Rabu, 10 November 2010

Meneladani Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam dalam Berhari Raya

بِسْمِ الّلهِ الرَّ حْمنِ الرَّ حِيمِ

4 ذو القعد ة 1431

Segala puji bagi Allah Azza wajalla, kepada-Nya kita memberikan sanjungan , memohon pertolongan dan ampunan. Kepada-Nya lah kita senantiasa berlindung dari kejahatan diri dan keburukan amal perbuatan kita. Wahai saudaraku yang dirahmati Allah, mudah-mudahan Allah Azza Wa jalla menyatukan kita semua untuk senantiasa mencintai-Nya dan mengikuti Sunnah Rasul-Nya.

Alhamdulillah, kita masih diberikan nikmat yang banyak oleh Allah Azza wa Jalla, sehingga kita masih merasakan nikmatnya bulan Dzulhijjah, bulan yang didalamnya banyak terdapat keutamaan dengan amalan-amalannya baik yang sunnah maupun wajib. Namun sebelumnya, ana menghimbau, mari kita do’akan saudara-saudara kita yang lagi diuji oleh Allah Azza wa Jalla, semoga diberikan kekuatan, kesabaran serta ilmu yang bermanfaat, sehingga dapat menjalani dan menghadapi ujian tersebut dengan lapang dada, dan selalu mengharap rahmat dan ridho allah azza wa jalla. Selain itu jika kita memiliki kelebihan materi, maka bantulah saudara-saudara kita tersebut semampunya. Semoga apa yang kita usahakan tersebut bermanfaat.

Dan telah masyhur dikalangan kaum muslimin, Insya Allah pada enam hari kedepan kita akan menjalani suatu ibadah besar yakni menyembelih hewan qurban , serta merayakan hari rayanya kaum muslimin yakni ‘Iedul Adha. Untuk itu tak ada salahnya kita mencoba mengetahui bagaiman Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam berhari raya dan berqurban. Mengenai qurban telah dibahas pada postingan sebelumnya. Dan sudah sepatutnyalah kita bersyukur kepada Allah Azza Wa jalla, atas apa yang telah Allah syariatkan di dalam agama ini, yakni salah satunya Hari Raya ‘Iedul Adha. Dimana kita dapat bergembira dan berbahagia dalam melaksanakannya.

Wahai saudaraku yang mencintai sunnah, ‘Ied berarti Suatu hari ketika terjadi perkumpulan. Kata ini diambil dari kata aada-ya’uudu atau kembali, jadi seakan-akan kita kembali kepadanya. Ada juga yang berpendapat bahwa kata ‘Ied diambil dari kata al-‘aadah atau suatu kebiasaan. Ibnul A’rabi didalam Lisaanul ‘Arab berkata : “Hari raya disebut ‘Ied karena hari itu muncul kembali setiap tahun dengan membawa kegembiraan. Adapun Al-‘Alaamah Ibnu ‘Abidin berkata : “Disebut ‘Ied karena pada hari itu Allah Tabaraka Wa Ta’ala memiliki berbagai macam kebaikan yang akan kembali kepada hamba-hamba-Nya setiap hari, diantaranya berbuka (tidak berpuasa) setelah adanya larangan makan dan minum, zakat fitrah, thowaf , wukuf dan lainnya bagi yang berhaji, memotong atau menyembelih Qurban dan lain-lain. Selain itu, karena kebiasaan yang berlaku pada hari ini adalah kegembiraan, kebahagiaan, keceriaan, dan hubur atau kenikmatan.

