Minggu, 27 September 2009

Meningkatkan Nilai Ibadah "Tingkatkan Keikhlasan & Perbaiki Niat"

Bismillah...

Alhamdulillah, Wahai saudaraku yang mencintai Sunnah. Sebagaimana yang ana sampaikan di Postingan al-awal fii Syawal, bahwa terkadang kita memang dihadapkan dengan berbagai macam amalan yang rasanya ingin semuanya kita kerjakan sebagai bentuk ketaatan kita kepada Allah Azza Wa jalla serta meneladani Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam. Namun ya… itulah, terkadang kesempatan , waktu dan fisik yang tidak memungkinkan kita untuk menuntaskan segala amal sholeh tersebut. Maka dalam kondisi yang demikian ini saudaraku, kita perlu mengetahui beberapa kaedah dalam beramal sholeh, agar apa saudaraku? Agar memudahkan bagi kita dalam memilih amalan yang memang lebih baik, berkualitas dan lebih dicintai oleh Allah Azza Wa jalla serta mengundang pahala yang lebih besar dibandingkan amalan lainnya.

Nah berikut ini ”Wallahu a’lam” ada beberapa hal yang bisa mempengaruhi peningkatan kualitas amalan ibadah.

Yang pertama –tama yakni TINGKATKAN KEIKHLASAN DAN PERBAIKI NIAT.

Jadi Saudaraku yang mencintai Sunnah. Ikhlas dalam amalan merupakan tonggak asasi dalam setiap amalan sholeh. Selain itu ,kita juga harus terus meningkatkan unsure Mutaba’ah (mengikuti) Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam dalam beribadah. Dua hal inilah wahai saudaraku sekalian...yang merupakan syarat diterimanya amalan seseorang. Di dalam Surah Al-Kahfi ayat 110 Allah Azza Wa jalla berfirman : “Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya".

Al-Hafidz Ibnu Katsir (semoga Allah Merahmatinya) : di dalam tafsirnya menyatakan bahwa orang yang mengharapkan pahala dan ganjaran-Nya hendaknya ia mengerjakan amalan yang sholeh yaitu amalan yang bertepatan dengan petunjuk syariat. Dan janganlah ia mempersekutukan seseorang pun dalam beribadah kepada Rabbnya yaitu amalan yang ditujukan untuk mendapatkan wajah Allah semata, tidak ada sekutu baginya.

Jadi Saudaraku Dua hal ini (ikhlas dan ittiba’) adalah dua syarat diterimanya amalan. Dimana amalan musti murni karena Allah , kemudian cocok dengan aturan dan tuntunan serta contoh dari Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam.

Selanjutnya, di dalam Fathul Baariy (syarah Shohih al-Bukhari) dan di dalam Shohih Muslim diriwayatkan, Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam bersabda : “ JIka salah seorang dari kalian telah memperindah Islamnya, maka setiap kebaikan yang diamalkannya akan dicatat baginya dengan sepuluh kali lipat sampai tujuh ratus lipat. Dan setiap kejelekan yang ia kerjakan semisalnya.” Terhadap hadits ini, di dalam jami’ul Ulumi Wal Hikam, Ibnu Rajab Rahimahullahu Ta’ala Anhu menjelaskan bahwa “Pelipatgandaan kebaikan dengan sepuluh kali lipat pasti terjadi. Sedangkan tambahan yang lebih dari itu tergantung pada kebaikan nilai Islam seseorang, dan keikhlasan niatnya serta urgensi dan keutamaan amalan tersebut. Wallahu Allam Bishowab…

Yang perlu di Ingat di Bulan Syawal

Alhamdulillah…. segala puji bagi Allah Azza wa jalla, kepada-Nya kita memberikan sanjungan , memohon pertolongan dan ampunan. Kepada-Nya lah Ikhwa fillah kita senantiasa berlindung dari kejahatan diri dan keburukan amal perbuatan kita. Semoga Allah Azza Wa jalla menyatukan kita semua untuk senantiasa mencintai-Nya dan mengikuti Sunnah Rasul-Nya.

Wahai saudaraku yang mencintai kebaikan. Menyegerakan QADHA’ puasa itu lebih baik dari menundanya, sebagimana keumuman dalil yang menunjukkan untuk segera mengerjakan amal kebaikan dan tidak menundanya. Sebagimana firman Allah di dalam al-Kitab Al-Majid , Al-Qur’an Surah Ali Imran ayat 133 yang artinya : “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu …”

Serta di surah yang lain, surah al-Mukminun ayat 61 yang artinya : “Mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya.

Namun, dalam pelaksanaan kewajiban qadha’ puasa, tidaklah harus secara berurutan atau berkesinambungan, hal ini dikarenakan adanya keeratan sifat Qadha’ dengan sifat pelaksanaan. Yang mana hal ini sesuai dengan firman Allah Azza Wa jalla di dalam Surah Al-Baqarah ayat 185 yang artinya : Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain”.

Dan senada dengan nash ilahi ini, al Imam al-Bukhari membawakan perkataan Ibnu ‘Abbas, dimana Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu Anhu berkata : “Tidak ada masalah untuk mengqadha’ puasa secara terpisah-pisah. Begitu juga sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu, (beliau) sebagaimana yang tertulis di dalam Irwaa-ul Ghaliil, ia berkata : “Jika mau, dia boleh mengqadha’ dengan bilangan ganjil.” Sedangkan dihadits yang diriwayatkan oleh al-baihaqi dan ad-Daraquthni melalui jalan ‘Abdurrahman bin Ibrahim dari al-‘Ala’ bin ‘Abdirrahman, dari ayahnya, dari Abu Hurairah secara marfu’ (yang disandarkan kepada Nabi Shalallahu 'Alaihi Wasallam) : “Barangsiapa mempunyai hutang puasa Ramadhan, maka hendaklah dia mengerjakan nya secara berurutan dan tidak memutus-mutuskannya.” Dan ternyata hadits ini derjatnya dhaoif. Sekali lagi hadits ini derajatnya Dhoif. Dimana ad-Daraquthni mengatakan dhoifnya ada pada ‘Abdurahman bin Ibrahim. Juga oleh al-Baihaqi dimana dikatakan (hadits ini) dinilai dhoif oleh Ibnu Ma’in, an-Nasa’I dan ad-Daraquthni dan untuk lebih jelasnya Ikhwa fillah dapat merujuk ke kitab Irwaa-ul Ghaliil tentang perincian ke dhoifan hadits ini oleh al-Alamah Syaikh Muhammad Nasiruddin al-Albani (semoga Allah merahmatinya). Dan tentunya ”berhati-hati lah dengan hadits dhoif”.

Selanjutnya, al-Imam Abu Dawud (semoga Allah merahmatinya) di dalam Masaa-ilnya, sebagaimana yang kami kutip dari Shifatu Shaumin nabi fii Ramadhaan, ia mengatakan : “Aku pernah mendengar Ahmad (maksudnya Imam Ahmad bin Hanbal) semoga Allah Merahmatinya, ditanya tentang Qadha’ puasa ramadhan , maka dia menjawab : “Jika mau, dia boleh melakukannya secara berurutan.

Jadi saudaraku yang menginginkan sebaik-baik tempat kembali yakni Jannah, kita diperbolehkan mengqadha’ puasa dengan pemisahan hari-hari mengqadha’, namun pembolehan pemisahan mengqadha’ puasa TIDAK berarti adanya Larangan mengqadha’ puasa secara berurutan. Dan bagi siapa yang ingin melakukannya secara berurutan diperbolehkan. Dan tentunya selain Qadha’ Puasa. Masih ada satu amalan di Bulan Syawal, yang hanya ada dibulan Syawal ”Jangan sampai terlewatkan” yakni “Puasa 6 hari Bulan Syawal”. Dimana keutamaannya sangatlah luar biasa sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, al Imam Abu Dawud, al-Imam at-Tirmidzi, al-Imam Ibnu majah, Imam Ahmad, dan yang lainnya (semoga Allah merahmati mereka), dari Umar bin Tsabit bin al-Harits, dari Abu Ayyub al-Anshari Radhiyallahu Anhu bahwa Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam bersabda : “Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan, kemudian ia mengiringinya pula enam hari bulan Syawal, ia seperti puasa satu tahun.”

Selain itu di dalam hadits yang lain yang diriwayatkan oleh al-Imam Ibnu Majah, Imam Ahmad, al-Imam al-baihaqi, ad-Darimi, serta Ibnu Hibban (Semoga Allah merahmati Mereka) dari Yahya bin al-Harits dari Abu Asmad ar-Rahabi, dari Tsauban maula Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam, dari Nabi Shalallahu 'Alaihi Wasallam. Beliau bersabda : “Barang siapa yang berpuasa enam hari setelah berbuka (‘Iedul Fithri), ia adalah pelengkap setahun. Bagi siapa yang melakukan satu kebaikan, maka baginya sepuluh kali lipat.”

Mari kita bersegera dengan kebaikan, mari menyegerakan kebaikan.... Insya Allah !!

Rabu, 23 September 2009

al-awal fii Syawal

Bismillah…

Wahai saudaraku yang dirahmati Allah, segala puji bagi Allah Azza wajalla, kepada-Nya kita memberikan sanjungan , memohon pertolongan dan ampunan. Kepada-Nya lah wahai saudaraku se-Iman se-Aqidah kita senantiasa berlindung dari kejahatan diri dan keburukan amal perbuatan kita. Semoga Allah Azza Wa jalla menyatukan kita semua untuk senantiasa mencintai-Nya dan mengikuti Sunnah Rasul-Nya.

Ramadhan telah berlalu. Pelipat gandaan pahala, kemudahan serta kebaikan-kebaikan dari Allah di Bulan Ramadhan pergi seiring dengan kepergian sang tamu mulia Bulan Ramadhan. Nuansa Ramadhan yang istimewa pun lewat. Namun, kita kaum muslimin haruslah tetap berusaha dan berlomba untuk menggapai rahmat dan hidayah Allah Subhanahu Wata 'alla melalui peningkatan ibadah dan do’a kepada-Nya di bulan-bulan lainnya. Hanya saja terkadang kita dihadapkan pada sekian banyak amalan, yang ingin kita kerjakan semuanya. Namun kadang-kadang, kesempatan, waktu dan fisik, tidak memungkinkan kita untuk menuntaskan segala amalan sholeh yang kita inginkan, apalagi bagi yang sudah bekeluarga .

Wahai saudaraku… sebelumnya ana mau mengingatkan kembali kepada diri ana pribadi dan saudaraku sekalian, jika pada Bulan Ramadhan kemarin, ada yang melakukan hal-hal yang membatalkan puasa atau karena sesuatu dan lain hal sehingga tidak berpuasa, maka kita diwajibkan untuk mengqadha’ puasa Ramadhan yang kita tinggalkan tersebut. Dan men-Qadha’ puasa tersebut tidaklah harus dilakukan seketika. Jadi Kewajiban meng-Qadha’ dalam hal ini bersifat Fleksibel dan penuh keleluasaan. Hal ini didasarkan pada apa yang diriwayatkan oleh Ummul Mukminin ‘Aisyah Radiallahu Anha : “Aku pernah mempunyai hutang puasa Ramadhan, lalu aku tidak bisa menggantinya kecuali pada bulan Sya’ban.” Hadits ini diriwayatkan al Bukhari dan Muslim. Dan di dalam kitab fathul Baari (Syarah Shohih Bukhari), al Hafizh ibnu Hajar al-Asqalani (semoga Allah merahmatinya) mengatakan : “Dan di dalam hadits (“Aku pernah mempunyai hutang puasa Ramadhan, lalu aku tidak bisa menggantinya kecuali pada bulan Sya’ban.”) terkandung dalil yang menunjukkan di bolehkannya penundaan Qadha’ puasa Ramadhan secara mutlak, baik karena suatu alasan maupun tidak adanya alasan.”

Namun Ikhwa fillah sebagaimana kita ketahui bersama BAHWA “Menyegerakan QADHA’ puasa itu lebih baik dari menundanya, sebagimana keumumman dalil yang menunjukkan untuk segera mengerjakan amal kebaikan dan tidak menundanya. Sebagimana al-Kitab Al-Majid , Al-Qur’an Surah Ali Imaran ayat 133

“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu …”

Dan di surah yang lain, surah al-Mukminun ayat 61 :

“Mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya.

Wallahu a’lam bish-shawab.

Selasa, 15 September 2009

Seputar Ramadhan "Doa Lailatul Qadar"

Wahai saudaraku yang dirahmati Allah, memasuki sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan ini , bagi yang ingin menggapai Lailatul Qadar. Maka kami sampaikan do’a dari ‘Aisyah Radiallahu Anha dengan sanad shohih, dimana ia bercerita. “Pernah kutanyakan : “Wahai Rasulullah , bagaimana pendapatmu jika aku mendaptakan Lailatul Qadar, apa yang mesti aku ucapkan ? Beliau (Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam) bersabda : bacalah :


اَللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ,


تُحِبُّ الْعَفْوَ, فَاعْفُ عَنِّيْ


“Ya , Allah, sesungguhnya Engkau Maha pemaaf, yang mencintai maaf. Karena itu berilah maaf kepadaku.” Hadits riwayat at-Tirmidzi dan Ibnu majah.

Seputar Ramadhan "Kerancuan Lailatul Qadar"

Alhamdulillah…

segala puji bagi Allah Azza wajalla, kepada-Nya kita memeberikan sanjungan , memohon pertolongan dan ampunan. Kepada-Nya lah juga kita senantiasa berlindung dari kejahatan diri dan keburukan amal perbuatan kita. Semoga Allah Azza Wa jalla menyatukan kita semua untuk senantiasa mencintai-Nya dan mengikuti Sunnah Rasul-Nya.

Alkisah… ketika ana dan beberapa teman sedang berbincang – bincang mengenai amaliah Ramadhan, tiba-tiba ada seorang teman yang bercerita, “Dulu ketika ia masih kuliah, saat KKN di suatu desa terpencil di Kalimantan Barat, yang bertepatan dengan bulan Ramadhan. Dimana pada suatu malam , ketika memasuki beberapa malam terakhir di Bulan Ramadhan, ia (sebutlah namanya siFulan) mendapati ada orang tua berpakaian putih-putih minta izin agar dipersilahkan masuk kerumah tempat si Fulan dan teman-temannya menginap. Saat itu suasana sunyi senyap, teman-temannya yang lain tertidur pulas hanya si Fulan yang merasakan kehadiran orang tua berbaju putih tersebut. Namun rasa takutnya lebih besar dari pada keinginannya yang lain. Menurutnya, orang tua berpakaian putih tersebut terus-menerus meminta izin kepadanya untuk masuk kerumahnya, namun isi Fulan tak menghiraukannya. Ia asik dengan ketakutannya. Akhirnya malam tersebut ia lewati dengan ketakutan dan rasa penasaran. Namun tak lama kemudian. Si Fulan menceritakan apa yang dialaminya kepada beberapa rekannya serta sanak keluarga yang dianggapnya mengerti tentang agama. Dan sungguh diluar dugaannya , ketika ia menceritakan kejadian tersebut, yang keluar dari lisan orang-orang yang diceritakannya adalah kata-kata “Bodoh !” Kenapa kamu biarkan orang tua tersebut berada di luar rumah, itu adalah Lailatul Qadar ! Aduh sayang sekali ! Harusnya kamu bukakan pintu untuknya, dan mintalah apa saja.” Lailatul Qadar kok disia-siakan ! Dan ternyata perkataan beberapa orang yang menganggap apa yang dialaminya itu adalah lailatul Qadar tertanam dalam dilubuk hatinya, sehingga saat ia menceritakan peristiwa tersebut kepada kami, masih terlihat rasa penyesalan, kenapa ia begitu bodohnya membiarkan Lailatul Qadar lewat begitu saja, padahal kalau ia sedikit saja berani melawan rasa takutnya tentunya ia telah mendapatkan Lailatul Qadar, yang tak semua orang bisa mendapatkannya atau menjumpainya.

Sungguh saudaraku se-Iman , se-Aqidah apa yang dialami oleh teman ku hanyalah salah satu dari banyaknya dugaan-dugaan yang menyimpang tentang Lailatul Qadar, masih banyak anggapan dan dugaan –dugaan lainnya mengenai Lailatul Qadar, sebagian orang berkeyakinan bahwa Lailatul Qadar itu biasanya ditandai dengan bintang jatuh, atau rebahnya pohon-pohon, juga ada yang meyakini, Lailatul Qadar akan mendatangi orang-orang yang telah ditakdirkan untuk mendapatkannya dengan menyerupai manusia yang berpakaian serba putih dan wangi, dan banyak lagi persepsi-persepsi lainnya mengenai Lailatul Qadar. Lantas bagaimana kah lailatul Qadar yang sebenarnya di dalam Islam ? Apakah benar dugaan-dugaan yang berkembang dimasyarakat mengenai Lailatul Qadar seperti yang diceritakan teman ana tersebut ?

Wahai saudaraku se-Iman se- Aqidah, Semoga Allah Azza Wa jalla selalu memberikan berkah dan petunjuk kepada kita untuk senantiasa taat kepada-Nya.

Jadi sebelumnya nih , ana ingatkan sekali lagi, , berusahalah untuk bangun malam di sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan ini dan mari kita hidupkan malam-malam tersebut dengan ibadah. Untuk itu ajaklah sanak keluarga kita untuk memperbanyak ketaatan pada malam-malam tersebut.

Dan di dalam sebuah hadits, yang diriwayatkan oleh al-Imam Bukhari dan Imam Muslim (semoga Allah Merahmatinya), Dari Ummul Mukminin ‘Aisyah Radhiyallahu Anhu, dia bercerita : “Jika memasuki sepuluh malam terakhir, Nabi Shalallahu 'Alaihi Wasallam memperkuat ikatan kainnya sambil menghidupkan malam itu serta membangunkan keluarganya.” Dan masih dari Umul Mukminin ‘Aisyah Radhiyallahu Anhu, bahwa Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam berusaha keras pada sepuluh malam terakhir, yang tidak beliau lakukan pada bulan-bulan lainnya.

Toyib saudaraku, untuk menjawab kerancuan apa dan bagaimana lailatul Qadar, berikut ana sampaikan tanda-tanda Lailatul Qadar sebagaimana yang diberitakan oleh Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam kepada kita melalui hadits-haditsnya yakni Lailatul Qadar itu ditandai dengan matahari yang terbit tanpa sinar menyinarinya sebagai mana hadits dari Ubay Radhiyallahu Anhu, dia berkata : Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam bersabda : Pagi (setelah) malam Lailatul Qadar, matahari terbit tanpa sinar menyinarinya seakan-akan ia bejana sehingga naik.” hadits ini Ikhwa fillah diriwayatkan oleh Imam Muslim (semoga Allah merahmatinya). Kemudian ada juga hadits dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu Anhu , dia berkata : Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam bersabda : “Lailatul Qadar merupakan malam penuh kelembutan, cerah, tidakpanas dan tidakpula dingin, dimana matahari pada pagi harinya tampak lemah kemerahan.” Rawahu ath –Thayalisi, Ibnu Khuzaimah dan al-bazzar dengansanad hasan. Mari Ikhwa fillah, kapan lagi kita menghidupakan malam-malam ini mumpung hayat masih ditanggung badan , artinya ketika umur masih ada kapan lagi ?

Jadi saudaraku, telah jelas-dengan sejelas-jelasnya bagaimana Lailatul Qadar itu hadir ditengah-tengah kaum muslimin. Dan tentunya hadits-hadits ini membantah bahwa lailatul Qadar itu ditandai dengan datangnya sesorang yang berbaju putih bersih wangi dll. Jadi tidak ada itu yang namanya lailatul qadar datang dengan menyamar sebagai seseorang yang tua berbaju putih dll. Sungguh wahai saudaraku ! Jangan pernah melakukan pembenaran dan percaya akan cerita seperti ini. Adapun dugaan atau persepsi seperti ini adalah suatu perkara yang salah lagi bathil ! Wallahu a’lam……..