Rabu, 10 November 2010

Meneladani Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam dalam Berhari Raya II

بِسْمِ الّلهِ الرَّ حْمنِ الرَّ حِيمِ

4 ذو القعد ة 1431

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah Azza wajalla, kepada-Nya kita memberikan sanjungan , memohon pertolongan dan ampunan. Kepada-Nya lah kita senantiasa berlindung dari kejahatan diri dan keburukan amal perbuatan kita.

Wahai saudaraku yang selalu mengharapkan rahmat dan ridho Allah Azza wa jalla, mudah-mudahan Allah Azza Wa jalla menyatukan kita semua untuk senantiasa mencintai-Nya dan mengikuti Sunnah Rsaul-Nya.

Dan sekali lagi ana menghimbau, mari kita do’akan saudara-saudara kita yang lagi diuji oleh Allah Azza wa Jalla, semoga diberikan kekuatan, kesabaran serta ilmu yang bermanfaat, sehingga dapat menjalani dan menghadapi ujian tersebut dengan lapang dada dan selalu mengharap rahmat dan ridho allah azza wa jalla. Selain itu jika kita memiliki kelebihan materi, maka bantulah saudara-saudara kita tersebut semampunya. Semoga apa yang kita usahakan tersebut bermanfaat. Kemudian bagi saudara-saudara kita yang lagi menunaikan ibadah haji, semoga diberikan kekuatan, kesehatan dan kemudahan untuk menjalankan semua ritual manasik haji dan umroh, sebagaimana yang Rasulullah shalallahu ‘Alaihi wa sallam contohkan... semoga kelak menjadi haji yang mambrur...

Wahai saudaraku yang mencintai Sunnah, pada postingan kali ini ana melanjutkan bahasan mengenai Meneladani Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam Berhari Raya khususnya ‘Iedul Adh-ha.

Telah diriwayatkan, bahwasanya Nabi Shalallahu 'Alaihi Wasallam biasa berangkat menunaikan shalat pada hari raya ‘ied, dimana beliau (Nabi Shalallahu 'Alaihi Wasallam) mulai bertakbir hingga tiba ditempat pelaksanaan shalat, bahkan, Rasulullah terus bertakbir hingga sholat akan dilaksanakan. kemudian, jika sholat akan dilaksanakan, beliaupun menghentikan takbir. Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah di dalam kitab al-Mushannaf dan al-Mahali di dalam kitab Shalaatul ‘Iidain dengan sanad shohih. Jadi saat memulai takbir ialah saat kita akan berangkat Sholat ’ied dan berakhir hingga hari terakhir hari-hari Tasyriq. Wallahu a’lam.

Al-Alamah Syaikh Muhammad Nashirudin al-AlBani (semoga Allah merahmatinya) mengemukakan bahwa di dalam hadits tersebut (yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah tadi) terkandung dalil yang menunjukkan disyari’atkannya apa yang dikerjakan oleh kaum Muslimin, berupa takbir dengan suara lantang selama dalam perjalanan menuju ketempat pelaksanaan sholat yakni Mushalaa (tanah lapang), meskipun banyak dari mereka mulai meremehkan sunnah ini. Dan ingat bertakbir tidaklah dengan dipimpin oleh salah seorang... bertakbir itu dilakukan oleh semua orang, takbir itu dikumandangkan oleh seluruh kaum muslimin dan tidak dengan dikomandoi oleh satu orang atau dipimpin oleh salah seorang dari kita saja.

Dan, menurut Syaikh Ali Hasan bin ‘Ali di dalam kitabnya Ahkamul ‘Iidain fis Sunnatil Muthahharah, tidaklah disyariatkan melakukannya (yakni takbir yang dilakukan) secara bersama-sama dengan satu suara atau koor, demikian juga setiap dzikir yang disyariatkan untuk membacanya. Jadi hendaklah kita berhati-hati supaya tidak melakukan hal-hal tersebut. Dan kita sudah sepatut-nyalah mengarahkan pandangan kita kepada keyakinan, bahwa sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Rasulullah Muhammad Shalallahu 'Alaihi Wasallam. Wallahu a’lam bishowab.

Selanjutnya saudaraku, di dalam Majmuu al-Fataawa, sebagaimana yang kami kutip dari Ahkamul ‘Iidain fis Sunnatil Muthahharah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (semoga Allah merahmatinya), pernah ditanya tentang waktu pelaksanaan takbir pada sholat ‘Iedul Fithri dan ‘Iedul Adh-ha, maka dia pun memberikan jawaban : “Segala puji hanya bagi Allah, pendapat yang benar mengenai pelaksanaan takbir ini, dan yang menjadi pendapat jumhur (mayoritas) ulama Salaf dan Fuqaha (para ahli fiqh) dari kalangan Sahabat dan Tabi’in, adalah bertakbir dari waktu fajar pada hari ‘Arafah sampai dengan akhir hari Tasyriq, yaitu setiap kali selesai Sholat. Disyariatkan pula bagi setiap orang membaca takbir dengan suara lantang pada saat berangkat menuju tempat shalat “ied. Dan yang demikian itu dengan kesepakatan empat imam madzhab.” Untuk lebih jelasnya antum dapat merujuk ke kitab Subulus Salaam Syarah Bhulughul Marom. Namun menurut Syaikh Ali’ bin Hasan Hafidzahullah, tidak ada pengkhususan takbir setiap habis sholat, tetapi bertakbir “setiap waktu” tanpa ada pengkhususan sebagaimana yang dikemukakan al-Imam al-Bukhari (semoga Allah merahmatinya) di dalam kitab Shohinya bab at-Takbir Ayyamu Mina wa idzaa Ghodaa ila ‘Arafah. Selain itu, ‘Umar Radhiyallahu Anhu biasa bertakbir di kemahnya di Mina sampai terdengar oleh orang-orang yang hadir di masjid hingga mereka pun bertakbir. Begitu juga orang-orang yang sedang berada di pasar, mereka ikut bertakbir sehingga Mina bergemuruh oleh bacaan takbir. Kemudian yang juga dapat kita jadikan rujukan, dimana Ibnu Umar juga bertakbir di Mina pada hari-hari tersebut, setelah selesai shalat, di atas tempat tidur, lantai, tempat duduk, dan dalam perjalanannya selama hari-hari itu. Dan juga Ibnu ’Umar berangkat ke tanah lapang pada hari raya ‘Iedul Fithri dan ‘Iedul Adh-ha, beliau (Ibnu ‘Umar) membaca takbir dengan suara lantang sampai tiba ditempat pelaksanaan shalat, kemudian tetap bertakbir hingga imam datang. “ hadits ini diriwayatkan oleh Ad-daraquthni, Ibnu Abi Syaibah, dan yang lainnya (semoga Allah merahmatinya) dengan sanad shohih.

Ketahuilah bahwa, Ibnu Mas’ud Radhiyallahu Anhu, beliau pernah mengucapkan takbir : Allahu Akbar, Allahu Akbar, Laailaa ha ilalla Allahu Akbar, Allahu Akbar walilla hilmahd. Allah Mahabesar, Allah Mahabesar, tidak ada ilah yang berhak diibadahi kecuali hanya Allah semata. Allah Mahabesar, Allah Mahabesar, dan segala puji hanya bagi Allah.” Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dengan sanad Shohih. Dan janganlah kita menyalahi dzikir atau takbir, yang bukan bersumber dari Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam, para sahabat dan para Ulama Shalaf. Semoga kita bisa istiqomah diatas sunnah nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam hingga ajal menjemput.....

Dan patut untuk kita ikuti, bahwa kita disunnahkan untuk makan terlebih dahulu sebelum sholat “Iedul Fithri dimana di dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari, at-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad. Dari Anas Radhiyallahu Anhu, dia berkata : “Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam tidak berangkat (ke tempat sholat) pada hari raya ‘Iedul Fithri sampai beliau memakan beberapa kurma terlebih dahulu.” Di dalam Fathul Baari, Imam al-Muhallab berkata : “Hikmah makan sebelum sholat adalah agar tidak ada orang yang mengira masih diwajibkannya puasa sampai dikerjakan sholat ‘Ied. Seakan-akan beliau hendak menutup jalan ini.”

Adapun untuk pelaksanaan sholat ‘Iedul adh-ha, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa sallam, tidak makan terlebih dahulu. Sebagaimana hadits dari Buraidah Radiyallahu Anhu , dia berkata, “Nabi Shalallahu 'Alaihi Wasallam tidak berangkat pada hari raya ‘Iedul Fithri sampai beliau makan terlebih dahulu. Demikian pula pada hari raya ‘Iedul Adh-ha, beliau tidak makan sampai pulang, kemudian beliau makan daging hewan-hewan kurbannya.” Hadits ini diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, Ibnu Majah, ad-darimi serta Imam Ahmad (semoga Allah merahmati mereka semua) dengan sanad hasan.

Adapun di dalam Zaadul Ma’aad, Al-‘Alamah Ibnul Qayyim (semoga Allah merahmatinya), berkata, “Adapun pada hari raya ‘Idhul Adh-ha, beliau (Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam ) tidak makan hingga kembali dari tempat sholat, baru kemudian makan daging hewan kurbannya.”

Dan al-Alamah Asy-Syaikh Asy-Syaukani di dalam Nailul Authar berkata, “hikmah di-akhir-kan-nya makan pada hari raya ‘Iedul Adh-ha adalah karena pada hari itu disyariat’kan penyembelihan hewan kurban dan memakan sebagian darinya. Oleh karena itu, makannya disyariatkan dari hewan Qurban itu.

Selain itu, yang juga disunnahkan yakni Mandi sebelum ‘Ied. Dimana dari Nafi, bahwasanya ‘Abdullah bin ‘Umar biasa mandi (sebelum Sholat) pada hari Raya ‘Iedul Fithri, sebelum berangkat ke tempat pelaksanaan sholat.” Rawahu Malik, asy-Syafi’i dan Abdurrazzaq (semoga Allah merahmatinya) dengan sanad shohih.

Wahai saudaraku yang mencintai sunnah, kadang-kadang muncul pertanyaan dari sebagian saudara kita, apakah ada sholat sebelum atau setelah shalat ‘Ied ?

Untuk itu mari kita simak hadits berikut ini. Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhu, ia berkata, “Bahwasanya Nabi Shalallahu 'Alaihi Wasallam mengerjakan sholat dua rakaat pada hari raya (Sholat ‘Ied) dan tidak mengerjakan sholat lainnya sebelum maupun sesudah nya. hadits riwayat al-Bukhari, at-Tirmidzi, an- Nasa’i dan Ibnu Majah. (semoga Allah merahmati mereka semua). Dan Alhafizh Ibnu hajar al-Asqalani di dalam Fathul Baari menjelaskan bahwa Sholat ‘Ied ditetapkan dengan tidak adanya sholat sebelum atau sesudahnya…” Jadi telah jelas bahwa tidak ada sholat sesudah maupun sebelum Sholat ‘Ied.

Dan yang juga patut untuk kita ketahui nih. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahumullah berkata : “kami mentarjih (menguatkan) bahwa Sholat ‘Ied wajib bagi setiap individu Muslim. Sebagaimana pendapat Abu Hanifah dan yang lainnya. Dan pendapat ini juga merupakan salah satu pendapat Imam Asy-Syafi’I dan Imam Ahmad. Sementara itu al-Alamah asy-Syaukani di dalam KItab as-Sailul Jarraar berkata : “Ketahuilah bahwa Nabi Shalallahu 'Alaihi Wasallam senantiasa mengerjakan sholat ini pada kedua hari raya (‘Iedul Fithri dan ‘Iedul Adh-ha) dan tak pernah meninggalkannya. Beliau (Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam) juga memerintahkan ummat islam untuk berangkat melaksankannya, bahkan memerintahkan wanita-wanita yang dimerdekakan, wanita-wanita pingitan, dan wanita-wanita haidh untuk mendatangi (Mushalla atau tanah lapang tempat didirikannya Sholat ‘ied), bahkan beliau memerintahkan wanita yang tidak memiliki jilbab agar temannya meminjamkan wanita yang tidak memiliki jilbab (untuk hadir di Mushala atau tanah lapang dalam bahasa indonesianya). Hal ini sebagaimana hadits Ummu ‘Athiyyah yang diriwyatakan oleh al-Bukhari dan juga Imam Muslim serta at-Tirmidzi, An nasa’I Ibnu Majah dan Ahmad. Lebih lanjut, Syaikh asy- Syaukani (semoga Allah merahmatinya) berkata : “Di antara dalil yang menunujukkan hukum wajib sdholat ‘Ied adalah bahwa sholat ‘Ied bisa menggugurkan sholat Jum’at jika keduanya terjadi bertepatan dalam satu hari. Jadi Ikhwah Fillah sesuatu yang tidak wajib tidak akan mungkin dapat menggugurkan sesuatu yang wajib.

Al-Alamah Syaikh Muhammad Nashirudin al-Albani (semoga Allah merahmatinya) di dalam at-Tamaamul Minna, (setelah menyebutkan hadits dari Ummu ‘Athiyyah) ia berkata, “Hal yang disebutkan itu menunjukkan hukum wajib. Jika pergi mengerjakan sholat merupakan hal yang wajib, maka mengerjakan sholat itu sudah pasti lebih wajib, sebagaimana diketahui. Dengan demikian, yang benar adalah wajib hukumnya, bukan sekedar Sunnah..”

Selanjutnya, di dalam Zaadul Ma’aad, al-Imam Ibnul Qayyim (semoga Allah merahmatinya) berkata, “Nabi Shalallahu 'Alaihi Wasallam biasa mengakhirkan sholat ‘Iedul Fithri dan menyegerakan shalat ‘Iedul Adh-ha. (Dan) Ibnu Umar dengan kesungguhan nya dalam mengikuti Sunnah, tidak berangkat menuju Mushala alias tanah lapang, sampai matahari terbit.”

Adapun, Syaikh Abu bakr al-Jazairi di dalam Minhajul mUslim berkata : “Waktu Sholat ‘Iedul Fithri dan ‘Iedul Adh-Ha adalah dari naiknya matahari setinggi tombak sampai zawal. Adapun yang paling afdhol atau yang paling utama, Sholat ‘Iedul Adh-ha dikerjakan pada waktu awal agar ada kesempatan bagi orang-orang untuk menyembelih hewan kurban. Demikian pula mengakhirkan ‘Iedul Fithri agar memungkinkan bagi orang-orang untuk mengeluarkan zakat fitrah.”

Kemudian, al-Alamah Ibnul Qayyim al Jauziyah (semoga Allah Merahmatinya) di dalam kitabnya yang masyhur, yakni Zaadul Ma’aad berkata : “jika telah sampai ditempat sholat, Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam langsung mengerjakan shalat ‘Ied tanpa Adzan dan Iqamat, juga tidak dengan ucapan ‘Ash-shalatu jaami’ah.”

Nah, berikut tata cara sholat ‘Ied:

Rakaat pertama dimulai seperti sholat –sholat lainnya dengan takbiratul ikhram, lalu disusul dengan tujuh kali takbir. Kemudian pada rakaat kedua dengan lima kali takbir, selain dari takbir perpindahan (maksudnya takbir untuk bangkit ke rakaat kedua). Hal ini sebagaimana hadits dari ‘Aisyah Radhiyallahu Anhu, dimana ia berkata : “Bahwasanya Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam biasa bertakbir pada sholat ‘Iedul Fithri dan ‘Iedul adh-ha, yakni pada rakaat pertama tujuh kali takbir dan pada rakaat kedua lima kali takbir, selain dari dua takbir ruku’. Hadits ini dirwayatkan oleh al-Imam Abu Dawud, al-Imam Ibnu Majah, Imam Ahmad dan Imam al-baihaqi dengan sanad shohih. Selain itu ada juga hadits yang lain yang diriwayatkan oleh al-Imam Abu Dawud, Imam Ibnu Majah, dan Imam Ahmad dari ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya, dari kakeknya, dia berkata : “Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam bertakbir dalam sholat ‘Ied tujuh kali pada rakaat pertama, kemudian membaca bacaan (yakni al-fatihah dan surah lainnya), lalu bertakbir dan ruku’, kemudian sujud. Selanjutnya beliau berdiri dan bertakbir lima kali, dilanjutkan dengan membaca bacaan (surah al-Fatihah dan surah lainnya), lalu bertakbir dan ruku, baru kemudian bersujud. Hadits ini derajatnya hasan dengan berapa syawahid (pendukung).

Dan termasuk yang disunnahkan, yakni melaksanakan Khutbah ‘Ied setelah sholat ‘Ied, sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari didalam Kitab Shohihnya dalam Bab al-Khutbah ba’dal ‘Iid.

Namun Khutbah ‘Ied hukumnya tidaklah wajib, jadi bagi yang mau silahkan mendengarkan, dan bagi yang tidak dipersilahkan untuk meninggalkannya. Jadi Khutbah berbeda dengan sholat ‘Ied. Kalo shalat ‘Ied hukumnya wajib sedangkan khutbahnya tidak wajib. Dan yang demikian ini , didasarkan kepada apa yang diriwayatkan dari ‘Abdullah bin as-Sa’ib, dia berkata, “aku pernah menghadiri shalat ‘Ied bersama Nabi Shalallahu 'Alaihi Wasallam. Ketika selesai Sholat, beliau bersabda, “Sesungguhnya kami akan berkhutbah, maka barang siapa ingin duduk untuk mendengarkan nya, dipersilahkan untuk duduk, sedangkan barangsiapa yang ingin pergi, dipersilahkan untuk pergi.” Hadits ini diriwayatkan al-Imam Abu Dawud, An-nasa-i, Ibnu Majah, dan al-Hakim dengan sanad hasan. Wallahu ‘Allam bishowab.

Semoga ‘Ied kita dapat sesuai dengan tuntunan Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam sebagai bentuk ittiba’ kepadanya.

Meneladani Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam dalam Berhari Raya

بِسْمِ الّلهِ الرَّ حْمنِ الرَّ حِيمِ

4 ذو القعد ة 1431

Segala puji bagi Allah Azza wajalla, kepada-Nya kita memberikan sanjungan , memohon pertolongan dan ampunan. Kepada-Nya lah kita senantiasa berlindung dari kejahatan diri dan keburukan amal perbuatan kita. Wahai saudaraku yang dirahmati Allah, mudah-mudahan Allah Azza Wa jalla menyatukan kita semua untuk senantiasa mencintai-Nya dan mengikuti Sunnah Rasul-Nya.

Alhamdulillah, kita masih diberikan nikmat yang banyak oleh Allah Azza wa Jalla, sehingga kita masih merasakan nikmatnya bulan Dzulhijjah, bulan yang didalamnya banyak terdapat keutamaan dengan amalan-amalannya baik yang sunnah maupun wajib. Namun sebelumnya, ana menghimbau, mari kita do’akan saudara-saudara kita yang lagi diuji oleh Allah Azza wa Jalla, semoga diberikan kekuatan, kesabaran serta ilmu yang bermanfaat, sehingga dapat menjalani dan menghadapi ujian tersebut dengan lapang dada, dan selalu mengharap rahmat dan ridho allah azza wa jalla. Selain itu jika kita memiliki kelebihan materi, maka bantulah saudara-saudara kita tersebut semampunya. Semoga apa yang kita usahakan tersebut bermanfaat.

Dan telah masyhur dikalangan kaum muslimin, Insya Allah pada enam hari kedepan kita akan menjalani suatu ibadah besar yakni menyembelih hewan qurban , serta merayakan hari rayanya kaum muslimin yakni ‘Iedul Adha. Untuk itu tak ada salahnya kita mencoba mengetahui bagaiman Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam berhari raya dan berqurban. Mengenai qurban telah dibahas pada postingan sebelumnya. Dan sudah sepatutnyalah kita bersyukur kepada Allah Azza Wa jalla, atas apa yang telah Allah syariatkan di dalam agama ini, yakni salah satunya Hari Raya ‘Iedul Adha. Dimana kita dapat bergembira dan berbahagia dalam melaksanakannya.

Wahai saudaraku yang mencintai sunnah, ‘Ied berarti Suatu hari ketika terjadi perkumpulan. Kata ini diambil dari kata aada-ya’uudu atau kembali, jadi seakan-akan kita kembali kepadanya. Ada juga yang berpendapat bahwa kata ‘Ied diambil dari kata al-‘aadah atau suatu kebiasaan. Ibnul A’rabi didalam Lisaanul ‘Arab berkata : “Hari raya disebut ‘Ied karena hari itu muncul kembali setiap tahun dengan membawa kegembiraan. Adapun Al-‘Alaamah Ibnu ‘Abidin berkata : “Disebut ‘Ied karena pada hari itu Allah Tabaraka Wa Ta’ala memiliki berbagai macam kebaikan yang akan kembali kepada hamba-hamba-Nya setiap hari, diantaranya berbuka (tidak berpuasa) setelah adanya larangan makan dan minum, zakat fitrah, thowaf , wukuf dan lainnya bagi yang berhaji, memotong atau menyembelih Qurban dan lain-lain. Selain itu, karena kebiasaan yang berlaku pada hari ini adalah kegembiraan, kebahagiaan, keceriaan, dan hubur atau kenikmatan.

Dari Anas bin Malik Radhiyallahu Anhu, dia berkata : Nabi Shalallahu 'Alaihi Wasallam pernah datang ke Madinah sedang penduduknya memiliki dua hari raya yang pada keduanya mereka bermain-main dimasa Jahiliyyah (yakni hari Nairuz dan hari mahrajan), maka beliau bersabda : “Aku datang kepada kalian , sementara kalian telah memiliki dua hari (raya) yang menjadi ajang permainan kalian pada masa Jahiliyyah. Sesungguhnya Allah telah mengganti keduannya dengan yang lebih baik, yaitu hari raya ‘Iedul Adh-ha dan ‘Iedul Fithri.” Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad, al-Imam Abu Dawud, Imam an-Nasa-i, dan al-Baghawi (semoga Allah merahmati Selanjutnya, di dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari, Imam Muslim, Imam Ahmad dan al-Imam Ibnu Majah (semoga Allah merahmati mereka), dari Ummul Mukminin ‘Aisyah Radiallahu Anha, dia berkata : “Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam pernah masuk menemuiku, sedang bersamaku tengah ada dua anak perempuan yang tengah melantunkan lagu (syair) bu’ats. Selanjutnya, beliau pun berbaring di atas tempat tidur seraya memalingkan wajahnya. Kemudian, Abu Bakar Radhiyallahu Anhu (yakni bapaknya ‘Aisyah) masuk dan menghardikku sambil berkata : “Seruling syaitan ada di dekat Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam?’ maka Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam menghadap kepada Abu bakar seraya bersabda : “Biarkan mereka berdua.’ Ketika beliau lengah, aku pun memberikan isyarat dengan mata kepada keduanya, lalu keduannya keluar.”

Adapun di dalam riwayat lain, juga diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim, disebutkan bahwa Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam bersabda : “Wahai, Abu Bakar, sesungguhnya setiap kaum memiliki hari raya dan inilah hari raya kita.”

Dan di dalam kitab Syarhus Sunnah, Imam al-Baghawi, yang kami kutip dari Ahkamul ‘Iidain fis Sunnatil Muthahharah karya Syaikh ‘Ali bin Hasan bin Ali al-Halabi hafidzahullah, di kemukakan bahwa Bu’ats (sebagaimana hadits ‘Aisyah tadi) merupakan salah satu hari raya yang cukup populer dikalangan masyarakat Arab. Pada hari itu, terjadi pembunuhan besar-besaran oleh kaum Aus atas kaum Khasraj, dimana peperangan antar keduanya berlangsung selama 120 tahun, hingga akhirnya Islam datang mendamaikan mereka. Jadi, Syair yang dilantunkan oleh kedua anak perempuan itu mengungkapkan berbagai hal menyangkut peperangan, keberanian, dan dalam pelantunannya dapat membantu urusan agama. Adapaun syair lagu-lagu yang menyebutkan hal-hal keji, dan yang diharamkan, serta menyebut kemungkaran (adapun dijaman sekarang ditambahin lagi dengan permainan alat-alat musik yang telah jelas diharamkan), maka yang seperti inilah yang dilarang. Dan sudah pasti lagu seperti itu tidak akan pernah terdengar di telinga Rasulullah.

Mengenai, sabda Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam “Dan inilah hari raya kita.’ Memberikan keterangan tentang dibolehkannya mendendangkan sya’ir tersebut, serta diperbolehkannya memperlihatkan kegembiraan pada hari raya (yakni pada ‘Iedul Fithri dan ‘Iedhul Adh-ha), yang mana pada hari-hari tersebut merupakan syi’ar agama, bukan seperti hari-hari yang lain. Kemudian al-hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah di dalam fathul Bari (syarah shohih Bukhari) yang juga kami kutip dari Ahkamul ‘Iidain fis Sunnatil Muthahharah, mengungkapkan : “Di dalam hadits ‘Aisyah terdapat beberapa kesimpulan yakni : diperkenankannya untuk memberi keleluasaan bagi keluarga pada hari raya, dengan hal-hal yang dapat menyenangkan jiwa, dan menyegarkan badan dari beban-beban ibadah, dan bahwasanya meninggalkannya lebih baik. Selain itu, di dalam hadits tersebut terdapat pengertian, bahwa kebahagiaan pada hari raya merupakan syi’ar agama. Wallahu A’llam bishowab.

Selain itu wahai saudaraku, telah masyhur bagi kita, bahwa kita disunnahkan untuk berhias diri pada hari raya ‘Ied. Dimana dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu Anhu, dia berkata : “Umar (yakni Umar bin Khaththab , yang tak lain adalah bapaknya), pernah mengambil JUBAH dari SUTERA yang dijual dipasar. Kemudian , dia mendatangi Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam seraya berucap : ‘Wahai Rasulullah, belilah ini dan pergunakanlah untuk berhias diri pada hari raya ‘Ied dan wufud, (wufud itu yakni menyambut kedatangn delegasi atau tamu dari luar daerah). (lantas) ’Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam bersabda : “Sesungguhnya ini adalah pakaian orang yang tidak mendapat bagian (diakhirat).’ Umar pun terdiam sesuai kehendak Allah. Setelah itu, Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam mengirimkan kepadanya jubah DIBAAJ (SUTERA), maka (mendapati pemberian tersebut) ‘Umar pun menerimanya dan membawanya kepada Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam, seraya berucap : ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya engkau pernah berkata : ‘Sesungguhnya ini adalah pakaian orang yang tidak mendapat bagian di akhirat, tetapi engkau justru mengirimkan jubah ini kepadaku?’. Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam (kemudian) bersabda kepadanya : “Engkau bisa menjualnya atau menukarnya dengan sesuatu yang bisa memenuhi kebutuhanmu.” Hadits ini diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari, Imam Muslim, al-Imam Abu Dawud, Imam an-Nasa’i serta Imam Ahmad.” (semoga Allah merahmati mereka semua)

Dan di dalam Haasyiyatu as-Sindi ‘alaa an-Nasa-i, Al-Alamah as-Sindi berkata Dari dalil, (yakni hadits yang tadi) diketahui bahwa berhias pada hari raya merupakan kebiasaan yang telah berjalan (turun temurun), dan kebiasaan ini tidak ditentang oleh Nabi Shalallahu 'Alaihi Wasallam hingga diketahui keberadaannya. Kemudian Al-hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Fathul Bari berkata “Diriwayatkan oleh Ibnu Abid Dun-ya dan al-Baihaqi dengan sanad SHAHIH, kepada Ibnu ‘Umar, bahwasanya, dia biasa mengenakan pakaian terbaik pada hari raya ‘Iedul Fitri dan ‘Iedul Adh-ha.’ Sementara itu, al Imam Malik (semoga Allah merahmatinya) berkata mengenai hal ini “Aku pernah mendegar dari para Ulama bahwa mereka menyukai wewangian dan berhias pada setiap hari raya.” Demikian juga dengan al-Alamah Ibnul Qayyim (semoga Allah merahmatinya), di dalam kitabnya Zaadul Ma’aad, ia berkata “Nabi biasa berangkat ‘Iedul Fithri dan ‘Iedul Adh-ha dengan pakaiannya yang paling bagus. Beliau (Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam) memiliki satu HULLAH atau baju yang biasa beliau kenakan pada hari Raya ‘Idul Fithri, ‘iedul Adh-ha serta hari Jum’at. Sesekali beliau (Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam) memakai dua BURDAH (kain bermotif) berwarna hijau, dan terdapat benang berwarna merah seperti burdah Yaman. Nah, itulah penampilan Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam ketika ber-hari raya. Wallahu a’lam.

Di dalam sebuah hadits, Dari sahabat Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu Anhu, dia berkata : “Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam biasa berangkat pada hari raya ‘Iedul Fithri dan ‘Iedul Adh-ha ke tanah lapang, maka yang pertama kali beliau mulai adalah sholat…” hadits ini di riwayatkan oleh al- Bukhari , muslim dan an-Nasa-I (semoga Allah merahmati mereka).

Selanjutnya, Al-‘Alamah Ibnul Haaj al-Maliki mengucapkan “ “Sunnah (nabi) yang berjalan dalam pelaksanaan sholat ‘Iedul Fithri dan ‘Iedul Adh-Ha adalah diadakan di tanah lapang”. Padahal terdapat fadillah atau keutamaan yang sangat besar jika Shalat di Masjid Nabawi atau di Masjidil Haram, sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim, yakni “Shalat dimasjidku ini (yakni masjid nabawi) lebih baik dari seribu kali shalat di Masjid lainnya kecuali Masjidil Haram.”. Maka mengenai sholat ‘ied, Imam Ibnu Qudamah al-Maqdisi berkata : “Yang disunnahkan adalah melaksanakan shalat ‘Ied di tanah lapang. Hal tersebut telah diperintahkan oleh ‘Ali Radhiyallahu Anhu dan riwayat ini dinilai baik oleh al-Auza’i dan Ashabur Ra’yi. Namun barangsiapa yang tidak mampu berangkat ke tanah lapang karena sakit atau karena faktor lainnya / uzur, maka dia boleh shalat di Masjid dan Insya Allah tidak mengapa baginya. Demikian yang terdapat dalam Al-Mugni yang kami kutip dari Ahkamul ‘Iidain fis Sunnatil Muthahharah. Dan tujuan dari pelaksanaan shalat ditanah lapang adalah berkumpulnya kaum muslimin di satu tempat. Dan banyak negara yang menyediakan tanah lapang untuk tempat shalat meskipun sebetulnya tidak dibutuhkan dan bahkan dimakruhkan oleh para ulama akan pengkhususan ini. Demikian yang terdapat dalam Nihayaatul Muhtaaj. -Wallahu A’lam Bishowab-. Maka dari itu, tiada kata yang pantas untuk diucapkan kecuali : “Laa Haula wa laa Quwwata illa billah “ (tiada daya dan upaya melainkan hanya milik Allah.) Tetaplah dalam persatuan dan kesatuan dalam bingkai ke-Islaman.

Selanjutnya saudaraku yang mencintai sunnah, selain sholat di tanah lapang atau lapangan, yang termasuk disunnahkan dalam pelaksanaan sholat ‘Ied, yakni membedakan jalan yang dilewati saat menuju kepelaksanaan sholat ‘Ied, dimana beliau (Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam) biasa berangkat dari satu jalan dan kembali melaui jalan lainnya. Sebagaimana hadits dari jabir Radhiyallahu Anhu, dia berkata : “Jika hari raya ‘Ied tiba, Nabi Shalallahu 'Alaihi Wasallam biasa mengambil jalan lain (ketika berangkat dan pulang). “ rawahu al Bukhari. Dan al imam an nawawi (semoga Allah merahmatinya) berkata : “Sudah sepatutnya (kita) untuk (tetap) mengikuti Sunnah Rasul Shalallahu ‘Alaihi wa sallam. Wallaahu a’Lam bish-shawab

Dan Ingatlah !, bahwa kita kini telah berada di Bulan Dzulhijjah, maka sekali lagi ana ingatkan, bahwa kita disunnahkan untuk memperbanyak amalan dan ibadah di sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah ini. Diantaranya, kita disunnahkan untuk berpuasa mulai tanggal 1 Dzulhijjah hingga tanggal 9 di Bulan Dzulhijjah ini. Hal ini sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Al Imam Al Bukhori Rahimahullah dari Abdulloh bin Abbas radliyallohu ‘anhu, “Tidak ada amal pada hari-hari yang lebih afdhol dari amal pada hari-hari ini (10 hari pertama bulan Dzulhijjah) , mereka mengatakan ,”dan tidak juga jihad fii sabilillah? Dan beliau (Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa sallam) berkata: “Tidak juga jihad fii sabilillah, kecuali seseorang keluar dengan harta dan jiwanya, dan tidak kembali dari perkara tersebut sedikit pun.”

Jadi tunggu apalagi, mari kita manfaatkan moment yang belum tentu akan kita temui di tahun depan ini. Karna kita tidak tau, sampai kapan umur kita. Kalaupun tak dapat menjalani saum sunnah dari tanggal 1 hingga tanggal 9 dzulhijjah, maka kita disunnahkan untuk melaksanakan puasa di tanggal 9 dzulhijjahnya, dimana puasa saat itu dikenal dengan puasa arafah. Ayo persiapkan diri kita untuk menjalaninya. Semoga allah azza wa jalla memberikan kita kekuatan, kesehatan serta kesempatan untuk menjalankannya.

Kemudian, Telah kita ketahui bersama, bahwa Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam biasa membedakan jalan pada waktu menuju pelaksanaan sholat ‘Ied. Nah ada yang berpendapat , bahwa hal yang dilakukan Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam tersebut agar orang-orang yang menempuh kedua jalan berbeda tersebut dapat mengucapkan salam kepada orang yang tinggal disekitar kedua jalan tersebut. Kemudian ada juga yang berpendapat agar mereka mendapatkan keberkahan yang berada pada kedua jalan tersebut. Selain itu, Ada juga yang berpendapat, agar kaum muslimin dapat menunaikan keperluan mereka pada tiap-tiap jalan selain hal tersebut, kemudian ada juga yang berpendapat, yakni untuk memperlihatkan Syi’ar –syi’ar Islam. Dan seluruh hikmah yang ana sebutkan tadi semuanya adalah benar. Namun apabila sebabnya atau hikmahnya, tidak kita ketahui, bukan berarti lantas kita tak menjalankannya. Sudah sepatutnyalah bagi kita, untuk tetap mengikuti Sunnah Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam hingga akhir hayat kita. Wallahu ‘Allam