Dari Anas bin Malik Radhiyallahu Anhu, dia berkata : Nabi Shalallahu 'Alaihi Wasallam pernah datang ke Madinah sedang penduduknya memiliki dua hari raya yang pada keduanya mereka bermain-main dimasa Jahiliyyah (yakni hari Nairuz dan hari mahrajan), maka beliau bersabda : “Aku datang kepada kalian , sementara kalian telah memiliki dua hari (raya) yang menjadi ajang permainan kalian pada masa Jahiliyyah. Sesungguhnya Allah telah mengganti keduannya dengan yang lebih baik, yaitu hari raya ‘Iedul Adh-ha dan ‘Iedul Fithri.” Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad, al-Imam Abu Dawud, Imam an-Nasa-i, dan al-Baghawi (semoga Allah merahmati Selanjutnya, di dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari, Imam Muslim, Imam Ahmad dan al-Imam Ibnu Majah (semoga Allah merahmati mereka), dari Ummul Mukminin ‘Aisyah Radiallahu Anha, dia berkata : “Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam pernah masuk menemuiku, sedang bersamaku tengah ada dua anak perempuan yang tengah melantunkan lagu (syair) bu’ats. Selanjutnya, beliau pun berbaring di atas tempat tidur seraya memalingkan wajahnya. Kemudian, Abu Bakar Radhiyallahu Anhu (yakni bapaknya ‘Aisyah) masuk dan menghardikku sambil berkata : “Seruling syaitan ada di dekat Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam?’ maka Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam menghadap kepada Abu bakar seraya bersabda : “Biarkan mereka berdua.’ Ketika beliau lengah, aku pun memberikan isyarat dengan mata kepada keduanya, lalu keduannya keluar.”

Adapun di dalam riwayat lain, juga diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim, disebutkan bahwa Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam bersabda : “Wahai, Abu Bakar, sesungguhnya setiap kaum memiliki hari raya dan inilah hari raya kita.”

Dan di dalam kitab Syarhus Sunnah, Imam al-Baghawi, yang kami kutip dari Ahkamul ‘Iidain fis Sunnatil Muthahharah karya Syaikh ‘Ali bin Hasan bin Ali al-Halabi hafidzahullah, di kemukakan bahwa Bu’ats (sebagaimana hadits ‘Aisyah tadi) merupakan salah satu hari raya yang cukup populer dikalangan masyarakat Arab. Pada hari itu, terjadi pembunuhan besar-besaran oleh kaum Aus atas kaum Khasraj, dimana peperangan antar keduanya berlangsung selama 120 tahun, hingga akhirnya Islam datang mendamaikan mereka. Jadi, Syair yang dilantunkan oleh kedua anak perempuan itu mengungkapkan berbagai hal menyangkut peperangan, keberanian, dan dalam pelantunannya dapat membantu urusan agama. Adapaun syair lagu-lagu yang menyebutkan hal-hal keji, dan yang diharamkan, serta menyebut kemungkaran (adapun dijaman sekarang ditambahin lagi dengan permainan alat-alat musik yang telah jelas diharamkan), maka yang seperti inilah yang dilarang. Dan sudah pasti lagu seperti itu tidak akan pernah terdengar di telinga Rasulullah.

Mengenai, sabda Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam “Dan inilah hari raya kita.’ Memberikan keterangan tentang dibolehkannya mendendangkan sya’ir tersebut, serta diperbolehkannya memperlihatkan kegembiraan pada hari raya (yakni pada ‘Iedul Fithri dan ‘Iedhul Adh-ha), yang mana pada hari-hari tersebut merupakan syi’ar agama, bukan seperti hari-hari yang lain. Kemudian al-hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah di dalam fathul Bari (syarah shohih Bukhari) yang juga kami kutip dari Ahkamul ‘Iidain fis Sunnatil Muthahharah, mengungkapkan : “Di dalam hadits ‘Aisyah terdapat beberapa kesimpulan yakni : diperkenankannya untuk memberi keleluasaan bagi keluarga pada hari raya, dengan hal-hal yang dapat menyenangkan jiwa, dan menyegarkan badan dari beban-beban ibadah, dan bahwasanya meninggalkannya lebih baik. Selain itu, di dalam hadits tersebut terdapat pengertian, bahwa kebahagiaan pada hari raya merupakan syi’ar agama. Wallahu A’llam bishowab.

Selain itu wahai saudaraku, telah masyhur bagi kita, bahwa kita disunnahkan untuk berhias diri pada hari raya ‘Ied. Dimana dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu Anhu, dia berkata : “Umar (yakni Umar bin Khaththab , yang tak lain adalah bapaknya), pernah mengambil JUBAH dari SUTERA yang dijual dipasar. Kemudian , dia mendatangi Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam seraya berucap : ‘Wahai Rasulullah, belilah ini dan pergunakanlah untuk berhias diri pada hari raya ‘Ied dan wufud, (wufud itu yakni menyambut kedatangn delegasi atau tamu dari luar daerah). (lantas) ’Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam bersabda : “Sesungguhnya ini adalah pakaian orang yang tidak mendapat bagian (diakhirat).’ Umar pun terdiam sesuai kehendak Allah. Setelah itu, Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam mengirimkan kepadanya jubah DIBAAJ (SUTERA), maka (mendapati pemberian tersebut) ‘Umar pun menerimanya dan membawanya kepada Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam, seraya berucap : ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya engkau pernah berkata : ‘Sesungguhnya ini adalah pakaian orang yang tidak mendapat bagian di akhirat, tetapi engkau justru mengirimkan jubah ini kepadaku?’. Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam (kemudian) bersabda kepadanya : “Engkau bisa menjualnya atau menukarnya dengan sesuatu yang bisa memenuhi kebutuhanmu.” Hadits ini diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari, Imam Muslim, al-Imam Abu Dawud, Imam an-Nasa’i serta Imam Ahmad.” (semoga Allah merahmati mereka semua)

