Jumat, 19 Agustus 2011

I'tikaf

بِسْمِ الّلهِ الرَّ حْمنِ الرَّ حِيمِ

Wahai saudaraku se-Iman dan se-Aqidah yang dirahmati Allah, segala puji bagi Allah Azza wajalla, kepada-Nya kita memberikan sanjungan, memohon pertolongan dan ampunan. Kepada-Nya lah wahai saudaraku yang mencintai sunnah, kita senantiasa berlindung dari kejahatan diri dan keburukan amal perbuatan kita. Semoga Allah Azza Wa jalla menyatukan kita semua untuk senantiasa mencintai-Nya dan mengikuti Sunnah Rasul-Nya.

Atas izin Allah Ta’ala bertemu lagi kita dengan Ramadhan. Alhamdulillah ! Insya Allah pada postingan kali ini akan berisi mengenai I’tikaf. Tentunya kita sering mendengar mengenai i’tikaf atau bahkan sudah pernah menjalani ibadah yang satu ini. Namun tak ada salahnya kita untuk mengetahui apa dan bagaimana sebenarnya i’tikaf yang sesuai dengan tuntunan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wasallam.

Ketahuilah wahai saudaraku yang mencintai Sunnah yang membenci bid’ah, bahwa hukum i’tikaf adalah sunnah, baik dilakukan di bulan ramadhan maupun yang lainnya sepanjang tahun, hal ini disandarkan kepada dalil ilallah, yakni firman Allah Subhanahu wa Ta’ala didalam Surah Al-Baqarah ayat 187

وَأَنتُمْ عَكِفُونَ فِى الْمَسَجِدِ

“Sedang kalian dalam kedaan I’tikaf di masjid”.

Selain itu ada juga beberapa hadist shahih tentang I’tikaf Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam serta atsar-atsar yang mutawatir dari ulama Salaf dalam masalah i’tikaf ini. Sebagaimana disebutkan dalam kitab Al Mushannaf, karya Ibnu Abi syaibah dan Abdurrazzaq.

Terdapat riwayat bahwa Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam i’tikaf sepuluh hari terakhir dari bulan Syawal , riwayat ini dibawakan oleh al-Imam al-Bukhari, Imam Muslim dan Ibu Khuzaimah (semoga Allah merahmati mereka), di dalam kitab shahih mereka, dan telah ditahkrij di dalam shahih Abu Dawud oleh al-Alamah Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani Rahimahullah. Dimana hadits ini bersumber dari Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu ‘anha.

Kemudian Umar radhiyallahu ‘anhu (pernah) berkata kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam “Dahulu aku bernadzar di zaman jahiliyah untuk I’tikaf semalam di Masjidil Haram”? (kemudian) Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Penuhilah nadzarmu”. (maka Umar I’tikaf semalam). Riwayat ini dibawakan oleh al- Imam al-Bukhari, Imam Muslim dan Ibnu Khuzaimah

Namun ketahuilah wahai saudaraku yang mencintai sunnah, bahwa i’tikaf lebih ditekankan di bulan Ramadhan berdasarkan hadist dari Sahabat yang mulia Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam ber i’tikaf di setiap Ramadhan 10 hari. Dan pada tahun dimana beliau wafat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam ber- I’tikaf selama 20 hari. Rawahu al-Bukhari dan Ibnu Khuzaimah. Dan yang paling utama lagi yakni dilakukan pada akhir bulan Ramadhan, karena Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam I’tikaf pada 10 hari terakhir dari bulan Ramadhan sampai Allah mewafatkan beliau. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan Imam al-Bukhari dan Ibnu Khuzaimah

Jadi yang namanya i’tikaf itu, yang paling baik dilakukan di Bulan Ramadhan dan paling utama dilakukan di 10 terakhir bulan Ramadhan. Mari saudaraku kita persiapkan diri-diri kita untuk ber’tikaf di 10 terakhir bulan ramadhan. Semoga Allah Azza wa Jalla memberikan kita kemudahan, kesempatan dan kekuatan untuk dapat menunaikan ibadah sunnah ini. Insya Allah..... Amin !

Wahai saudaraku yang mencintai Sunnah. Ketahuilah, bahwa yang namanya i’tikaf tidak lah sembarangan, i’tikaf mempunyai syarat-syarat tertentu yang mesti dipenuhi oleh orang-orang yang akan melakukannya. Adapun syarat-syaratnya antara lain :
Yang pertama, bahwa i’tikaf tidaklah disyariatkan kecuali di lakukan didalam masjid-masjid, hal ini berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
“Dan janganlah kalian melakukan jima’ (hubungan badan antara suami istri) dengan mereka, sedang kalian beri’tikaf di masjid-masjid”. Qur’an Surah Al Baqarah ayat 187, Berkata al Hafidz Ibnu Hajar mengenai ayat ini :“ Sisi pendalilan dari ayat itu, bahwa kalau seandainya I’tikaf itu sah selain dimasjid tidaklah akan dikhususkan pengharaman jima’ itu hanya padanya, karena jima’ itu membatalkan I’tikaf secara ijma’ atau kesepakatan, maka diketahui dengan penyebutan masjid, bahwa dimaksudkan I’tikaf itu tidak boleh kecuali di masjid.

Berkata ummul mukminin Aisyah radhiyallahu ‘anha : “Disunnahkan, bagi seorang I’tikaf, agar tidak keluar kecuali untuk kebutuhan yang mesti dia lakukan. Tidak boleh menjenguk orang sakit, tidak boleh menyentuh wanita, tidak pula jima’ dengan mereka, dan tidak I’tikaf melainkan pada masjid jami’ (yang digunakan untuk shalat jum’at). Disunnahkan pula bagi yang I’tikaf untuk berpuasa. Hadits ini diriwayatkan oleh al-Baihaqi dengan sanad yang shahih, dan Abu Dawud dengan sanad yang Hasan.

Adapun syarat yang kedua jika akan ber-i’tikaf yakni Hendaklah ber i’tikaf pada masjid jami’ agar tidak terpaksa keluar masjid untuk melaksanakan shalat jum’at, karena keluar untuk melaksanakan sholat jum’at adalah wajib. Hal ini berdasarkan ucapan Ummul Mukmin 'Aisyah Radhiyallahu ‘anha, yakni “…dan tidak ada I’tikaf kecuali di masjid jami' “ dan Asy-Syaikh Nashiruddin al-Albani menukil perkataan al-Imam al-Baihaqi dari Ibnu Abbas : ”Sesungguhnya perkara yang paling Allah benci adalah bid’ah dan sesungguhnya termasuk bid’ah adalah I’tikaf di masjid-masjid yang ada di rumah” dalam artian i’tikaf tersebut tidak dilakukan di masjid jami yang terselenggaranya sholat jum’at disana. Kemudian Syaikh Al-Bani membawakan hadist yang shahih dan jelas, yang mengkhususkan keumuman makna “masjid-masjid” yang tersebut dalam ayat, yaitu hanya pada tiga masjid : Masjidil Haram, Masjid Nabawi, dan Masjidil Aqsa , sebagaimana hadist Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam :
“Tidak ada I’tikaf kecuali pada 3 masjid itu”. rawahu Thahawi, isma’ily dan Baihaqi dengan sanad yang shahih dari Hudzaifah bin Al Yaman, dan telah ditakhrij oelh syaikh al-bani dalam “Silsilah shahihah” no : 2787 bersama dengan riwayat-riwayat yang lain.

Dan diantara ulama salaf yang berpendapat demikian bahwa i’tikaf hanya di tiga masjid yakni sahabat Hudzaifah bin Al Yaman dan Sa'id bin Al Musayyib juga 'Atha’ rahimahullah. Akan tetapi menurut syaikh Al-bani ‘Atha’ tidak menyebutkan Masjidil Aqsa. Namun sebagian ulama mengatakan i’tikaf di tiga masjid yakni masjidil Haram, masjid Nabawi serta masjidil aqso adalah sebuah keutamaan bukan keharusan . Sedangkan syaikh al-bani menguatkan hadits tersebut, bahwa “Tidak ada I’tikaf kecuali pada 3 masjid,” Dan beliau Rahimahullah berkata”. Dan tidak tersembunyi lagi, bahwa mengambil pendapat yang sesuai dengan hadist, itulah yang semestinya, wallahu Ta’ala a’lam.
Adapun Syarat selanjutnya dari i’tikaf yakni Disunnahkan bagi orang yang melakukan I’tikaf agar berpuasa. Jadi selama melakukan i’tikaf tetaplah berpuasa.

Kemudian saudaraku, ada hal-hal yang boleh dilakukan selama kita ber i’tikaf. Jadi selama kita ber-i’tikaf “Insya Allah”... dimana kita mendapati hal-hal yang akan sebutkan ini, maka i’tikaf kita tidak batal atau tetap terhitung sebagai ibadah i’tikaf.

Dimana hal-hal yang dibolehkan tersebut yakni :

Bagi yang ber i’tikaf dibolehkan keluar dari masjid untuk buang hajat, juga diperbolehkan mengeluarkan anggota badan seperti kepala dari masjid untuk dikeramasi atau disisir. Hal ini sebagaimana hadits yang dibawakan oleh al-Imam al-Bukhari, Imam Muslim, Ibnu Abi Syaibah dan Imam Ahmad, dan telah ditakhrij oleh syaikh Al-bani di dalam Shahih Abu Dawud, dimana Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata : “Sesungguhnya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dahulu megeluarkan kepalanya kepadaku sedang dia (dalam keadaan beri’tikaf) di masjid dan saya di kamar saya, kemudian saya sisir rambutnya.” Dalam riwayat lain ada tambahan : “Lalu saya cuci kepalanya (Rasulullah) dan diantara aku dan rasulullah, (ada) kayu dasar pintu dan saya dalam keadaan haid, dan beliau tidak masuk rumah kecuali untuk hajat seorang manusia, ketika itu beliau (rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wasallam) dalam keadaan I’tikaf.”

Selanjutnya yang juga boleh dilakukan untuk seseorang yang ber-I’tikaf yakni berwudhu dalam masjid berdasarkan ucapan seseorang kepada yang melayani Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam : “ Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam berwudhu ringan di dalam masjid”. Rawahu al-Baihaqi dengan sanad baik dan diriwayatkan pula oleh Imam Ahmad secara ringkas dengan sanad yang shahih.

Kemudian dibolehkan pula bagi yang ber-i’tikaf membuat kemah kecil di bagian belakang masjid lalu ber’tikaf didalamnya, karena Ummul Mukminin Aisyah dulu membuat tenda untuk Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam Jika beliau beri’tikaf, dan itu atas perintah beliau shalallahu ‘alaihi wasallam[, hadits ini diriwayatkan Imam Bukhari dan Imam Muslim , adapun hadits yang menerangkan perintah Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam, ada pada riwayat Imam Muslim. Dan pernah beliau shalallahu ‘alaihi wasallam satu kali beri’tikaf di qubah kecil (semacam payung atau tenda kecil) yang diatasnya melingkar, semacam, naungan diatas pintu untuk menjaganya dari hujan, beliau meletakkan sepotong tikar di atas pintunya agar tidak terlihat oleh pandangan seseorang. Jadi boleh bagi wanita ber-i’tikaf bersama suaminya atau sendirian, selama terlindungi dari pandangan – pandangan orang lain, dan tak menimbulkan mudhorot yang besar. Wallahu a’lam.

Dan yang juga dibolehkan, bahwa Wanita diperbolehkan menengok atau menjenguk suaminya yang sedang ber-i’tikaf di masjid. Dan jika sang istri tercinta datang menjenguk suami yang lagi ber-i’tikaf maka hendaknya sang suami mengantarkan sang istri sampai keluar pintu masjid, agar tak menimbulkan perbincangan yang tidak-tidak dari pihak-pihak lain.

Berikut ana tuturkan apa yang disampaikan Ummul mukmini Shafiyyah Radiyallahu Anhu mengenai kunjungan beliau kepada Rasulullah yang sedang ber-i’tikaf, dimana Ummul mukminin Shafiyah Radhiyallahu ‘anha berkata, “Ketika itu Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam beri’tikaf dimasjid pada 10 hari terkhir bulan ramadhan, maka aku datang menengoknya di malam hari dan di sisinya isteri-isterinya yang sedang bergembira, lalu aku berbicara dengan beliau beberapa saat, lalu aku berdiri untuk kembali, maka beliau shalallahu ‘alaihi wasallam katakan : “ Jangan kau terburu-buru sehingga aku antarkan”. Maka beliaupun berdiri bersamaku untuk mengantarkanku. (saat itu) Ummul Mukminin Shafiyyah Radhiyallahu ‘anha tinggal di kampung Usmah bin Zaid. (maka) Tatkala berada di pintu masjid yang dekat dengan rumah Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, lewat dua orang sahabat Anshar. Ketika mereka melihat Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam keduanya mempercepat (langkahnya). Maka Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam berkata : “ Pelan-pelan ! Sesungguhnya wanita ini adalah Shafiyyah binti Huyai” (istri Rasulullah sendiri,). Lalu keduanya mengatakan : “Subhanallah ! Wahai Rasulullah”. Maka Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam mengatakan : “Sesungguhnya setan mengalir pada seseorag seperti mengalirnya darah Dan sungguh aku khawatir kalau setan membisikkan pada hati kalian berdua kejelekan atau beliau mengucap sesuatu.”. Riwayat ini dibawakan al-Imam al-Bukhari, Imam Muslim serta al-Imam Abu Dawud. Dan telah ditakhrij oleh syaikh Muhammad nashiruddin al-Albani dalam shahih Sunan Abu Dawud.

Selain itu dibolehkan bagi wanita untuk I’tikaf bersama suaminya, atau sendirian. Berdasarkan ucapan Ummul mukminin ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha : “Telah I’tikaf bersama Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam seorang wanita yang isthihadhah (didalam sebuah riwayat dia adalah Umm Salamah) diantara isteri-isterinya dan dalam keadaan dia masih melihat kemerahan, kekuningan, bahkan kadang-kadang kami meletakkan bejana di bawahnya dalam keadaan dia tetap shalat”. Hadits ini diriwayatkan oleh al-Imam al- Bukhari , selain itu Ummul mukminin ‘Aisyah juga mengatakan : “Dahulu Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam beri’tikaf sepuluh hari terakhir pada bulan ramadhan, sampai Allah mewafatkannya. Kemudian isteri-isteri beliau beri’tikaf setelahnya. Rawahu al-Bukhari wa Muslim. Dan menurut Syaikh Nashiruddin al-Albani, “Bahwa terdapat dalil, dibolehkannya juga wanita (baik bersuami atau tidak) I’tikaf dan tidak diragukan bahwa itu dengan catatan, diizinkan wali-walinya untuk itu, serta aman dari fitnah dan tidak berkhalwat (menyendiri) dengan kaum lelaki. Berdasarkan banyak dalil dalam hal ini, dan kaidah fiqih mengatakan : “Menghindari keruskan itu lebih didahulukan dari pada mencari maslahat (kebaikan)”.

Dan yang perlu juga diperhatikan dan di cermati ikhwa fillah, bahwa Jima’ membatalkan I’tikaf berdasarkan firman Allah :
“Dan jangan kalian gauli mereka sedang kalian dalam ibadah I’tikaf (di masjid)”. Maka berkata Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu : “Jika seorang yang I’tikaf melakukan jima’(maka) batal I’tikafnya, dan hendaklah dia memulainya kembali.” Rawahu Ibnu Abi Syaibah dan Abdurrazzaq dengan sanad yang shahih . Jadi jika melakukan Jima’ atau hubungan suami istri saat i’tikaf maka i’tikafnya batal dan harus memulai kembali i’tikafnya (berniat dari awal lagi), namun tidak ada kafarah atau hukumannya, karena tidak terdapat dalil dari Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya.
Wallahu a’lam bish-showab. Semoga bermanfaat.

Dan sebagai suplemen tambahan ada do’a yang dapat kita hafalkan dan amalkan. Dimana beliau (Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam), pada waktu berbuka puasa, ( tentunya setelah membaca basmalah yakni بِسْمِ الّلهِ saat memasukkan makanan dan minuman kedalam mulut), maka Rasulullah membaca do’a :

ذَهَبَ ا لظَّمَا ءُ وَابْتَلَّتِ اْلعُرُوْقُ, وَثَبَتَ اْلأَ جْرُ

إِنْ شَاءَ اللهُ.

Jadi jangan salah saudaraku , begitu tiba waktu berbuka, saat memasukkan makanan dan minuman, kita lantas membaca do’a yang lain atau bahkan tak membaca apa-apa, padahal telah diajarkan kepada kita bahwa do’a makan dan minum adalah membaca basmalah

عَنْ وَهْبِ بْنِ كَيْسَانَ أَبِي نُعَيْمٍ قَالَ

أُتِيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِطَعَامٍ وَمَعَهُ رَبِيبُهُ عُمَرُ بْنُ أَبِي سَلَمَةَ فَقَالَ سَمِّ اللَّهَ وَكُلْ مِمَّا يَلِيكَ

“dari Wahb bin Kaisan Abu Nu'aim ia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah diberi makanan, dan saat itu beliau bersama anak tirinya Umar bin Abu Salamah, maka beliau pun bersabda: "Bacalah Basmalah dan ambillah makanan yang ada didekatmu.".

Jadi setelah kita membaca basmalah, yakni بِسْمِ الّلهِ kemudian kita memasukkan makanan atau minuman berbuka puasa kemulut dan makanan atau minuman tersebut telah membasahi kerongkongan kita, barulah setelah itu kita membaca do’a :

ذَهَبَ ا لظَّمَا ءُ وَابْتَلَّتِ اْلعُرُوْقُ, وَثَبَتَ اْلأَ جْرُ

إِنْ شَاءَ اللهُ.

Adapun do’a yang masyhur ditengah-tengah kita selama ini, yakni yang biasa kita baca “Allahuma lakasumtu, wabika amantu... derajat haditsnya adalah dhoif atau lemah. Wallahu a’lam bishawab.