فَإِنَّ أَحْسَنَ الْكَلاَمِ كَلاَمُ اللهِ
وَخَيْرَ الْهَدْيِ
هَدْيُ مُحَمَّدٍ صَلى لله عَليهِ وَسَلم ,
وَشَرَّ اْلأُمُوْرِمُحْدَثَا تُهَا ,
وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ ,
وَكُلَّ بِدْ عَةٍ ضَلاَلَةٌ ,
وَكُلَّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ.
Sesungguhnya sebaik-baik ucapan adalah kalamullah, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam, seburuk-buruk perkara adalah sesuatu yang diada-adakan dalam agama, setiap yang diada-adakan dalam agama adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah sesat, dan setiap kesesatan tempatnya di Neraka.
Toyib Saudaraku se-Iman Se-Aqidah, ana lanjutkan postingan mengenai faktor –faktor atau aspek lainnya yang bisa meningkatkan Kualitas Ibadah atau Amaliah kita. Nah faktor selanjutnya nih, kita harus Meningkatkan Kapasitas Ilmiah kita.
Lho ! Kenapa kita mesti meningkatkan kapasitas ilmiah kita? Emangnya selama ini kita tidak ilmiah ? Kolot atau terbelakang atau bahkan tidak realistis ?
Mari kita lihat hadits yang sangat memuliakan kedudukan orang-orang, dimana kapasitas ilmiahnya (ketaatan, kejujuran, keilmuan dan loyalitasnya) diatas rata-rata manusia yang ada dimuka bumi ini.
Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam bersabda : “Janganlah kalian mencela para sahabatku. Sendainya salah seorang dari kalian berinfaq emas sebesar gunung uhud, niscaya tidak akan menyamai pahala infak mereka sebesar satu mud ataupun setengahnya.” Al Badawi menjelaskan hadits ini bahwa seseorang dari kalian (atau kita sekarang ini) tidak akan mampu menggapai dengan infak sebesar gunung uhud yang berupa emas, keutamaan dan pahala yang diraih oleh salah seorang dari mereka (yakni para sahabat) dengan infaq satu mud atau setengahnya. Sebab, karna adanya perbedaan kondisi amaliah ilmiah yang menyertai orang yang lebih mulia, yakni berupa kekuatan ikhlas yang lebih tinggi dan kejujuran niat mereka.” Jadi Saudaraku sangatlah jelas keutamaan para sahabat dan amalan yang mereka lakukan dibandingkan amalan orang-orang selain mereka.
Sebagian ulama Saudaraku telah menyinggung serta menjelaskan beberapa sebab pengutamaan (para sahabat) dalam kaedah ini, melalui nash-nash yang ada, dimana peningkatan nilai amaliah tergantung dari kedudukan orang yang beramal. Namun Saudaraku ada beberapa rahasia dibalik dimuliakannya kedudukan sahabat. Hal tersebut atau rahasia tersebut telah disinggung oleh sebagian para ulama di dalam kitab-kitabnya.
Diantaranya nih Saudaraku : bahwa keutamaan yang mereka (para sahabat) raih itu, berangkat dari kondisi bathiniah mereka yang mengalahkan manusia lainnya. Sebagaimana yang dikatakan Ibnu Mas’ud Radhiyallahu Anhu (mari kita renungkan dan camkan Saudaraku). “Kalian itu lebih banyak puasanya dibandingkan sahabat Muhammad, tetapi mereka (para sahabat) tetap lebih baik dari kalian’. Mereka bertanya : “Apa sebabnya?” dijawab oleh Ibnu Mas’ud : “Mereka para sahabat lebih zuuhud kepada dunia dan lebih berharap kepada akhirat daripada kalian.” Kedua, lantaran mereka (para sahabat) lebih paham terhadap agama dan otomatis berpengaruh pada kualitas ibadah mereka sehingga dilaksanakan dengan cara yang lebih baik.
Kemudian, Abu Darda’ sebagaimana yang kami kutip dari Tajridu al-Ittiba’ Fi Bayani Asbabi Tafadhuli Al-Amali karya Syaikh Ibrahim bin Amir ar Ruhaili, berkata Bahwa satu biji sawi kebaikan orang yang bertakwa dan yakin, lebih besar, lebih utama dan lebih berat timbangannya seperti beratnya gunung-gunung dibandingkan ibadah orang-orang yang tertipu. Mari kita ambil pelajaran dari riwayat ini Saudaraku. Di dalam Syarah Riyadhus Sholihin , Syaikh Muhammad al-Utsaimin (semoga Allah Merahmatinya) menceritakan, Uyainah bin Hishn menghadap ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu Anhu. Dia berkata kepada Umar Radhiyallahu Anhu dengan perkataan yang tidak sopan, “Wahai putra Al-Khaththab (ini dalah kalimat yang tidak sopan), demi Allah engkau tidak berbuat banyak kepada kami dan engkau tidak adil dalam mengadili kami.” Padahal Umar- seperti yang dikatakan oleh Ibnu Abbas mengangkat orang-orang yang pandai dalam Al-Qur’an sebagai kawan duduk dan kawan bermusyawarah, dari kalangan sahabat Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Mereka diperlakukan sama baik, yang sudah tua maupun yang masih muda dalam bermusyawarah. (Seperti inilah yang mestinya dilakukan oleh seorang pemimpin atau kalifah Saudaraku, agar menjadikan penasehat-penasehatnya dari kalangan orang-orang soleh, ahli ilmu dan ber-iman. Karena jika memilih penasihat-penasihat yang tidak soleh, maka dia akan hancur dan menghancurkan umat). Selanjutnya Saudaraku, Mendengar Uyainah berkata kasar seperti itu, maka marahlah Umar dan hampir memukulnya atau menamparnya. Akan tetapi anak paman Uyainah berkata kepadanya, “Wahai Amirul mukminin, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman kepada Nabi-Nya, ‘jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.’ (Qur’an Surah : al-A’raaf ayat 199). Uyainah termasuk orang yang bodoh Saudaraku, maka setelah mendengar ayat itu, Umar menghentikan kemarahannya, tidak memukul atau menamparnya dan berpaling meninggalkan orang tersebut akan tetapi bukan karna untuk menghinakan atau merendahkan, namun karna beliau tunduk kepada Kitabullah dan ridho kepadanya. Lihatlah etika para sahabat terhadap Al-Qur’an, mereka tidak melanggarnya. Jika dikatakan kepada mereka, “Ini adalah firman Allah”, maka mereka melaksanakannya bagaimanapun keadaanya. Semoga bermanfaat.
0 komentar:
Posting Komentar