'id bin Al Musayyib juga 'Atha’ rahimahullah. Akan tetapi menurut syaikh Al-bani ‘Atha’ tidak menyebutkan Masjidil Aqsa. Namun sebagian ulama mengatakan i’tikaf di tiga masjid yakni masjidil Haram, masjid Nabawi serta masjidil aqso adalah sebuah keutamaan bukan keharusan . Sedangkan syaikh al-bani menguatkan hadits tersebut, bahwa “Tidak ada I’tikaf kecuali pada 3 masjid,” Dan beliau Rahimahullah berkata”. Dan tidak tersembunyi lagi, bahwa mengambil pendapat yang sesuai dengan hadist, itulah yang semestinya, wallahu Ta’ala a’lam.
Adapun Syarat selanjutnya dari i’tikaf yakni Disunnahkan bagi orang yang melakukan I’tikaf agar berpuasa. Jadi selama melakukan i’tikaf tetaplah berpuasa.

Kemudian saudaraku, ada hal-hal yang boleh dilakukan selama kita ber i’tikaf. Jadi selama kita ber-i’tikaf “Insya Allah”... dimana kita mendapati hal-hal yang akan sebutkan ini, maka i’tikaf kita tidak batal atau tetap terhitung sebagai ibadah i’tikaf.

Dimana hal-hal yang dibolehkan tersebut yakni :

Bagi yang ber i’tikaf dibolehkan keluar dari masjid untuk buang hajat, juga diperbolehkan mengeluarkan anggota badan seperti kepala dari masjid untuk dikeramasi atau disisir. Hal ini sebagaimana hadits yang dibawakan oleh al-Imam al-Bukhari, Imam Muslim, Ibnu Abi Syaibah dan Imam Ahmad, dan telah ditakhrij oleh syaikh Al-bani di dalam Shahih Abu Dawud, dimana Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata : “Sesungguhnya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dahulu megeluarkan kepalanya kepadaku sedang dia (dalam keadaan beri’tikaf) di masjid dan saya di kamar saya, kemudian saya sisir rambutnya.” Dalam riwayat lain ada tambahan : “Lalu saya cuci kepalanya (Rasulullah) dan diantara aku dan rasulullah, (ada) kayu dasar pintu dan saya dalam keadaan haid, dan beliau tidak masuk rumah kecuali untuk hajat seorang manusia, ketika itu beliau (rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wasallam) dalam keadaan I’tikaf.”

Selanjutnya yang juga boleh dilakukan untuk seseorang yang ber-I’tikaf yakni berwudhu dalam masjid berdasarkan ucapan seseorang kepada yang melayani Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam : “ Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam berwudhu ringan di dalam masjid”. Rawahu al-Baihaqi dengan sanad baik dan diriwayatkan pula oleh Imam Ahmad secara ringkas dengan sanad yang shahih.

Kemudian dibolehkan pula bagi yang ber-i’tikaf membuat kemah kecil di bagian belakang masjid lalu ber’tikaf didalamnya, karena Ummul Mukminin Aisyah dulu membuat tenda untuk Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam Jika beliau beri’tikaf, dan itu atas perintah beliau shalallahu ‘alaihi wasallam[, hadits ini diriwayatkan Imam Bukhari dan Imam Muslim , adapun hadits yang menerangkan perintah Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam, ada pada riwayat Imam Muslim. Dan pernah beliau shalallahu ‘alaihi wasallam satu kali beri’tikaf di qubah kecil (semacam payung atau tenda kecil) yang diatasnya melingkar, semacam, naungan diatas pintu untuk menjaganya dari hujan, beliau meletakkan sepotong tikar di atas pintunya agar tidak terlihat oleh pandangan seseorang. Jadi boleh bagi wanita ber-i’tikaf bersama suaminya atau sendirian, selama terlindungi dari pandangan – pandangan orang lain, dan tak menimbulkan mudhorot yang besar. Wallahu a’lam.

Dan yang juga dibolehkan, bahwa Wanita diperbolehkan menengok atau menjenguk suaminya yang sedang ber-i’tikaf di masjid. Dan jika sang istri tercinta datang menjenguk suami yang lagi ber-i’tikaf maka hendaknya sang suami mengantarkan sang istri sampai keluar pintu masjid, agar tak menimbulkan perbincangan yang tidak-tidak dari pihak-pihak lain.

Berikut ana tuturkan apa yang disampaikan Ummul mukmini Shafiyyah Radiyallahu Anhu mengenai kunjungan beliau kepada Rasulullah yang sedang ber-i’tikaf, dimana Ummul mukminin Shafiyah Radhiyallahu ‘anha berkata, “Ketika itu Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam beri’tikaf dimasjid pada 10 hari terkhir bulan ramadhan, maka aku datang menengoknya di malam hari dan di sisinya isteri-isterinya yang sedang bergembira, lalu aku berbicara dengan beliau beberapa saat, lalu aku berdiri untuk kembali, maka beliau shalallahu ‘alaihi wasallam katakan : “ Jangan kau terburu-buru sehingga aku antarkan”. Maka beliaupun berdiri bersamaku untuk mengantarkanku. (saat itu) Ummul Mukminin Shafiyyah Radhiyallahu ‘anha tinggal di kampung Usmah bin Zaid. (maka) Tatkala berada di pintu masjid yang dekat dengan rumah Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, lewat dua orang sahabat Anshar. Ketika mereka melihat Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam keduanya mempercepat (langkahnya). Maka Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam berkata : “ Pelan-pelan ! Sesungguhnya wanita ini adalah Shafiyyah binti Huyai” (istri Rasulullah sendiri,). Lalu keduanya mengatakan : “Subhanallah ! Wahai Rasulullah”. Maka Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam mengatakan : “Sesungguhnya setan mengalir pada seseorag seperti mengalirnya darah Dan sungguh aku khawatir kalau setan membisikkan pada hati kalian berdua kejelekan atau beliau mengucap sesuatu.”. Riwayat ini dibawakan al-Imam al-Bukhari, Imam Muslim serta al-Imam Abu Dawud. Dan telah ditakhrij oleh syaikh Muhammad nashiruddin al-Albani dalam shahih Sunan Abu Dawud.

Selain itu dibolehkan bagi wanita untuk I’tikaf bersama suaminya, atau sendirian. Berdasarkan ucapan Ummul mukminin ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha : “Telah I’tikaf bersama Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam seorang wanita yang isthihadhah (didalam sebuah riwayat dia adalah Umm Salamah) diantara isteri-isterinya dan dalam keadaan dia masih melihat kemerahan, kekuningan, bahkan kadang-kadang kami meletakkan bejana di bawahnya dalam keadaan dia tetap shalat”. Hadits ini diriwayatkan oleh al-Imam al- Bukhari , selain itu Ummul mukminin ‘Aisyah juga mengatakan : “Dahulu Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam beri’tikaf sepuluh hari terakhir pada bulan ramadhan, sampai Allah mewafatkannya. Kemudian isteri-isteri beliau beri’tikaf setelahnya. Rawahu al-Bukhari wa Muslim. Dan menurut Syaikh Nashiruddin al-Albani, “Bahwa terdapat dalil, dibolehkannya juga wanita (baik bersuami atau tidak) I’tikaf dan tidak diragukan bahwa itu dengan catatan, diizinkan wali-walinya untuk itu, serta aman dari fitnah dan tidak berkhalwat (menyendiri) dengan kaum lelaki. Berdasarkan banyak dalil dalam hal ini, dan kaidah fiqih mengatakan : “Menghindari keruskan itu lebih didahulukan dari pada mencari maslahat (kebaikan)”.

Dan yang perlu juga diperhatikan dan di cermati ikhwa fillah, bahwa Jima’ membatalkan I’tikaf berdasarkan firman Allah :
“Dan jangan kalian gauli mereka sedang kalian dalam ibadah I’tikaf (di masjid)”. Maka berkata Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu : “Jika seorang yang I’tikaf melakukan jima’(maka) batal I’tikafnya, dan hendaklah dia memulainya kembali.” Rawahu Ibnu Abi Syaibah dan Abdurrazzaq dengan sanad yang shahih . Jadi jika melakukan Jima’ atau hubungan suami istri saat i’tikaf maka i’tikafnya batal dan harus memulai kembali i’tikafnya (berniat dari awal lagi), namun tidak ada kafarah atau hukumannya, karena tidak terdapat dalil dari Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya.
Wallahu a’lam bish-showab. Semoga bermanfaat.

Dan sebagai suplemen tambahan ada do’a yang dapat kita hafalkan dan amalkan. Dimana beliau (Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam), pada waktu berbuka puasa, ( tentunya setelah membaca basmalah yakni بِسْمِ الّلهِ saat memasukkan makanan dan minuman kedalam mulut), maka Rasulullah membaca do’a :

ذَهَبَ ا لظَّمَا ءُ وَابْتَلَّتِ اْلعُرُوْقُ, وَثَبَتَ اْلأَ جْرُ

إِنْ شَاءَ اللهُ.

Jadi jangan salah saudaraku , begitu tiba waktu berbuka, saat memasukkan makanan dan minuman, kita lantas membaca do’a yang lain atau bahkan tak membaca apa-apa, padahal telah diajarkan kepada kita bahwa do’a makan dan minum adalah membaca basmalah

عَنْ وَهْبِ بْنِ كَيْسَانَ أَبِي نُعَيْمٍ قَالَ

أُتِيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِطَعَامٍ وَمَعَهُ رَبِيبُهُ عُمَرُ بْنُ أَبِي سَلَمَةَ فَقَالَ سَمِّ اللَّهَ وَكُلْ مِمَّا يَلِيكَ

“dari Wahb bin Kaisan Abu Nu'aim ia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah diberi makanan, dan saat itu beliau bersama anak tirinya Umar bin Abu Salamah, maka beliau pun bersabda: "Bacalah Basmalah dan ambillah makanan yang ada didekatmu.".

Jadi setelah kita membaca basmalah, yakni بِسْمِ الّلهِ kemudian kita memasukkan makanan atau minuman berbuka puasa kemulut dan makanan atau minuman tersebut telah membasahi kerongkongan kita, barulah setelah itu kita membaca do’a :

ذَهَبَ ا لظَّمَا ءُ وَابْتَلَّتِ اْلعُرُوْقُ, وَثَبَتَ اْلأَ جْرُ

إِنْ شَاءَ اللهُ.

Adapun do’a yang masyhur ditengah-tengah kita selama ini, yakni yang biasa kita baca “Allahuma lakasumtu, wabika amantu... derajat haditsnya adalah dhoif atau lemah. Wallahu a’lam bishawab.

Selasa, 28 Desember 2010

Hukum Islam dalam menyambut / merayakan Tahun Baru Masehi 2

بِسْمِ الّلهِ الرَّ حْمنِ الرَّ حِيمِ

Wahai saudaraku yang mencintai Sunnah, semoga Allah Azza wa Jalla selalu melimpahkan Rahmat-Nya pada kita semua. Adalah sudah menjadi kewajiban kita, yakni selaku seorang Muslim, untuk selalu mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu Wata 'ala disetiap tempat, dan disetiap keadaan. Dan tentunya segala puji hanya bagi Allah Azza wajalla, kepada-Nya kita memberikan sanjungan , memohon pertolongan dan ampunan. Dan Hanya Kepada-Nya lah, kita senantiasa berlindung dari kejahatan diri dan keburukan amal perbuatan kita. Semoga shalawat dan salam tercurah kepada penghulu para Nabi dan atas keluarganya, dan para sahabatnya. Semoga Allah Azza Wa jalla menyatukan kita semua untuk senantiasa mencintai-Nya dan mengikuti Sunnah Rasul-Nya hingga akhir hayat.

Sebagaimana yang telah ana sampaiakan pada postingan sebelumnya, bahwa kami akan melanjutkan pembahasan mengenai hukum Islam berkaitan dengan perayaan atau menyambut Tahun baru Masehi, yang kami angkat dari fatwa-fatwa Ulama, yang tak diragukan lagi ke-Istiqomahannya didalam menegakkan Al-Qur’an dan As-Sunnah Nabawiyah yang shohiih didalam kehidupan mereka. Mereka para Ulama-ulama yang tergabung di dalam Komite Permanen untuk Penelitian Islam dan Fatwa yang berdomisili di Saudi Arabia, atau yang dikenal dengan Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Buhuts Ilmiah wal Ifta, diketuai oleh Syaikh 'Abdul-'Aziz bin 'Abdullaah bin Muhammad aalus-Syaikh, dengan Wakil Ketua Syaikh 'Abdullaah Ibnu 'Abdur-Rahmaan al-Ghudayyaan, yang beranggotakan Syaikh Saalih bin Fauzaan al-Fauzaan serta syaikh Bakar bin 'Abdullaah Abu Zaid telah mengeluarkan fatwa-fatwa mengenai Hukum Islam dalam Perayaan atau Menyambut tahun Baru Masehi, karna mereka (para ulama tersebut) melihat hal ini amatlah urgen dijaman sekarang ini, dimana kita ketahui saat ini, telah terjadi pen-campur-adukan antara al-haq dan al-batil atas kebanyakan orang. Dan terlihat dengan jelas segala upaya yang dilakukan oleh musuh-musuh Islam, untuk menghilangkan kebenaran islam, dan memadamkan cahayanya, sebagai bentuk menjauhkan kaum muslimin dari agamanya serta menghilangkan jalan yang memungkinkan untuk kembali pada Dienul Islam yang haq. Selain itu, marak sekarang ini propaganda, dalam upaya memperburuk citra Islam, dengan melakukan kebohongan-kebohongan atasnya, yang dimaksudkan untuk menghalangi seluruh manusia dari jalan Allah dan dari beriman kepada wahyu yang diturunkan atas Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam.

Sungguh saudaraku, banyak sekali, dalil-dalil dari al Kitab dan as-Sunnah, serta atsar-atsar yang shahih (dari Sahabat dan lainnya), yang melarang kita kaum muslimin untuk menyerupai orang-orang kafir, di dalam hal yang menjadi ciri, dan kekhususan mereka. Salah satunya yakni menyerupai mereka (orang-orang kafir) dalam festival hari-hari besar, dan pesta-pesta mereka.

Jadi, setiap perbuatan yang mereka ada-adakan di berbagai tempat, atau waktu-waktu keagamaan mereka, yang mana hal tersebut termasuk hari besar atau 'Ied mereka. Maka hal tersebut terlarang didalam Islam. Selain itu, larangannya bukan hanya atas hari-hari besar yang khusus buat mereka saja, akan tetapi setiap waktu dan tempat, yang mereka kaum kafirin rayakan atau agungkan, yang sesungguhnya tidak ada landasannya di dalam Dienul Islam. Maka itu juga terlarang. Demikian pula perbuatan-perbuatan yang mereka ada-adakan di dalamnya, juga termasuk ke dalam hal itu. Ditambah lagi dengan hari-hari sebelum dan sesudahnya, yang nilai religiusnya bagi mereka sama saja, semua nya terlarang untuk diikuti dan dirayakan oleh kaum muslimin.

Dan untuk lebih jelasnya, berikut kami sampaikan beberapa fatwa dari Al-Lajnah ad Daimah lil Buhuts al ‘Ilmiyyah wa al ifta, sebagai kelanjutan dari fatwa-fatwa yang telah kami sampaikan pada postingan sebelumnya.

Dimana Sebelum ana lanjutkan postingan ke fatwa –fatwa selanjutnya, para ulama yang tergabung dalam Al-Lajnah ad Daimah lil Buhuts al ‘Ilmiyyah wa al ifta tersebut, membawakan beberapa dalil dari hadits.

Dari Tsabit bin Adl Dlahhak Radhiyallahu 'anhu, (bahwasanya) dia berkata, "Seorang laki-laki telah bernadzar pada masa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, untuk menyembelih onta sebagai qurban di Buwanah. Lalu dia mendatangi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sembari berkata "Sesungguhnya aku telah bernadzar untuk menyembelih onta sebagai qurban di Buwanah. Lalu Nabi (Shallallahu 'alaihi wa sallam) bertanya, “Apakah didalamnya terdapat salah satu dari berhala-berhala Jahiliyyah yang disembah disana ? . Mereka menjawab, 'Tidak !'. Beliau (Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa sallam) bertanya lagi. “Apakah didalamnya terdapat salah satu dari hari-hari besar mereka ?'. Mereka menjawab, 'Tidak !'. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam (kemudian) bersabda, “Tepatilah nadzarmu, karena tidak perlu menepati nadzar di dalam berbuat maksiat kepada Allah, dan di dalam hal yang tidak dipunyai (tidak mampu dilakukan) oleh manusia" Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud. Dengan nomor hadits : 1134.

