Rabu, 08 Desember 2010

Keagungan Muharram

بِسْمِ الّلهِ الرَّ حْمنِ الرَّ حِيمِ

Wahai saudaraku yang mencintai Sunnah, semoga Allah Azza wa Jalla selalu melimpahkan Rahmat-Nya pada kita semua. Adalah sudah menjadi kewajiban kita, yakni selaku seorang Muslim, untuk selalu mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu Wata 'ala disetiap tempat, dan disetiap keadaan. Terutama sekali nih, diwaktu-waktu yang Faadhil atau Utama. Sebab, pada saat yang utama itulah, pahala dan ganjaran amalan ketaatan kita akan lebih besar dan berlipat ganda.

Nah sekarang ini, kita sedang berada disalah satu waktu yang Faadhil. Waktu yang utama. Dimana Allah Azza wa Jalla meninggikan kedudukan bulan Muharam, dan menjadikannya salah satu dari empat bulan Haram, atau bulan yang suci.

Untuk itulah wahai saudaraku se-Iman se-Aqidah, kita selaku seorang muslim, tertuntut untuk mengagungkannya, dan mengisi bulan Muharam ini dengan amalan-amalan yang telah diarahkan, dan dicontohkan Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam . Dan ingat ! jangan menyikapi bulan ini dengan dingin, tanpa upaya, atau malah di bulan Muharam ini, kita tak mampu mengendalikan diri untuk berbuat pelanggaran-pelanggaran. Naudzubillahi mindzalik.

Semoga, di Bulan Muharam ini kita selalu tergugah, dan selalu memperoleh taufiq dari Allah Azza wa Jalla untuk menjalani salah satu bulan Haram ini, dengan amal ketaatan, sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam dan Para Sahabat Ridwanallahu 'Alaihim Jamian.

Jadi, kita selaku seorang muslim, sudah barang tentu, harus selalu berada di dalam ketaqwaan kepada Allah Azza wa Jalla. Selain itu, kita haruslah selalu memperhatikan perjalanan hidup kita , gaya hidup kita, life style kita, serta pergantian siang dan malam. Karna pada hakikatnya, life style kita, gaya hidup kita, serta perjalan hidup kita, merupakan perjalanan untuk menempuh jalan ke akhirat. Dimana setiap ada hari yang berlalu, setiap ada waktu yang lewat, maka hal tersebut berarti kita semangkin jauh dari dunia kita, semakin jauh dari kehidupan kita, dan tentunya kita semakin dekat dengan kematian, semangkin dekat dengan alam kubur, dan tentunya semakin dekat dengan akhirat kita.

Maka dari itu wahai saudaraku yang mencintai Sunnah, berbahagialah orang-orang yang selalu bisa mengisi waktunya , bisa mengisi hari-harinya, dengan sesuatu yang bisa mendekatkan dirinya kepada Allah Azza wa Jalla. Berbahagialah wahai saudaraku, orang yang mampu menyibukkan dirinya dengan ketaatan kepada Allah Azza wa Jalla, dan menghindari diri dari kemaksiatan. Dan tentunya, berbahagialah orang-orang yang bisa mengambil pelajaran, dari perubahan berbagai masalah dan kondisi, dari hari-hari dan waktu-waktu yang dilaluinya. Selain itu, berbahagialah orang-orang yang meyakini, adanya hikmah-hikmah Allah Subhanahu Wata 'ala yang agung, dan rahasia-rahasia-Nya, dengan melihat kepada perubahan berbagai hal dan kondisi dilingkungan kita.

Dan...........Adakah diri kita termasuk kedalam orang-orang yang berbahagia ini ?. Mari saudaraku se-Iman se-Aqidah, kita jadikan hidup kita, perjalan hidup kita, life style kita, dengan menjadi bagian dari orang-orang yang berbahagia ini. Allah Azza wa Jalla telah mengingatkan kita agar kita mampu untuk selalu memperhatikan perjalanan kehidupan kita. Sebagaimana Qur’an Surah An-Nur ayat 44 (yang artinya) “Allah mempergantikan malam dan siang. Sesungguhnya pada yang demikian itu, terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai penglihatan.’

Kemudian kita ketahui bersama, bahwa dimasyarakat kita ada pemikiran “Ini Bulan Muharram !, jangan mengadakan hajatan pada bulan ini, nanti bisa sial.” Nah begitulah kata sebagian orang di negeri kita ini. Jadi, ketika hendak mengadakan hajatan, maka mereka memilih hari atau bulan yang bukan bulan Muharram, mereka lantas memilih hari atau yang dianggap sebagai hari atau bulan baik yang bisa mendatangkan keselamatan atau barakah. Mereka menghindari hari atau bulan yang dianggap sebagai hari-hari buruk, yang bisa mendatangkan kesialan atau bencana. Seperti bulan Muharram ini, atau yang dikenal dengan bulan Suro, bulan yang sudah memasyarakat sebagai bulan pantangan untuk keperluan hajatan. Bahkan kebanyakan dari mereka meyakininya, bahwa hal ini sebagai prinsip dari agama Islam.

Lantas ! Apakah memang benar hal ini disyariatkan atau justru dilarang oleh agama?

Wahai saudaraku yang mencintai Sunnah, kita haruslah tawadhu’ untuk senantiasa menerima kebenaran yang datang dari Al Qur’an dan As Sunnah, sebagaimana yang telah dipahami oleh para sahabat Rasulullah ?.

Ketahuilah, orang yang beranggapan bahwa bulan muharram atau bulan suro adalah bulan yang dilarang didalamnya untuk melakukan hajatan, mereka itu kebanyakan hanya sebatas ikut-ikutan, atau mengekor tradisi yang telah biasa berjalan di suatu tempat. Ketika kita tanyakan kepada mereka, “Mengapa anda berkeyakinan seperti ini ?” Niscaya mereka akan menjawab bahwa ini adalah keyakinan para pendahulu atau sesepuh yang terus menerus diwariskan kepada generasi setelahnya. Sehingga tidak jarang kita dapati generasi muda muslim nurut saja dengan “apa kata orang tua”, demikianlah kenyataannya. Dimana, dalil “apa kata orang tua”, tentunya bukanlah jawaban ilmiah yang pantas diucapkan dari seorang muslim yang mencari kebenaran. Apalagi permasalahan ini menyangkut baik dan buruknya aqidah seseorang. Maka sudah barang tentu, permasahan ini harus didudukkan dengan timbangan Al Qur’an dan As Sunnah. Benarkah hal tersebut atau justru hal tersebut dilarang oleh agama?

Untuk itu ketahuilah wahai saudaraku, bahwa sikap selalu mengekor dengan apa kata orang tua dan tidak memperdulikan dalil-dalil syar’i, merupakan perbuatan yang tercela. Karena sikap ini menyerupai sikap orang-orang Quraisy ketika diseru oleh Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa sallam untuk beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Sebagaimana Qur’an surah Az-Zukhruf ayat 22 (yang artinya) : “Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak (nenek moyang) kami menganut suatu agama (bukan agama yang engkau bawa –pent), dan sesungguhnya kami orang-orang yang mendapat petunjuk dengan (mengikuti) jejak mereka.”

Selain itu, Jawaban seperti ini juga mirip dengan apa yang dikatakan oleh kaum Nabi Ibrahim Alaihis sallam, ketika mereka diseru untuk meninggalkan peribadatan kepada selain Allah. Sebagaimana Qur’an Surah Asy-Syu’ara ayat 74 (yang artinya) : “Kami dapati bapak-bapak kami berbuat demikian (yakni beribadah kepada berhala).”

Demikian juga Fir’aun dan kaumnya, mengapa mereka ditenggelamkan di lautan? Karna mereka enggan untuk menerima seruan Nabiyullah Musa, Sebagaimana Al-Qur’an Surah Yunus ayat 78, mereka mengatakan:
“Apakah kamu datang kepada kami untuk memalingkan kami dari apa yang kami dapati nenek moyang kami mengerjakannya …”
dan masih banyak lagi hal seperti ini yang Allah azza wa Jalla abadikan dalam Al-Qur’an. Dan demikianlah, setiap rasul yang Allah utus, mendapatkan penentangan dari kaumnya, dengan alasan bahwa apa yang mereka yakini merupakan keyakinan nenek moyang mereka. “Dan apabila dikatakan kepada mereka: Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah. Mereka menjawab: (Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami.” Qur’an Surah Al Baqarah ayat 170.

Wahai saudaraku yang membenci Bid’ah dan kesyirikan, perhatikanlah apa yang tercantum di dalam Al-Qur’an, mereka menjadikan perbuatan yang dilakukan oleh para pendahulu mereka sebagai dasar dan alasan untuk beramal, padahal telah nampak bukti-bukti kebatilan yang ada pada mereka. Tentunya, kita meyakini, bahwa Agama Islam yang datang sebagai petunjuk dan rahmat bagi semesta alam, telah mengajarkan kepada umatnya agar mereka senantiasa mengikuti dan mengamalkan agama ini, di atas bimbingan Allah dan Rasul-Nya. Allah berfirman didalam Surah Al-A’raf ayat 3 yang artinya : “Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya.”

Dan ketahuilah wahai saudaraku, jika masih ada keyakinan dari sebagian kaum muslimin, yang enggan untuk mengadakan hajatan , baik berupa walimah, atau sebagainya, pada bulan Muharram atau bulan-bulan tertentu lainnya, yang disebabkan karna menganggap bahwa bulan-bulan tersebut bisa mendatangkan bencana atau musibah kepada orang yang berani mengadakan hajatan pada bulan tersebut. Maka keyakinan seperti ini, didalam syariat agama yang haq dan lurus ini, termasuk dalam perbuatan Tathayyur (تَطَيُّر) atau Thiyarah (طِيَرَة), yakni suatu anggapan bahwa suatu keberuntungan atau kesialan itu didasarkan pada kejadian tertentu, waktu, atau tempat tertentu. Misalkan seseorang hendak pergi berjualan, namun di tengah jalan dia melihat kecelakaan, akhirnya orang tadi tidak jadi meneruskan perjalanannya, karena menganggap kejadian yang dilihatnya itu akan membawa kerugian dalam usahanya. Bahkan Orang-orang jahiliyyah dahulu meyakini bahwa Tathayyur ini dapat mendatangkan manfaat atau menghilangkan mudharat. Namun setelah Islam datang, keyakinan ini dikategorikan kedalam perbuatan syirik yang harus dijauhi. Dan Islam datang, untuk memurnikan kembali keyakinan, bahwa segala sesuatu itu terjadi atas kehendak Allah, dan islam membebaskan hati ini dari ketergantungan kepada selain-Allah. Didalam Al-Qur’an surah Al-A’raf ayat 131 Allah azza wa Jalla berfirman “Ketahuilah, sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari Allah, akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” Untuk itu, sudah sepatutnyalah kita mengetahui dan memahami, bahwa Tathayyur atau Thiyarah Termasuk Kesyirikan Kepada Allah. Seseorang yang meyakini, bahwa barangsiapa yang mengadakan acara walimahan atau hajatan yang lain pada bulan Muharram, maka ia akan ditimpa kesialan dan musibah, maka orang tersebut telah terjatuh ke dalam kesyirikan kepada Allah.

Didalam hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad dan At-Tirmidzi, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa sallam bersabda :

الطِّـيَرَةُ شِـرْكٌ
“Thiyarah itu adalah kesyirikan.”

Dan yang tak kalah penting untuk kita ketahui, bahwa Tathayyur atau Thiyarah digolongkan ke dalam perbuatan syirik karena beberapa hal, di antaranya: Karna Seseorang yang berthiyarah berarti dia meninggalkan tawakkalnya kepada Allah. Padahal tawakkal merupakan salah satu jenis ibadah yang Allah Azza wa Jalla perintahkan kepada hamba-Nya.

Segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi, semuanya di bawah pengaturan dan kehendak-Nya, keselamatan, kesenangan, musibah, dan bencana, semuanya datang dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah berfirman didalam Surah Hud ayat 56 (yang artinya): “Sesungguhnya aku bertawakkal kepada Allah Rabbku dan Rabbmu, tidak ada suatu makhluk pun melainkan Dialah yang memegang ubun-ubunnya (menguasai sepenuhnya).”

Kemudian, Tathayyur atau Thiyarah digolongkan ke dalam perbuatan syirik, karena Seseorang yang bertathayyur berarti dia telah menggantungkan sesuatu kepada perkara yang tidak ada hakekatnya, yang tidak layak untuk dijadikan tempat bergantung. Ketika seseorang menggantungkan keselamatan atau kesialannya kepada bulan Muharram atau bulan-bulan yang lain, ketahuilah bahwa pada hakekatnya bulan Muharram itu tidak bisa mendatangkan manfaat atau menolak mudharat. Hanya Allah-lah satu-satunya tempat bergantung. Sebagaimana Surah Al-ikhlas ayat 2 (yang artinya): “Allah adalah satu-satunya tempat bergantung.”

Dan patut kita cermati dan pelajari, bahwa orang yang tathayyur tidaklah terlepas dari dua keadaan; Pertama : meninggalkan semua perkara yang telah dia niatkan untuk dilakukan.

Dan yang Kedua: orang tersebut melakukan apa yang dia niatkan, namun di atas perasaan was-was dan khawatir. Maka tidak diragukan lagi bahwa dua keadaan ini sama-sama mengurangi nilai tauhid yang ada pada dirinya.

Lantas Bagaimana Menghilangkannya?

Sesungguhnya syariat yang Allah turunkan ini tidaklah memberatkan hamba-Nya. Ketika Allah dan Rasul-Nya melarang perbuatan tathayyur, maka diajarkan pula bagaimana cara menghindarinya.

‘Abdullah bin Mas’ud radiyallahu Anhu, salah seorang sahahabat Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa sallam telah membimbing kita, bahwa tathayyur ini bisa dihilangkan dengan tawakkal kepada Allah. Tentunya Tawakkal yang sempurna, tawakkal dengan benar-benar menggantungkan diri kepada Allah dalam rangka mendapatkan manfaat atau menolak mudharat, dan mengiringinya dengan usaha. Sehingga apapun yang menimpa seseorang, baik kesenangan, kesedihan, musibah, dan yang lainnya, maka dia yakin bahwa itu semua merupakan kehendak yang penuh dengan keadilan dan hikmah dari Allah Azza wa Jalla.
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa sallam telah mengajarkan do’a kepada kita sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad :
اللَّهُمَّ لاَ خَيْرَ إِلاَّ خَيْرُكَ

وَ لاَ طَيْرَ إِلاَّ طَيْرُكَ

وَ لاَ إِلهَ غَيْرُكَ
“Ya Allah, tidaklah kebaikan itu datang kecuali dari-Mu, dan tidaklah kesialan itu datang kecuali dari-Mu, dan tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Engkau.”

Selain itu saudaraku, kita tentunya perlu mengetahui apa itu Hakekat dari sebuah Musibah. Ketahuilah, bahwa suatu ketika, Allah menghendaki seseorang untuk tertimpa musibah tertentu. Maka musibah itu bukan karena hajatan yang kita lakukan pada bulan Muharram atau bulan lainnya, tetapi musibah itu merupakan ujian dari Allah.
Sungguh orang yang beriman, dengan adanya musibah itu akan semakin menambah keimanannya, karena dia yakin Allah menghendaki kebaikan padanya.

مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُصِبْ مِنْهُ

“Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan padanya, Allah akan timpakan musibah padanya.” Hadits riwayat Al Bukhari

Dan Ketahuilah, bahwa musibah yang menimpa seseorang itu juga merupakan akibat dari perbuatannya sendiri. Allah berfirman di dalam Surah Asy Syura ayat 30 (yang artinya): Dan apa saja musibah yang menimpa kamu, maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri …”
Bisa jadi musibah itu Allah takdirkan kepada kita, disebabkan banyaknya perbuatan maksiat dan kemungkaran yang dilakukan.

Untuk itu ikh, tinggalkan Tathayyur.

Dan salah satu keyakinan seorang muslim adalah, bahwa orang yang mentauhidkan Allah dan membersihkan diri dari segala kesyirikan, ia pasti akan masuk ke dalam Al Jannah. Hanya saja sebagian dari kaum muslimin, akan merasakan adzab sesuai dengan kehendak Allah dan tingkat kemaksiatan yang dilakukannya. Namun di antara kaum muslimin ada sekelompok orang yang dijamin masuk ke dalam Al Jannah secara langsung, tanpa dihisab dan tanpa diadzab. Jumlah mereka adalah 70.000 orang, dan tiap-tiap 1.000 orang darinya membawa 70.000 orang. Siapakah mereka?
Mereka adalah orang-orang yang telah disifati Rasulullah dalam sabdanya:
هُمُ الَّذِيْنَ لاَيَسْتَرْقُوْنَ

وَلاَ يَكْتَوُوْنَ وَلاَ يَتَطَيَّرُوْنَ

وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُوْنَ
“Mereka adalah orang-orang yang tidak minta diruqyah, tidak minta dikay (suatu pengobatan dengan menempelkan besi panas ke tempat yang sakit), tidak melakukan tathayyur, dan mereka bertawakkal kepada Rabbnya.”
Rawahu Muttafaqun ‘Alaihi.

Meraka ini dimasukkan ke dalam Al Jannah tanpa dihisab dan tanpa diadzab karena kesempurnaan tauhid mereka. Dimana Ketika ditimpa kesialan atau kesusahan, mereka tidak menyandarkan kepada hari ataubulan tertentu atau tanda-tanda tertentu, namun mereka senantiasa menyerahkan semuanya kepada Allah. Wallahu a’lam bish-shawab. Semoga bermanfaat. Dan semoga Allah selalu mencurahkan hidayah-Nya kepada kita semua. Amiin.

0 komentar: