بِسْمِ الّلهِ الرَّ حْمنِ الرَّ حِيمِ
Wahai saudaraku yang selalu mengharapkan rahmat dan ridho Allah Azza wa jalla. Sudah sepatutnyalah kita memuji Allah Tabaraka wa Ta'ala atas apa yang telah Allah Tabaraka wa Ta’ala takdirkan, berupa Islam, Iman dan tentunya hidayah berada diatas manhaj yang haq, Ahlus Sunnah wal jama’ahToyib saudaraku se-Iman, se-aqidah, Walaupun kita berada dalam batas geografi yang berbeda, dan tempat yang saling berjauhan, namun kemuliaan agama ini, kesempurnaan dan kebaikannya, tidaklah memecah-belah antara kita. Dan ana bersyukur kepada Allah Rabbil 'Alamin atas nikmat ini. Betapa berharganya kenikmatan ini.
Allah Azza wa Jalla berfirman di dalam Surah Al-Maidah ayat 2 yang artinya : “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa”. Selanjutnya ana mengingatkan diri ana , serta antum sekalian dimanapun berada, untuk selalu bersyukur kepada Allah Azza wa Jalla dimanapun berada dan dalam kondisi apapun, baik senang maupun susah. Didalam Surah Ibrahim ayat 7 Allah Azza wa Jalla berfirman yang artinya : “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu” dan sungguh, bahwa nikmat Allah itu amatlah banyak. Dan kita tak akan mampu menghitung-hitungnya. Sebagaimana Qur’an surah An-Nahl ayat 18 “Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya”
Toyib !, Walaupun kita saat ini masih berada di Bulan Dzulqo’dah, namun tak ada salahya kita mengetahui terlebih dahulu, mengenai amalan-amalan, serta ibadah-ibadah yang telah masyhur untuk dikerjakan, baik hal tersebut terhukumi wajib maupun sunnah yang terdapat di bulan Dzulhijjah. Kita ketahui bersama bahwa pada bulan dzulhijjah ini banyak amalan-amalan yang disunnahkan untuk kita kerjakan. Maka dari itu pada postingan kali ini, ana akan membahas mengenai amalan-amalan yang sunnah tersebut serta bagaimana mendulang pahalanya, yang ana kutipkan dari berbagai sumber.
Wahai saudaraku yang mencintai Sunnah, Diantara nikmat yang Allah Azza Wajalla berikan kepada hamba-hamba-Nya, yakni dengan dijadikannya segala sesuatu telah teratur dan tertata rapi. Salah satunya yang teratur dan tertata rapi tersebut adalah waktu. Dimana Allah Azza Wajalla, telah menjadikan dalam 1 tahun itu sebanyak 12 bulan, dan 4 bulan di antaranya adalah bulan Harom. Yang mana, Alloh tabaraka wa ta’ala, jadikan waktu-waktu tersebut sebagai taqdir bagi hamba-Nya untuk dimakmurkan dengan keta’atan kepada-Nya dan bersyukur kepada Allah atas karunia yang Allah Azza wa jalla turunkan. Hal ini sebagaimana Al-Qur’an Surah At Taubah ayat 36 : “Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus…”
Dan patut kita ketahui bersama bahwa ke-4 bulan harom tersebut , sebagaimana penjelasan Rasululloh Shallallahu ‘Alaihi Wa Salam adalah Bulan Muharrom, Bulan Rajab, bulan Dzulqo’dah dan Bulan Dzulhijjah. Yang mana, disebutkan di dalam hadits dari Abi Bakroh yang diriwayatkan oleh Al-Imam al-Bukhori Rahimahullahu Ta’ala anhu, bahwa Rasululloh Shallallahu ‘Alaihi Wa Salam berkhutbah dalam hajjatu wada yakni saat haji wada’ , “Sesungguhnya zaman telah beredar seperti keadaan pada hari Alloh menciptakan langit dan bumi. 1 tahun adalah 12 bulan, diantaranya adalah 4 bulan haram. 3 bulan berturut-turut yaitu Dzulqo’dah, Dzulhijjah, Muharrom dan Rojab yang terletak di antara 2 jumadil (awal dan akhir) dan Sya’ban.
Jadi, dari apa yang disampaikan Rasulullah didalam hadits ini, kita ketahui bahwa bulan sekarang ini yakni Bulan Dzulqo’dah, dimana kita masih diberi nikmat hidup oleh Allah azza wa jalla merupakan salah satu dari Bulan harom. Dan tak lama lagi kita akan songsong bulan harom berikutnya yakni Dzulhijjah, yang di dalamnya terdapat banyak sekali hukum-hukum, ketaatan, dan ibadah yang dapat kita lakukan pada bulan tersebut. Sehingga untuk menyambut bulan tersebut maka sudah selayaknya kita mengetahui dan mempelajari perkara-perkara apa saja yang dapat kita amalkan pada bulan tersebut.
Dan di antara amalan-amalan yang dapat kita lakukan di bulan Dzulhijjah ini, yakni Berpuasa pada 10 hari yang pertama di Bulan dzulhijjah, jadi kita disunnahkan untuk berpuasa mulai tanggal 1 Dzulhijjah hingga sampai tanggal 9 Dzulhijjah. Amalan ini atau ibadah yang agung ini, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Al Imam Al-Bukhori Rahimahullah dari Sahabat yang mulia, Abdulloh bin Abbas radliyallohu ‘anhu, (dimana ia berkata),“Tidak ada amal pada hari-hari yang lebih afdhol dari amal pada hari-hari ini (10 hari pertama bulan Dzulhijjah), mereka mengatakan ,”dan tidak juga jihad fii sabilillah? Dan beliau berkata: tidak juga jihad fii sabilillah, kecuali seseorang keluar dengan harta dan jiwanya, dan tidak kembali dari perkara tersebut sedikit pun.”
Al Hafidh Ibnu Hajar al-Asqolani Rahimahullah berkata mengenai hadits ini, “Dan dijadikan dalil dengannya, atas keutamaan puasa pada 10 hari pertama bulan Dzulhijjah, dikarenakan kedudukan puasa tersebut di dalam amal.”
Lantas saudaraku se-Iman se-Aqidah, muncul sebuah permasalah, sebagaimana hadits yang dikeluarkan oleh Imam Muslim dari hadits Ummul mukminin ‘Aisyah Radiyallahu Anha , dimana beliau berkata: “Tidaklah aku melihat Rasululloh Shallallohu 'Alaihi Wassalam berpuasa pada 10 hari pertama di bulan Dzulhijjah sedikitpun”. Akan tetapi, berkata al –Imam an- Nawawi Rahimahullah bahwa perkataan ‘Aisyah ditakwilkan, bahwa beliau tidak berpuasa pada hari tersebut dikarenakan sakit atau safar, atau karna ada sebab lainnya, bisa, juga bahwa Ummul mukminin‘Aisyah tidak melihat Rasulullah Shalalahu ‘alaihi wa sallam puasa pada saat itu, dan ibadah tersebut tidak mengharuskan dari hal tersebut (yakni perkataan ‘Aisyah radliyallohu ‘anha tidak melihat Rasululloh Shallallohu 'Alaihi Wassalam berpuasa) sehingga tidak adanya puasa beliau pada waktu tersebut. Kemudian Berkata Al Hafidh ; “Dan kemungkinannya bahwa hal tersebut dikarenakan beliau meninggalkan amal tersebut dalam keadaan beliau suka untuk mengamalkannya akan tetapi khawatir akan diwajibkan atas umatnya sebagaimana tersebut dalam Shohihain dari hadits ‘Aisyah Radiallahu Anha . Wallahu ‘Allam
Selanjutnya saudaraku, kita juga disunnahkan untuk Berpuasa pada hari Arofah (yakni tanggal 9 Dzulhijjah)
Hal ini sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Muslim (semoga Allah merahmatinya) dari Abu Qotadah Al Anshory radliyallohu ‘anhu bahwa Rasululloh Shallallohu 'Alaihi Wassalam ditanya tentang puasa hari Arofah, maka beliau berkata: “Menghapuskan (dosa-dosa kecil) tahun yang lalu dan tahun yang akan datang”. Dan ditanya tentang puasa Asyuro (10 Muharrom), beliau berkata menghapuskan (dosa-dosa kecil) tahun yang lalu. Wallahu ‘Allam. Jadi ingat, jika kita ditakdirkan Allah azza wa untuk mendapati hari-hari tersebut , maka berusahalah untuk berpuasa. Semoga Allah azza wa jalla memanjangkan umur kita, dan memberikan kita kekuatan, kemudahan, serta kesempatan untuk menjalankan ibadah sunnah tersebut.
Wahai saudaraku yang selalu mengharapkan rahmat dan ridho Allah. Adapun Shaum atau berpuasa pada hari Arafah ini disunnahkan bagi mereka-mereka yang diluar Arafah, artinya amalan ini hanya berlaku bagi kaum muslimin yang tidak sedang wukuf di Arofah dengan kata lain diperuntukkan bagi yang tidak melaksankan ibadah manasik haji. Sementara kaum muslimin yang melakukan wukuf di Arofah tidak disunnahkan untuk berpuasa pada hari itu, dikarenakan beliau Shallallohu 'Alaihi Wassalam tidak berpuasa pada hari tersebut. Bahkan diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim Rahimahullah, dari Maimunah bintu Al Harits, bahwa manusia berselisih di sisinya pada hari Arofah berkenaan dengan puasanya Rasululloh Shallallohu 'Alaihi Wassalam (pada hari tersebut). Sebagian mereka berkata bahwa beliau berpuasa, dan sebagian lain menyatakan bahwa beliau tidak berpuasa. Sedangkan ”Maimunah mengantar kepada Rasululloh Shallallohu 'Alaihi Wassalam segelas susu, dan beliau berada di atas tunggangannya di Arofah, lalu beliaupun minum (susu tersebut). Ini adalah pendapat jumhur para ‘ulama dan inilah yang dirojihkan oleh Syaikh Yahya bin Ali Al Hajury Hafidzahullah. Bahkan ada Sebagian ulama yang mengharamkannya bagi kaum muslimin yang wukuf diarofah dan berpuasa pada saat itu, seperti halnya Syaikh Yahya bin Said Al Anshori dan dirojihkan oleh Al Imam Shon’ani Rahimahullah , berdasarkan dengan hadits dari Abu Hurairoh radiyallahu anhu , yang di riwayatkan oleh Imam Ahmad, Abu Dawud, An Nasa’i dan Ibnu Majah: dimana dikatakan “Rasululloh melarang puasa arafah di arafah”, Akan tetapi ternyata hadits tersebut lemah alias Dhoif, di mana didalam sanadnya terdapat seorang rawi yang bernama Mahdi bin Harb Al Hajari, dia mana yang namanya mahdi bin harb ini majhul atau tidak dikenal. Selain itu, terdapat perbedaan pandangan mengenai hikmah tidak disunnahkannya puasa Arofah bagi yang wukuf di Arofah, dimana Yang pertama, Sebagian menyatakan untuk memperkuat fisik dalam berdo’a kepada Alloh, dan yang kedua seperti Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah mengatakan, bahwa tidak disunnahkan berpuasa bagi yang wukuf di Arofah dikarenakan hari tersebut, Ied-nya bagi penduduk Arofah. Maka tidak disunnahkan berpuasa bagi mereka. Wallohu a’lam bish showab.
Adapun Amalan sunnah lainnya yang patut kita ketahui untuk kita amalkan pada bulan dzulhijjah yakni Udhhiyyah atau yang kita kenal dengan berqurban . Dan yang namanya Berkurban atau Udh-hiyyah disyari’atkan oleh Alloh Subhanahu Wa Ta’ala kepada hamba-hambaNya, sebagai bukti syukur seorang hamba kepada Rabbnya, setelah Allah azza wa jalla memberikan nikmat atau anugrah yang banyak kepada hamba-hamba-Nya. Alloh berfirman dalam Surah Al Kautsar ayat 1-2 “Sesungguhnya kami Telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka Dirikanlah shalat Karena Tuhanmu; dan berkorbanlah.”
Berkata Syaikh Abdurrahman As Sa’dy Rahimahullah dalam tafsir beliau “Taisirul-Karimir-Rahman” mengenai ayat ini “Alloh mengkhususkan dua ibadah ini dengan penyebutan, dikarenakan keduanya merupakan ibadah yang paling utama, dan merupakan kedekatan yang paling mulia. Dan dikarenakan pada sholat terkandung ketundukan pada hati dan anggota tubuh terhadap Alloh. Sementara pada berqurban, merupakan kedekatan kepada Alloh dengan apa yang paling afdhol, yang dimiliki seorang hamba dari hewan qurban. Juga padanya terdapat pengeluaran harta, yang jiwa ini diberikan fithroh atau kecenderungan, untuk mencintainya, dan bakhil terhadapnya.
Adapun Hukum Udhhiyyah atau hukum berkurban, oleh beberapa ulama terbagi menjadi beberapa pendapat dimana yang pertama
Jumhur ulama berpendapat bahwa hukumnya sunnah muakkadah, jika meninggalkannya dengan tanpa udzur tidak berdosa, dan tidak diwajibkan atasnya qodho. Diantara para shahabat yang berpendapat dengan pendapat ini adalah Abu Bakar Ash Shiddiq, Umar bin Khottob, Bilal, serta Abdullah bin Mas’ud Ridwanallahu ‘Alaihim Ajemain. Juga para ulama seperti Said Ibnul Musayyib, Al Qomah, Atho, Malik, Ahmad, dll. (semoga Allah merahmatinya)
Adapun pendapat ulama yang kedua seperti Abu Hanifah, Laits, Rabi’ah, dan Al Auzai’y (semoga Allah merahmatinya) berpendapat Udhhiyyah wajib bagi yang memiliki kemudahan. Ini adalah pendapat sebagian madzhab Malikiyyah. Mereka berdalilkan dengan hadits riwayat Ibnu Majah dan Tirmidzi dan dishohihkan olehnya, dari Mikhnaf bin Sulaim, “Atas setiap ahlu bait terdapat udhhiyyah”. Juga sebelumnya mereka berdalilkan dengan ayat yang kita sebutkan tadi (al-kautsar ayat 1 dan 2). Selain itu Juga berdalilkan dengan hadits Abu Hurairoh Radhiyallahu Anhu yang diriwayat oleh Imam Ahmad, al-imam Ibnu Majah dan lain-lain (semoga Allah merahmatinya), “Barang siapa yang memiliki kelapangan dan tidak berqurban maka jangan mendekati mushola kami”. Hadits ini Dishahihkan Syaikh Al Albani (semoga Allah merahmatinya) dalam shohihul Jami'.
Namun yang rojih artinya yang kuat Ikhwa fillah – Wallohu a'lam – adalah pendapat jumhur ulama yang menyatakan sunnah muakaddah, dengan melihat hadits Ummu Salamah radliyallohu ‘anha yang diriwayatkan oleh Imam Muslim Rahimahullah , bahwa Rasululloh Shallallohu 'Alaihi Wassalam bersabda, “jika telah masuk 10 hari (bulan Dzulhijjah) dan salah seorang dari kalian ingin berqurban, maka janganlah menyentuh (mencabut/memotong) dari rambutnya dan kukunya sedikit pun”
Syahidnya, bahwa beliau (Rasululloh Shallallohu 'Alaihi Wassalam) berkata idzaa arooda, maka ini menunjukkan bahwa berqurban tidak wajib hukumnya, karena sesuatu yang wajib terdapat penekanan atau ilzam padanya. Jadi tidak semata-mata irodah atau keinginan, dan pendapat inilah yang dirojihkan oleh Syaikhuna Yahya bin Ali Al Hajuriy Hafidzahullah. Bahkan tidak dinukilkan dari salah seorang shahabatpun yang mewajibkannya, seperti yang disebutkan oleh Ibnu Hazm Rahimahullah, kemudian diriwayatkan juga dari Ibnu Umar radliyallohu ‘anhu bahwa beliau berkata, “bahwa qurban adalah sunnah yang ma’ruf (diketahui)”. Wallahu ‘Allam.
Wahai saudaraku... Allah Azza wa Jalla berfirman : “Maka Dirikanlah shalat Karena Tuhanmu; dan berkorbanlah” Maka, Ayat ini tidaklah menunjukkan wajibnya udhhiyyah atau berkurban, tetapi ayat ini menunjukkan bahwa berqurban waktunya setelah didirikan sholat, maka riwayat tersebut menentukan terhadap waktunya bukan menunjukkan wajibnya berqurban. Demikian dijelaskan oleh Syaikh as-Ashon’ani Rahimahullah di dalam kitab Subulussalam syarah Bulughul Marom
Sementara itu hadits dari Mikhaf bin Sulaim yang dijadikan salah satu sandaran Wajibnya berkurban, di dalam sanadnya terdapat seorang bernama Amir Abu Romlah. Dimana Berkata Al Khottoby Rahimahullah, mengenai Amir Abu Romlah, bahwa Amir abu Romlah majhul atau tidak dikenal. Wallohu a’lam bish showab. Untuk lebih jelasnya antum bisa merujuk kekitab Syarah shohiih Muslim atau kitab Subulussalam syarah bulughul marom.
Dan perlu kita camkan, Berkata Syaikh Yahya Hafidzahullah, meskipun hukum yang rojih dari berkurban adalah sunnah muakkadah, namun tidak sepantasnya bagi mereka yang mampu, untuk meninggalkan sunnah tersebut.
Adapun Awal Waktu Penyembelihan Qurban Yang rojih -wallohu a’lam - adalah pendapat yang menyatakan bolehnya menyembelih hewan qurban ketika selesai sholat dan khutbahnya imam. Sesuai dengan zhahir hadits Jundub bin Sufyan Al Bajaly yang diriwayatkan oleh Al Imam al-Bukhari dan al Imam Muslim (semoga Allah merahmatinya), “Barang siapa menyembelih sebelum sholat, maka hendaknya dia menyembelih yang lain sebagai penggantinya” dalam lafadz lain: dari Al Bara bin ‘Azib yang juga diriwayat Al Bukhari dan Muslim bahwa “Barang siapa yang menyembelih sebelum shalat maka sesungguhnya dia menyembelih untuk dirinya, dan barang siapa yang menyembelih setelah shalat maka telah sempurna qurbannya dan mencocoki sunnahnya kaum muslimin”. Wallahu ‘Allam bishowab. Semoga bermanfaat.
0 komentar:
Posting Komentar