بِسْمِ الّلهِ الرَّ حْمنِ الرَّ حِيمِ
Wahai saudaraku yang benci kemusyrikan… Alhamdulillah kita telah berada di Bulan Sya’ban. Dimana tak lama lagi, sekitar kurang lebih 10 atau 11 hari lagi, akan datang bulan yang penuh barokah dan rahmat, bulannya Al-Qur’an, bulan yang didalamnya terdapat suatu malam yang lebih baik dari seribu bulan. Semoga Allah azza wa jalla merahmati kita, dan menakdirkan kita untuk menjalani Ramadhan tahun ini, sehingga kita dapat menjalaninya, merasakan nikmatnya dan mengambil banyak manfaat darinya.
Dan, mari saudaraku yang membenci sesuatu yang baru yang diada-adakan di dalam agama, Kita memohon ampun kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Kita berlindung kepada-Nya dari segala kejelekan-kejelekan jiwa kita dan dari kejelekan-kejelekan amalan kita. Sungguh ! Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dia telah mendapat petunjuk, dan barangsiapa yang disesatkan-Nya, maka tiada baginya wali dan pembimbing. Semoga Shalawat dan salam selalu dilimpahkan kepada manusia teladan, Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam, keluarga, sahabat dan para pengikut-pengikutnya yang lahir dan bathinnya berada diatas sunnahnya hingga hari kiamat.
Selanjutnya wahai saudaraku, yang mengharapkan sebaik-baik tempat kembali yakni Jannah, maka untuk postingan kali ini kami mencoba mengangkat tema yang amat sangat popular ditengah masyarakat muslim di bulan sya’ban ini yakni nisfu sya’ban. Adapun Pembahasan mengenai Nisfu Sya’ban ini, ana ambilkan manfaat dari tulisan, dari buah karya seorang Ulama Muta'akhirin, Ulama Besar kaum Muslimin abad ini, yakni Al-Alamah Syaikh Abdullah bin Abdul Aziz bin Baz Rahimahullah. Yang lebih dikenal dengan Syaikh Bin Baz.
Ketahuilah wahai saudaraku, bahwa hadits-hadits seputar perayaan Nisfu Sya’ban derajatnya berkisar pada Dhoif atau lemah, bahkan lebih banyak yang Maudhu alias palsu. Jadi sangatlah jelas bahwa peringatan malam Nisfu Sya’ban dengan pengkhususan sholat atau lainnya, dan pengkhususan siang harinya dengan puasa, itu semua adalah termasuk perbuatan yang tidak dicontohkan oleh Nabi Shalallahu ‘Alaihi wasallam dan para Sahabat Ridwanallahu ‘Alaihim Jamian, tidak ada landasan dalilnya dalam syariat Islam, bahkan hanya merupakan pengada-adaan saja dalam Islam. Jadi sudah sepatutnyalah hal semacam ini kita tinggalkan, kita jauhkan dari diri kita, kita jauhkan dari keluarga kita dan kita jauhkan dari lingkungan kita (kalau mampu, selama tidak menimbulkan modhorot yang lebih besar).
Sebagaimana kita ketahui bahwa, Allah Azza wa Jalla telah berfirman di dalam Surah Al-Maidah ayat 3
الْيَوْ مَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ
وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِى
وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِ سْلَمَ دِينًا
“Pada hari Ini Telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan Telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan Telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.”
Dan tentunya saudaraku yang membenci Bid’ah, banyak lagi ayat-ayat lain yang semakna dengan ayat ini, selain itu marilah kita hayati sabda Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan oleh Imam Muslim Rahimahullah, atau kalau antum sekalian kesulitan mencari matan hadits ini silahkan buka kumpulan hadits Arbain yang dikumpulkan oleh al-Imam An Nawawi Rahimahullahu Ta’ala Anhu. Dimana Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam :
“Barang siapa yang mengada-adakan sesuatu perbuatan (dalam agama) yang sebelumnya tidak pernah ada, maka ia tertolak”.
Selanjutnya, masih dari riwayat Muslim, Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata : Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
. رواه مسلم.
“Janganlah kamu sekalian mengkhususkan malam Jum’at dari pada malam malam lainnya dengan sholat tertentu, dan janganlah kamu sekalian mengkhususkan siang harinya dari pada hari-hari lainnya dengan berpuasa tertentu, kecuali jika hari bertepatan dengan hari yang ia biasa berpuasa (bukan puasa khusus tadi)”
Jadi saudaraku Sebagaimana hadits diatas, yakni “Janganlah kamu sekalian mengkhususkan malam Jum’at dari pada malam malam lainnya dengan sholat tertentu, dan janganlah kamu sekalian mengkhususkan siang harinya dari pada hari-hari lainnya dengan berpuasa tertentu, kecuali jika hari bertepatan dengan hari yang ia biasa berpuasa (bukan puasa khusus tadi)”
Maka seandainya pengkhususan malam itu (maksudnya malam jum’at sebagaimana yang disebutkan didalam hadits) dengan ibadah tertentu diperbolehkan oleh Allah, maka bukankah malam Jum’at itu lebih baik dan lebih layak serta lebih utama dari pada malam malam lainnya, bukankah pada hari itu (yakni hari Jum’at) adalah sebaik-baik hari yang disinari oleh matahari ? hal ini tentunya berdasarkan hadits hadits Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam yang shohih. Lantas kenapa kita berani lancang mengkhususkan malam-malam yang tidak ada dasar petunjuk dari Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wasallam yang bertugas sebagai penjelas bagi kita untuk beribadah kepada Allah. Bukan kah telah kita ketahui bahwa pada diri Rasulullah terdapat suri tauladan.
Maka dari itu, ketika Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang untuk mengkhususkan sholat pada malam hari itu, dari pada malam lainnya, hal iini menunjukkan bahwa pada malam lainpun lebih tidak boleh dikhususkan dengan ibadah tertentu, kecuali jika ada dalil shohih yang mengkhususkan atau menunjukkan adanya pengkhususan, seperti ketika malam Lailatul Qadar dan malam malam bulan puasa, dimana malam-malam tersebut disyariatkan supaya sholat dan bersungguh-sungguh dengan ibadah tertentu. Dan untuk itulah, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan dan menganjurkan kepada kita umatnya, agar supaya melaksanakannya, selain itu beliau juga mencontohkan dengan mengerjakannya, sebagaimana disebutkan dalam hadits shohih :
غفر له ما تقدم من ذنبه،
ومن قام ليلة القدر إيمانا واحتسابا
غفر له ما تقدم من ذنبه ".
“Barang siapa yang berdiri (melakukan sholat) pada bulan Ramadlan dengan penuh rasa iman dan harapan (pahala), niscaya Allah Subhaanahu wa Ta’ala akan mengampuni dosanya yang telah lewat, dan barang siapa yang berdiri (melakukan sholat) pada malam lailatul qadar dengan penuh rasa iman dan harapan (pahala), niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosanya yang telah lewat” Rawahu Muttafaqun ‘alaih.
Maka dari itu wahai saudaraku yang benci kemusyrikan, Jika seandainya malam Nisfu Sya’ban, malam Jum’at pertama pada bulan Rajab, serta malam isra’ dan mi’raj itu diperintahkan untuk dikhususkan, dengan upacara atau ibadah tertentu, pastilah Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam akan menjelaskan kepada kita umatnya, atau minimal beliau melaksanakannya sendiri, dan jika memang hal itu pernah terjadi niscaya khabar tersebut telah disampaikan oleh para sahabat kepada kita. Dimana para sahabat merupakan sebaik-baik generasi, mereka tidak akan menyembunyikan suatu hal pun dalam agama ini, karena mereka adalah sebaik-baik manusia dan paling banyak memberi nasehat setelah para Nabi.
Selanjutnya saudaraku yang anti Tahayul, bid’ah dan khurofat, dari berbagai nash al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam serta pendapat para ulama yang telah di sebutkan, dapat lah kita menyimpulkan bahwasanya tidak ada ketentuan apapun dari Rasulullah, ataupun dari para sahabat tentang keutamaan malam Nisfu Sya’ban dan malam Jum’at pertama pada bulan Rajab.
Dan dari sini, kita mengetahui bahwa memperingati perayaan kedua malam tersebut adalah sesuatu yang tidak ada contohnya dari Nabi Shalallahu ‘Alaihi wasallam, dan termasuk sesuatu yang diada adakan dalam Islam, begitu pula pengkhususan malam tersebut dengan ibadah tertentu adalah sesuatu yang tidak ada petunjuknya dari Nabi Shalallahu ‘Alaihi wasallam dan menyalahi jalan-ja;an para Shabat Ridwanallahu ‘Alaihim Jamian.
Dan sama halnya dengan malam 27 Rajab yang banyak diyakini orang sebagai malam Isra’ dan Mi’raj, dimana pada malam tersebut kita juga tidak boleh mengkhususkan dengan ibadah ibadah tertentu, selain itu juga tidak boleh dirayakan dengan upacara upacara ritual, berdasarkan dalil dalil yang telah disebutkan tadi.
Sungguh saudaraku se-Iman se-aqidah, malam kejadian Isra’ dan Mi’raj itu tidaklah diketahui secara pasti, dan tidak jelas kapan hari atau tepat tanggalnya peristiwa tersebut. Jadi penyandaran malam Isra’ dan Mi’raj pada tanggal 27 Rajab tidak berdasarkan pada hadits-hadits yang shahih. Untuk itu mari kita bersihkan ibadah kita, kita kembali kepada Sunnah-sunnah Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam.
Ingat Wahai saudaraku ! Biar sedikit asalkan Sunnah.!!! Sungguh Allah Azza wa jallan tak menghitung kuantitas ibadah seseorang, tetapi yang diperhitungkan yakni Kualitas ibadah.
Dan perlu kita ketahui bahwa para ulama telah bersepakat tentang hadits-hadits yang diriwayatkan mengenai keutamaan bulan Rajab dan Nisfu Sya’ban adalah berderajat Maudhu alias palsu, dan bahkan telah diterangkan oleh para Muhaditsin tentang palsunya hadits sholat Ar Raghaaib dan Nisfu Sya’ban tersebut. diantaranya penjelasan oleh Al Haafidz Ibnu hajar al-Atsqolani Rahimahullah, kemudian Ahlul Jahr wa Ta’dil al-Imam al-hafidz Adz Dzahabi Rahimahullah, selain itu juga ada al-Imam Al `Iraaqiy yang mentakhrij kitab Ihya Ulumudin, juga ada al-Imam Ibnu Al Jauziy, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, An Nawawiy dan As Sayuthiy serta selain dari mereka. Dan mereka para ahli Tahqiiq dikalangan ahli ilmu ini telah melarang mengkhususkan hari tersebut untuk berpuasa, atau mendirikan malamnya serta melaksanakan sholat dengan cara-cara yang tidak ada contohnya dari Nabi Shalallahu ‘Alaihi wasallam, demikian juga pengagungan hari tersebut dengan cara membuat makanan makanan yang enak-enak, mengishtiharkan bentuk bentuk yang indah indah dan selain yang demikian, dengan tujuan bahwa hari ini lebih utama dari hari hari yang lainnya. Untuk itu mari kita perbaiki amalan-kita.
Nah berikut ana kutipkan Pendapat para ahli Syam diantaranya Al Hafidz Ibnu Rajab dalam bukunya “Lathoiful Ma’arif” (dimana, beliau) mengatakan bahwa perayaan malam nisfu sya’ban adalah bid’ah, dan hadits-hadits yang menerangkan keutamaannya semuanya lemah, hadits yang lemah bisa diamalkan dalam ibadah jika asal hadits tersebut didukung oleh hadits yang shoheh, sedangkan yang namanya upacara perayaan malam Nisfu Sya’ban atau pengkhususan ibadah dimalam nisfu sya’ban tidaklah ada dasar pijakan yang shohih, sehingga hadits tersebut tidak bisa didukung dengan dalil hadits-hadits yang derajatnya juga dlo’if.
Bahka, Ia mengomentari bahwa tidak ada suatu ketetapan pun tentang malam Nisfu Sya’ban ini, baik itu dari Nabi maupun dari para Sahabat. Adapun pendapat Imam Auza’iy tentang bolehnya (istihbab) menjalankan sholat pada malam hari itu secara individu dan penukilan Al Hafidz Ibnu Rajab dalam pendapatnya itu adalah gharib dan dhoif, karena segala perbuatan syariah yang belum pernah ditetapkan oleh dalil dalil syar’i tidak boleh bagi seorang pun dari kaum muslimin mengada-adakannya dalam Islam, baik itu dikerjakan secara individu ataupun kolektif, baik itu dikerjakan secara sembunyi sembunyi ataupun terang terangan. Hal ini berdasarkan keumuman hadits Nabi halallahu ‘Alaihi Wasallam:
“Barangsiapa mengerjakan suatu perbuatan yang belum pernah kami perintahkan, maka ia tertolak”.
Sungguh saudaraku yang mencintain Sunnah, syaitan menggunakan dua cara untuk menyesatkan kita selakau umat Islam. Cara pertama digunakan untuk mengelabui seorang muslim yang bergelimang maksiat. Yakni dengan menjadikan maksiat yang ia lakukan seakan-akan sesuatu yang indah. Sehingga ia tetap akan jauh dari ketaatan. Dimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Al-Jannah dikelilingi oleh segala hal yang tidak disukai, sementara An-Naar itu diliputi dengan syahwat.” Rawahu Al-Bukhari wa Muslim .
Adapun cara kedua digunakan oleh syaitan untuk menyesatkan seorang muslim yang gemar beribadah. Yakni dengan mengajaknya berlaku ghuluw atau berlebih-lebihan serta melampaui batas di dalam beribadah. Sehingga justru agamanya akan rusak, dimana ia mengerjakan malan yang tidak ada contohnya dari Nabi Shalallahu ‘Alaihi wasallam dan para sahabat. Oleh karena itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala melarang kita untuk bersikap ghuluw.
Toyib saudaraku yang membenci bid’ah, mari kita simak perkataan seorang ulama besar yakni Al-Imam Makhlad bin Al-Husain Rahimahullah yang terdapat didalam karya besar Ahlul Jahr wa Ta’dil , Al-Hafidz Adz-Dzahabi Rahimahullah, dimana Al-Imam Makhlad bin Al-Husain berkata, “Tidaklah Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk berbuat kebaikan melainkan Iblis akan menghadangnya dengan dua cara. Iblis tidak ambil peduli dengan cara apa dia akan menguasainya. Antara bersikap ghuluw di dalam amalan tersebut ataukah sikap meremehkannya.”
Untuk itu mari kita amalkan do’a yang dianjarkan dan dianjurkan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wasallam. yakni do’a yang ana ambilkan dari sebuah hadits shohih yang diriwayatkan oleh Al-Imam Ibnu Majah dalam shohih Ibnu Majah dan Ibnus Sunni dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah dari Ummu Salamah Radiallahu Anha,
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ
حَدَّثَنَا شَبَابَةُ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ
عَنْ مُوسَى بْنِ أَبِي عَائِشَةَ
عَنْ مَوْلًى لِأُمِّ سَلَمَةَ عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ
dimana Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abu Syaibah (dimana ia) berkata, telah menceritakan kepada kami Syababah, (dan ia) berkata, telah menceritakan kepada kami Syu'bah dari Musa bin Abu 'Aisyah dari Mantan budak Ummu Salamah, dari Ummu Salamah, ( ia ) berkata,
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
كَانَ يَقُولُ إِذَا صَلَّى الصُّبْحَ حِينَ يُسَلِّمُ
"Ketika salam dalam shalat subuh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengucapkan;
اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ عِلْمًا نَافِعًا
وَرِزْقًا طَيِّبًا وَعَمَلًا مُتَقَبَّلًا
“Ya Allah, sesungguhnya aku meminta kepada Mu ilmu yang bermanfaat, Rizky yang halal, dan amalan yang diterima.”
Semoga Do’a ini dapat dihafalkan dan diamalkan.
Wallahu alam bish-shawab. Semoga bermanfaat.
0 komentar:
Posting Komentar