Dan di dalam Haasyiyatu as-Sindi ‘alaa an-Nasa-i, Al-Alamah as-Sindi berkata Dari dalil, (yakni hadits yang tadi) diketahui bahwa berhias pada hari raya merupakan kebiasaan yang telah berjalan (turun temurun), dan kebiasaan ini tidak ditentang oleh Nabi Shalallahu 'Alaihi Wasallam hingga diketahui keberadaannya. Kemudian Al-hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Fathul Bari berkata “Diriwayatkan oleh Ibnu Abid Dun-ya dan al-Baihaqi dengan sanad SHAHIH, kepada Ibnu ‘Umar, bahwasanya, dia biasa mengenakan pakaian terbaik pada hari raya ‘Iedul Fitri dan ‘Iedul Adh-ha.’ Sementara itu, al Imam Malik (semoga Allah merahmatinya) berkata mengenai hal ini “Aku pernah mendegar dari para Ulama bahwa mereka menyukai wewangian dan berhias pada setiap hari raya.” Demikian juga dengan al-Alamah Ibnul Qayyim (semoga Allah merahmatinya), di dalam kitabnya Zaadul Ma’aad, ia berkata “Nabi biasa berangkat ‘Iedul Fithri dan ‘Iedul Adh-ha dengan pakaiannya yang paling bagus. Beliau (Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam) memiliki satu HULLAH atau baju yang biasa beliau kenakan pada hari Raya ‘Idul Fithri, ‘iedul Adh-ha serta hari Jum’at. Sesekali beliau (Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam) memakai dua BURDAH (kain bermotif) berwarna hijau, dan terdapat benang berwarna merah seperti burdah Yaman. Nah, itulah penampilan Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam ketika ber-hari raya. Wallahu a’lam.

Di dalam sebuah hadits, Dari sahabat Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu Anhu, dia berkata : “Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam biasa berangkat pada hari raya ‘Iedul Fithri dan ‘Iedul Adh-ha ke tanah lapang, maka yang pertama kali beliau mulai adalah sholat…” hadits ini di riwayatkan oleh al- Bukhari , muslim dan an-Nasa-I (semoga Allah merahmati mereka).

Selanjutnya, Al-‘Alamah Ibnul Haaj al-Maliki mengucapkan “ “Sunnah (nabi) yang berjalan dalam pelaksanaan sholat ‘Iedul Fithri dan ‘Iedul Adh-Ha adalah diadakan di tanah lapang”. Padahal terdapat fadillah atau keutamaan yang sangat besar jika Shalat di Masjid Nabawi atau di Masjidil Haram, sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim, yakni “Shalat dimasjidku ini (yakni masjid nabawi) lebih baik dari seribu kali shalat di Masjid lainnya kecuali Masjidil Haram.”. Maka mengenai sholat ‘ied, Imam Ibnu Qudamah al-Maqdisi berkata : “Yang disunnahkan adalah melaksanakan shalat ‘Ied di tanah lapang. Hal tersebut telah diperintahkan oleh ‘Ali Radhiyallahu Anhu dan riwayat ini dinilai baik oleh al-Auza’i dan Ashabur Ra’yi. Namun barangsiapa yang tidak mampu berangkat ke tanah lapang karena sakit atau karena faktor lainnya / uzur, maka dia boleh shalat di Masjid dan Insya Allah tidak mengapa baginya. Demikian yang terdapat dalam Al-Mugni yang kami kutip dari Ahkamul ‘Iidain fis Sunnatil Muthahharah. Dan tujuan dari pelaksanaan shalat ditanah lapang adalah berkumpulnya kaum muslimin di satu tempat. Dan banyak negara yang menyediakan tanah lapang untuk tempat shalat meskipun sebetulnya tidak dibutuhkan dan bahkan dimakruhkan oleh para ulama akan pengkhususan ini. Demikian yang terdapat dalam Nihayaatul Muhtaaj. -Wallahu A’lam Bishowab-. Maka dari itu, tiada kata yang pantas untuk diucapkan kecuali : “Laa Haula wa laa Quwwata illa billah “ (tiada daya dan upaya melainkan hanya milik Allah.) Tetaplah dalam persatuan dan kesatuan dalam bingkai ke-Islaman.

