بِسْÙ…ِ ا للَّÙ‡ِ الرَّ ØْÙ…َÙ†ِ الرَّ ØِÙŠْÙ…ِ
Wahai Saudaraku yang mencintai Sunnah, Semoga Allah merahmati kita semua...
Segala puji bagi Allah Azza wajalla, kepada-Nya kita memberikan sanjungan , memohon pertolongan dan ampunan. Kepada-Nya lah saudaraku kita senantiasa berlindung dari kejahatan diri dan keburukan amal perbuatan kita. Semoga Allah Azza Wa jalla menyatukan kita semua untuk senantiasa mencintai-Nya dan mengikuti Sunnah Rasul-Nya.
Wahai Saudaraku yang mengharapkan sebaik-baik tempat kembali yakni Jannah, sehubungan dengan dua hari raya yang bisa kita jalankan didalam agama yang agung ini, maka terkadang dalam menjalankan hari raya tersebut kita sering melakukan safar atau berpergian, atau bahasa kerennya Mudik. Atau terkadang kita Mudik atau melakukan perjalanan alias bersafar dikarnakan karna tugas dari kantor atau hanya sebatas berziaroh kepada sanak saudara dan keluarga, atau bisa juga karna menuntut ilmu. Apalagi sekarang lagi banyak hari libur (tanggal merah). Nah tentunya islam sebagai agama yang sempurna tidak membiarkan hal ini berjalan dengan sendirinya. Di dalam islam telah diatur adab adab atau etika ketika kita berpergian.
Nah saudaraku yang mencintai Sunnah, sebagaimana yang kita ketahui bahwa yang namanya Bepergian alias bersafar adalah salah satu kebutuhan hidup yang tidak dapat terpisahkan dari kita selaku seorang Muslim sebab seorang Muslim harus melakukan perjalanan dan bepergian misalnya untuk berhaji, umrah, perang, menuntut ilmu, bermuamalah atau berbisnis dan mengunjungi saudar-saudara se-aqidah kita dimanapun mereka berada. Oleh karena itu, Allah Azza Wa jalla memberi perhatian besar terhadap hukum-hukum, dan etika-etika bersafar atau bepergian. Dan kita selaku Muslim tentunya harus mempelajari itu semua serta merealisasikannya ketika kita bersafar atau ber-pergian.
Untuk itu, berikut ini akan ana postingkan beberapa diantara hukum-hukum bersafar atau bepergian yang patut kita ketahui, semoga bermanfaat bagi ana pribadi dan antum sekalian :
Pertama-tama, jika kita bersafar atau bepergian, maka kita selaku orang yang disebut Musafir diperkenankan untuk mengqashar shalat-shalat fardhu yang empat raka’at. Afwan, tentunya kita semua tahu apa itu menqoshorkan. Yakni meringkas sholat yang jumlahnya empat rakaat menjadi dua rakaat. Dimana sholat yang empat rakaat seperti dzuhur, ashar serta Isya cukup kita kerjakan dua raka’at saja, kecuali sholat Maghrib maka tetap harus dikerjakan tiga rakaat begitu juga Sholat shubuh tetap harus dikerjakan dua rakaat. Selain itu, yang namanya meng-qoshor sholat bisa dilakukan sejak kita meninggalkan daerah kita hingga kembali lagi, kecuali jika kita berniat untuk menetap ditempat tujuan kita bersafar atau berpergian selama empat hari atau lebih. Hal ini disandarkan pada nash –nash ilahi pada Surah An-Nisa ayat 101
“Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, Maka tidaklah Mengapa kamu men-qashar Shalat…”
Kemudian yang juga di jadikan pegangan atau dalil dalam meng-qoshor sholat yakni sebuah hadits yang diriwayatkan An Nasai dan disahihkan At-Tirmidzi, (semoga Allah merahmati mereka), dari Anas bin malik Radhiyallahu Anhu, ia berkata, “Kami bersama Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam keluar dari Madinah ke Mekkah, dan beliau mengerjakan shalat-shalat empat raka’at, dengan dua rakaat hingga kita kembali ke Madinah.”
Selanjutnya (hukum yang kedua) yang juga patut kita ketahui diantara hukum-hukum bersafar atau berpergian yakni : jika kita selaku Musafir maka kita diperbolehkan berwudhu’ dengan membasuh lapisan atas dari sepatu kita (kalau di jaman Rasulullah disebut membasuh Khuf), tanpa kita membasuh kaki lagi (artinya sepatu tersebut tidak perlu kita buka), dimana basuhan tersebut boleh dilakukan selama tiga hari tiga malam, karena dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim , Imam Ahmad dan An-Nasai serta Ibnu majah, dari Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu Anhu, ia berkata, “Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam membolehkan membasuh sepatu selama tiga hari tiga malam bagi musafir, dan satu hari bagi orang mukim.”
Nah saudaraku yang se-Iman dan se-Aqidah, telah dua hukum dalam bersafar yang kita ketahui, adapun Hukum bersafar atau bepergian selanjutnya atau hukum yang ketiga yakni Musafir atau orang yang bepergian diperbolehkan bertayamum jika kehabisan air, atau bertayamum jika sulit mendapatkan air. Hal ini berdasarkan firman Allah Azza Wa jalla dalam Surah An-Nisa ayat 43 yang berbunyi : “Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu Telah menyentuh perempuan, Kemudian kamu tidak mendapat air, Maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu…”
Tuh mudahkan... ! Makanya banyak-banyaklah bersyukur kepada Allah, karna kita telah banyak diberi kemudahan oleh Allah Azza wa jalla dalam beribadah, salah satunya ya bertayamum. Namun bukan berarti kita lantas memudah-mudahkan segala sesuatunya. Yang jelas, sesuaikanlah segala bentuk ibadah dengan dalil dan contoh dari Rasulullah beserta para sahabat Ridwanallahu ’Alaihim jamian. Karna Rasulullah adalah sebaik-baik teladan, sedangkan Sahabat adalah sebaik-baik generasi.
Adapun hukum-hukum bersafar selanjutnya yakni seorang Musafir mendapatkan Rukhshah atau keringanan untuk tidak berpuasa selama dalam perjalanannya . Hal ini dikarnakan Allah Subhanahu Wata 'alla berfirman didalam Surah Al-Baqarah ayat 184 “Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain…”
Selain itu kita selaku Musafir, juga diperbolehkan menjamak atau menggabungkan dua waktu shalat, misalnya shalat maghrib dengan shalat isya, atau sholat dzuhur dengan sholat Ashar atau sebaliknya. Hal ini disandarkan pada hadits dari Muadz bin Jabal
Wahai saudaraku..., satu lagi kemudahan yang Allah Azza Wajalla berikan kepada kita. Jadi kalau kita sedang berpergian, maka pergunakanlah kemudahan-kemudahan yang Allah berikan kepada kita selaku seorang Muslim. Wallahu a’lam.