( Hadits berikutnya ) Umar Ibnu al-Khaththab Radhiyallahu 'anhu berkata, "Janganlah kalian mengunjungi kaum musyrikin di gereja-gereja ( dirumah-rumah ibadah) mereka, pada hari besar mereka, karena sesungguhnya kemurkaan Allah akan turun atas mereka" Umar Ibn Al Khaththab Radiyallahu ‘anhu berkata lagi, "Hindarilah musuh-musuh Allah pada momentum hari-hari besar mereka". Hadits ini derajatnya Sahih, dan diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Musannaf dan disahihkan oleh Ibn Taymiyyah.

(Kemudian) Diriwayatkan oleh Abdullah Ibn Amr bin al ‘Aas Radliyallahu ‘anhumaa, ia berkata, "Barangsiapa yang berdiam di negeri-negeri orang asing, lalu membuat tahun baru dan festival (Nairuuz) serta menyerupai mereka hingga dia mati dalam kondisi demikian, maka kelak dia akan dikumpulkan pada hari kiamat bersama mereka" Namun hadits ini derajatnya Dhoif, yang diriwayatkan oleh al-Baihaqi selain itu Syakhul Islam Ibnu Taymiyyah juga menyatakan lemah dalam Iqtidaa. as-Siraat al-Mustaqim.
Adapun fatwa yang ke-empat yang dikeluarkan
Al-Lajnah ad Daimah lil Buhuts al ‘Ilmiyyah wa al ifta berkaitan dengan hal tersebut yakni : Merayakan hari-hari besar orang-orang kafir, juga dilarang karena alasan-alasan yang banyak sekali, diantaranya : Mereka (Muslimin) menyerupai mereka dalam sebagian hari besar mereka, yang membikin mereka otomatis bersukaria, dan membuat mereka berlapang-dada terhadap kebatilan yang sedang mereka lakukan. (Kaum Muslimin) menyerupai mereka dalam gerak-gerik, dan bentuk pada hal-hal yang bersifat lahiriah, akan mengandung konsekwensi menyerupai mereka pula, dalam gerakan dan bentuk pada hal-hal yang berupa keyakinan sesat, melalui cara tersembunyi, dan bertahap lagi tersamarkan. Dampak negatif yang paling besar dari hal itu adalah, adanya kecintaan batin yang berupa kekaguman dan loyalitas. (dimana) Mencintai dan mengagumi mereka dapat meniadakan keimanan, sebagaimana firman Allah Ta’ala :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَ تَتَّخِذُوا

الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ

أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ

فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim. Qur’an Surah Al Maaidah ayat 51.
Dan firman Allah Surah Al-Mujadillah ayat 22 :

لاَ تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ

يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ
" Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya "

Kemudian fatwa yang Kelima. Berbunyi :

Menurut penjelasan yang telah dikemukakan di atas, maka tidak boleh hukumnya seorang Muslim yang beriman kepada Allah sebagai Rabb, dan Islam sebagai agama, serta Muhammad Shalallahu ‘alaihi wassalam sebagai Nabi dan Rasul, mengadakan perayaan-perayaan hari-hari besar, yang tidak ada landasannya dalam dien Islam, termasuk diantaranya yang disebut perayaan 'Milenium' tersebut. Juga, tidak boleh hadir pada acaranya, berpartisipasi, dan membantu dalam pelaksanaannya dalam bentuk apapun, karena hal itu termasuk dosa, dan melanggar batasan-batasan yang diatur oleh Allah, Allah telah berfirman,
وَلاَ تَعَاوَنُوا عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ

وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.
Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya. Qur’an Surah Al Maaidah ayat 2

Selanjutnya, fatwa yang ke-enam" berbunyi :

Seorang Muslim tidak boleh saling bekerjasama dengan orang-orang kafir dalam bentuk apapun dalam hari-hari besar mereka. Diantaranya adalah mempromosikan dan mengumumkan hari-hari besar mereka, termasuk acara tersebut. Demikian pula, mengajak pada hal itu dengan sarana apapun, baik melalui mass media, memasang jam-jam ( dengan hitungan mundur) dan pamflet-pamflet bertuliskan angka, membuat pakaian-pakaian dan plakat-plakat memorial (dalam rangka perayaan tersebut), atau mencetak kartu-kartu dan buku-buku tulis, atau memberikan diskon khusus pada dagangan dan hadiah-hadiah uang dalam rangka (perayaan tersebut), atau kegiatan-kegiatan olah raga ataupun menyebarkan simbol khusus untuk hal itu.

Adapun fatwa Ketujuh berbunyi :

Seorang Muslim tidak boleh menganggap hari-hari besar orang-orang kafir, termasuk perayaan Milenium tersebut, sebagai momentum yang menyenangkan, atau waktu-waktu yang diberkahi, sehingga karenanya meliburkan pekerjaan, melangsungkan pernikahan, memulai aktifitas bisnis, membuka proyek-proyek baru dan lain sebagainya. Tidak boleh dia (seorang muslim) meyakini bahwa hari-hari seperti itu, memiliki keistimewaan yang tidak ada pada hari selainnya, karena hari-hari tersebut sama saja dengan hari-hari biasa lainnya. Dan karena hal ini, merupakan keyakinan yang rusak, yang tidak dapat merubah hakikat sesuatu, bahkan keyakinan seperti ini adalah dosa di atas dosa, kita memohon kepada Allah agar diselamatkan dan terbebas dari hal itu.

Dan fatwa ke delapan yang dikeluarkan oleh Al-Lajnah ad Daimah lil Buhuts al ‘Ilmiyyah wa al ifta. Yang diketuai oleh Syaikh 'Abdul-'Aziz bin 'Abdullaah bin Muhammad aalus-Syaikh, dengan Wakil Ketua oleh Syaikh 'Abdullaah Ibnu 'Abdur-Rahmaan al-Ghudayyaan, dan Anggotanya Syaikh Saalih bin Fauzaan al-Fauzaan serta syaikh Bakar bin 'Abdullaah Abu Zaid.

Berbunyi : Seorang Muslim tidak boleh mengucapkan selamat terhadap hari-hari besar orang-orang kafir, karena hal itu merupakan bentuk keridoan atas kebatilan yang mereka berada diatasnya, dan membuat mereka bergembira, karenanya Ibnu Al-Qayyim berkata, "Adapun mengucapkan selamat terhadap ritual keagamaan orang-orang kafir yang khusus bagi mereka, maka haram atau dilarang hukumnya menurut kesepakatan ijma’ para ulama, seperti mengucapkan selamat dalam rangka hari-hari besar mereka dan seterusnya, seperti mengucapkan 'Semoga hari besar ini diberkahi' atau ‘Selamat dalam hari raya ini’, atau ucapan semisalnya, dalam rangka hari besar tersebut. Dalam hal ini, kalaupun pengucapnya lepas dari kekufuran, akan tetapi dia tidak akan lolos dari melakukan hal yang diharamkan. Hal ini sama posisinya dengan bilamana dia mengucapkan selamat, karena dia (orang kafir) itu sujud terhadap salib. Bahkan, dosa dan kemurkaan terhafap hal itu lebih besar di sisi Allah, daripada mengucapkan selamat atas minum khamr, membunuh jiwa yang tidak berdosa, berzina dan semisalnya.

Banyak sekali orang yang tidak memiliki sedikitpun kadar Dien pada dirinya, (kemudian) terjerumus ke dalam hal itu, dan dia tidak menyadari jeleknya perbuatannya. Maka, siapa saja yang mengucapkan selamat kepada seorang hamba karena suatu maksiat, bid'ah atau kekufuran yang dilakukannya, berarti dia telah mendapatkan kemurkaan dan kemarahan Allah"
Kemudian fatwa yang terakhir mengenai hal ini, yang dikeluarkan Al-Lajnah ad Daimah lil Buhuts al ‘Ilmiyyah wa al ifta, yakni fatwa Kesembilan, berbunyi :

Adalah suatu kehormatan bagi muslimin untuk berkomitmen terhadap kalender Hijriyah, kalender yang menandai hijrahnya Nabi mereka, Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam yang disepakati para sahabat beliau – radiyallahu ‘anhum - Shallallahu 'alaihi wa sallam secara ijma'. Dan mereka jadikan kalender tanpa perayaan apapun. Hal itu kemudian diteruskan secara turun temurun oleh kaum Muslimin yang datang setelah mereka, sejak 14 abad yang lalu hingga saat ini. Karenanya dengan alasan ini, muslimin tidak boleh mengganti penggunaan kalender Hijriyah kepada kelender umat-umat selainnya, seperti kalender Milaadi (Gregorian atau Masehi) ini . Karena hal itu termasuk perbuatan menggantikan yang lebih baik dengan yang lebih jelek.

Maka dari itu kami wasiatkan kepada seluruh saudara-saudara kami, kaum muslimin, agar bertaqwa kepada Allah dengan sebenar-sebenar takwa, berbuat ta'at dan menjauhi dosa terhadapNya, serta saling berwasiat dengan hal itu dan sabar atasnya.

Hendaknya setiap mukmin yang menjadi penasehat bagi dirinya, dan antusias atas keselamatannya dari murka Allah dan laknat-Nya di dunia dan di hari Akhir, berusaha keras di dalam merealisasikan ilmu dan iman, dengan menjadikan Allah semata sebagai Pemberi Petunjuk, Penolong, Hakim dan Pelindung, karena sesungguhnya Dialah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong. Cukuplah Rabbmu sebagai Pemberi Petunjuk dan Penolong serta berdo'alah selalu dengan do'a Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berikut ini : "(yang artinya) : Ya, Allah, Rabb Jibril, Rabb Mikail, Rabb Israfil. Pencipta langit dan bumi. Yang Maha Mengetahui hal yang ghaib dan nyata. Engkau memutuskan hal yang diperselisihkan di antara para hambaMu, berilah petunjuk kepadaku terhadap kebenaran yang diperselisihkan dengan idzinMu, sesungguhnya Engkau menunjuki orang yang Engkau kehendaki ke jalan yang lurus" do’a ini Diriwayatkan oleh Imam Muslim di dalam shahihnya, Shalah Al Musafirin, dengan nomor hadits 770.

Dan dengan Allah-lah segala kesuksesan dan semoga Allah memberikan sholawat dan salam kepada Nabi kita Shalallahu ‘alaihi wassalam dan keluarganya serta sahabatnya. Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al Ilmiyah wal Ifta, Saudi Arabia. Dewan Tetap Arab saudi untuk riset-riset ilmiyah dan fatwa (The Permanent Committee for Islaamic Research and Fataawa)
tertanda Ketua : Syaikh 'Abdul-'Aziz Ibnu 'Abdullaah Ibnu Muhammad aalusy-Syaikh. Wakil Ketua : Syaikh 'Abdullaah Ibnu 'Abdur-Rahmaan al-Ghudayyaan. Anggota : Syaikh Saalih Ibnu Fauzaan al-Fauzaan
Anggota : Syaikh Bakar Ibnu 'Abdullaah Abu Zaid.

Nah saudaraku se-Iman se-Aqidah, demikianlah beberapa fatwa dari Komite Permanen untuk Penelitian Islam dan Fatwa, atau yang dikenal dengan Al-Lajnah ad Daimah lil Buhuts al ‘Ilmiyyah wa al ifta mengenai hukum merayakan atau menghadiri atau menyambut perayaan Tahun baru Masehi atau sejenisnya. Semoga bermanfaat.

Dan sebagai penutup postingan kali ini, ada do’a yang dapat kita hafalkan dan amalkan. Do’a ini adalah salah satu do’a untuk berlindung dari perangai buruk, perilaku buruk, serta kecintaan yang berlebih-lebihan terhadap dunia dan tentunya penyakit hati, do’a ini kami kutipkan dari Shohiih Sunan at-Tirmidzi, hadits yang ke 3591, yang dishohiihkan oleh al-Alamah Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani Rahimahullahu Ta'ala Anhu, di dalam Shohiih wa Dho’if Sunan at-Tirmidzi. Dengan lafadz :

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ مُنْكَرَاتِ الْأَخْلَاقِ وَالْأَعْمَالِ وَالْأَهْوَاءِ

“Ya Allah ! aku berlindung kepada-Mu, dari berbagai akhlaq yang buruk, amal perbuatan dan hawa nafsu yang buruk.”