Selanjutnya saudaraku yang mencintai sunnah, selain sholat di tanah lapang atau lapangan, yang termasuk disunnahkan dalam pelaksanaan sholat ‘Ied, yakni membedakan jalan yang dilewati saat menuju kepelaksanaan sholat ‘Ied, dimana beliau (Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam) biasa berangkat dari satu jalan dan kembali melaui jalan lainnya. Sebagaimana hadits dari jabir Radhiyallahu Anhu, dia berkata : “Jika hari raya ‘Ied tiba, Nabi Shalallahu 'Alaihi Wasallam biasa mengambil jalan lain (ketika berangkat dan pulang). “ rawahu al Bukhari. Dan al imam an nawawi (semoga Allah merahmatinya) berkata : “Sudah sepatutnya (kita) untuk (tetap) mengikuti Sunnah Rasul Shalallahu ‘Alaihi wa sallam. Wallaahu a’Lam bish-shawab

Dan Ingatlah !, bahwa kita kini telah berada di Bulan Dzulhijjah, maka sekali lagi ana ingatkan, bahwa kita disunnahkan untuk memperbanyak amalan dan ibadah di sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah ini. Diantaranya, kita disunnahkan untuk berpuasa mulai tanggal 1 Dzulhijjah hingga tanggal 9 di Bulan Dzulhijjah ini. Hal ini sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Al Imam Al Bukhori Rahimahullah dari Abdulloh bin Abbas radliyallohu ‘anhu, “Tidak ada amal pada hari-hari yang lebih afdhol dari amal pada hari-hari ini (10 hari pertama bulan Dzulhijjah) , mereka mengatakan ,”dan tidak juga jihad fii sabilillah? Dan beliau (Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa sallam) berkata: “Tidak juga jihad fii sabilillah, kecuali seseorang keluar dengan harta dan jiwanya, dan tidak kembali dari perkara tersebut sedikit pun.”

Jadi tunggu apalagi, mari kita manfaatkan moment yang belum tentu akan kita temui di tahun depan ini. Karna kita tidak tau, sampai kapan umur kita. Kalaupun tak dapat menjalani saum sunnah dari tanggal 1 hingga tanggal 9 dzulhijjah, maka kita disunnahkan untuk melaksanakan puasa di tanggal 9 dzulhijjahnya, dimana puasa saat itu dikenal dengan puasa arafah. Ayo persiapkan diri kita untuk menjalaninya. Semoga allah azza wa jalla memberikan kita kekuatan, kesehatan serta kesempatan untuk menjalankannya.

Kemudian, Telah kita ketahui bersama, bahwa Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam biasa membedakan jalan pada waktu menuju pelaksanaan sholat ‘Ied. Nah ada yang berpendapat , bahwa hal yang dilakukan Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam tersebut agar orang-orang yang menempuh kedua jalan berbeda tersebut dapat mengucapkan salam kepada orang yang tinggal disekitar kedua jalan tersebut. Kemudian ada juga yang berpendapat agar mereka mendapatkan keberkahan yang berada pada kedua jalan tersebut. Selain itu, Ada juga yang berpendapat, agar kaum muslimin dapat menunaikan keperluan mereka pada tiap-tiap jalan selain hal tersebut, kemudian ada juga yang berpendapat, yakni untuk memperlihatkan Syi’ar –syi’ar Islam. Dan seluruh hikmah yang ana sebutkan tadi semuanya adalah benar. Namun apabila sebabnya atau hikmahnya, tidak kita ketahui, bukan berarti lantas kita tak menjalankannya. Sudah sepatutnyalah bagi kita, untuk tetap mengikuti Sunnah Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam hingga akhir hayat kita. Wallahu ‘Allam

0 komentar: