Kamis, 26 Agustus 2010

Kaffarat & Fidyah

بِسْمِ الّلهِ الرَّ حْمنِ الرَّ حِيمِ

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah Azza wa jalla, kepada-Nya kita memberikan sanjungan , memohon pertolongan dan ampunan. Kepada-Nya lah wahai saudaraku se-Iman se-aqidah, kita senantiasa berlindung dari kejahatan diri dan keburukan amal perbuatan kita. Semoga Allah Azza Wa jalla menyatukan kita semua untuk senantiasa mencintai-Nya dan mengikuti Sunnah Rasul-Nya. Dan semoga Allah azza wa Jalla memberikan kebaikan yang banyak kepada kita semua, hingga kita dapat menjalankan dan menikmati Ramadhan tahun ini dengan amal ibadah yang baik, sesuai sunnah Rasul-Nya, dan diterima sebagai bekal di yaumil akhir. Amiinn ya Rabbal ‘Alamin

Toyib ! Saudaraku yang mencintai Sunnah, berikut ana postingkan beberapa hal mengenai Ramadhan, dimana tulisan ini banyak mengambil manfaat dari kitab shifatu Saumin Nabii fii Ramadhaan karya Syaikh Salim I’ed Al-hilalai Hafidzahullah dan Syaikh Ali Hasan al-halabi hafidzahullah. Yakni mengenai Kaffarat dan Fidyah

Toyib, saudaraku yang selalu mengharapkan rahmat dan ridho Allah Azza wa Jalla ! Tentunya bagi yang telah berkeluarga faham apa yang dinamakan Hubungan Badan. Adapun bagi yang belum berkeluarga alias belum menikah, segeralah menikah ! he..he..he... biar lebih faham. artinya tidak ada salahnya bagi yang belum menikah untuk mengetahui mengenai hal ini. Karna hal ini adalah patut atau wajib untuk diketahui sebagai bekal nanti berumah tangga. Sebagaimana qaidah yang telah masyhur Ilmu dulu , baru amal”. Jadi yang namanya hubungan badan, menurut Al Alamah Ibu Qayyim Rahimahullahu Ta’ala anhu, di dalam kitabnya Zaadul Ma’aad mengatakan, “Al-Qur’an telah menunjukkan bahwa hubungan badan itu membatalkan puasa, sebagaimana halnya makan dan minum. Dan al Imam asy- Syaukani (semoga Allah merahmatinya) dalam ad-Daraaril Mudhiyyah mengatakan “Tidak diperdebatkan lagi bahwa hubungan badan membatalkan puasa jika dilakukan dengan sengaja. Namun jika lupa, maka sebagian ulama mengkatagorikan nya termasuk orang yang makan dan minum karena lupa.

Jadi ingat saudaraku, puasa itu juga menahan diri dari hubungan badan. Lantas, barangsiapa yang merusak puasanya dengan hubungan badan, artinya dengan sengaja melakukan jima’ atau berhubungan badan saat siang hari atau saat yang lainnya sedang berpuasa dibulan ramadhan, maka orang tersebut harus mengganti puasanya itu dengan kaffarat. Dan Hal ini pernah terjadi di jaman Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam. Dimana peristiwa ini diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu, dari Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam : (suatu ketika) “Beliau pernah didatangi seseorang seraya berucap : “Wahai Rasulullah, celakalah aku !!.’ ‘Apa yang telah mencelakakan dirimu?’ Tanya Rasulullah. Dia (orang tersebut) menjawab : “Aku telah berhubungan badan dengan istriku pada siang hari di Bulan Ramadhan.’ (Kemudian) Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bertanya : ‘Apakah kamu mampu memerdekakan seorang budak?’ ‘Tidak !!, ‘Jawabnya. (Selanjutnya) Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam bertanya lagi : ‘Apakah kamu mampu berpuasa selama dua bulan berturut-turut? Orang tersebut lantas menjawab : ‘Tidak’. Beliau (Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam) (kemudian) bertanya lagi : ‘Dan apakah kamu mampu memberi makan kepada enam puluh orang miskin? (orang itupun) menjawab : ‘Tidak !!.’ Kemudian Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam mempersilakan (orang tersebut) duduk kepadanya. (selanjutnya) orang tersebut pun duduk. Kemudian Nabi Shalallahu 'Alaihi Wasallam dibawakan satu wadah berisi kurma, dan beliau bersabda : ‘Bersedekahlah dengan kurma ini.’ (Mendapati apa yang dilakukan Rasulullah) berkata orang tersebut : ‘Adakah orang yang lebih miskin dari kami?

(Selanjutnya) Abu Hurairah mengatakan : ‘Maka (mendengar apa yang disampaikan orang tersebut) nabi pun tertawa sehingga gigi taringnya tampak. Kemudian beliau (Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam) berkata : ‘Ambillah dan berikan makan keluargamu dari sedekah itu. hadits ini disebutkan dengan lafadz yang bermacam-macam ada yang dari al-Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi, al-Baghawi, Abu Dawud, dan banyak lagi, termasuk al-Imam asy Syafi’i serta Imam Malik. Dimana sebagian ada yang me-Mursalkannya dan sebagian lainnya menyambungnya. Dan derajat hadits ini dinilai Shohih oleh al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani (semoga Allah merahmatinya) di dalam Fathul Baari.

Nah Sebagaimana peristiwa dari hadits Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu, mengenai seorang yang melakukan hubungan badan dengan istrinya pada siang hari di bulan Ramadhan, maka bagi orang tersebut, ia harus mengqadha’ puasa yang ditinggalkannya sekaligus membayar kaffarat. Adapun kaffaratnya yakni dengan memerdekakan seorang budak. Dan Jika tidak mendapatkan seorang budak, maka orang tersebut harus berpuasa selama dua bulan berturut-turut. Dan jika tidak mampu juga melakukan hal tersebut, maka dia harus memberi makan enam puluh orang miskin. Namun saudaraku, ada juga yang berpendapat , bahwa kaffarat yang harus dibayar karena melakukan hubungan badan itu di dasarkan pada pilihan dan tidak berdasarkan pada tertib urutan kaffarat. Adapun pendapat yang lebih kuat atau lebih Rajih yakni bahwa kaffarat itu harus ditempuh berdasarkan tertib urutan, Wallahu ‘alam. Demikianlah keterangan yang terdapat di dalam kitab shifatu Saumin Nabii fii Ramadhaan. Dan, sebagaimana kita ketahui bahwa orang yang berilmu merupakan hujjah bagi orang yang tidak berilmu. Adapun Ulama-ulama yang mentarjih tertib urutan, hal ini mereka lakukan sebagai suatu bentuk tindakan kehati-hatiaan.

Selanjutnya, barang siapa yang diwajibkan membayar kaffarat sedang kan orang tersebut tidak mampu memerdekakan budak atau mengerjakan puasa selama dua bulan berturut-turut atau tidak juga mampu memberi makan kepada enam puluh orang miskin, maka kewajiban itu menjadi gugur. Karena, tidak ada taklif kecuali dengan adanya kemampuan . Sebagaimana firman Allah Azza Wa jalla di dalam Surah Al-Baqarah ayat 286

لاَ يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلّاَوُسْعَهَا

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.

Adapun dalil lainnya yang sangat layak untuk dijadikan hujjah, yakni dalil yang dikeluarkan oleh Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, dimana beliau menggugurkan kafarat dari orang tersebut, saat orang tersebut memberitahu bahwa dia merasa kesulitan untuk membayar kaffarat, Bahkan, beliau (Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam) memberikan satu wadah kurma agar orang tersebut memberikan makan kepada keluarganya. Jadi saudaraku yang mencintai Sunnah, kita benar-benar diberi rahmat akan kemudahan dalam beragama ini, namun bukan berarti lantas kita memudah-mudahkan, hingga melanggar apa yang telah ditetapkan. Dan cermatillah, bahwa ternyata, wanita tidaklah diharuskan kaffarat atas hubungan badan yang dilakukannya. karena Nabi Shalallahu 'Alaihi Wasallam, telah memberitahukan kepada kita melalui hadits dari Abu Hurairah tentang apa yang dialami oleh seorang laki-laki dengan istrinya, dan Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam tidak mewajibkannya kecuali satu kaffarat saja yakni bagi silaki-laki dan tidak bagi wanitanya. Wallahu a’lam.

Adapun mengenai masalah fidyah, Maka hal ini terjadi jika seorang muslimin telah tua renta, sehingga tak kuat lagi untuk berpuasa, atau seorang muslimah alias wanita muslim yang sedang dalam kondisi hamil dan menyusui anaknya, kemudian wanita tersebut khawatir terhadap dirinya sendiri atau terhadap anaknya, maka keduanya boleh tidak berpuasa, dan hanya cukup dengan memberi makan orang miskin setiap hari. Adapun yang menjadi syahid dalam hal ini, adalah nash ilahi sebagaimana al-Qur’an Surah al-Baqarah ayat 184 :

وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيْقُو نَهُ, فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ

“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. “

Jadi saudaraku yang mencintai Sunnah, sebagaimana yang kami kutip dari Shifatu Shaumin Nabi fii Ramadhaan karya Syaikh Salim ‘Ied al Hilali dan Syaikh Ali Hasan al-Halabi, bahwa sisi penggunaan dalil, yakni Surah Al-Baqarah ayat 184, merupakan dalil di-khususkan-nya bagi orang yang sudah tua, wanita yang sudah sangat lemah , orang yang menderita penyakit yang tidak dapat disembuhkan, wanita yang sedang hamil, serta wanita yang sedang menyusui jika keduanya khawatir terhadap dirinya sendiri atau pada anak mereka, maka mereka semua ini jika tak berpuasa, maka mereka membayar fidyah yakni memberi makan seorang miskin sebanyak hari yang ditinggalkannya. Hal ini sebagaimana penjelasan Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu Anhu, dimana di dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari (semoga Allah merahmatinya) dari Ibnu ‘Abbas Radiyallahu Anhu : “Dan ditetapkan bagi orang laki-laki yang sudah tua dan wanita tua yang lemah, jika keduanya tidak mampu mengerjakan puasa, serta wanita hamil dan wanita yang menyusui jika keduanya khawatir pada dirinya atau pada anaknya, maka keduanya boleh tidak berpuasa, tetapi harus memberi makan setiap hari kepada satu orang miskin.”

Namun ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa hal ini (ibu hamil atau ibu-ibu yang sedang menyusui anak, yang tidak mampu berpuasa), maka mereka diharuskan mengqadha’ puasa yang mereka tinggalkan bahkan ada juga yang berpendapat bahwa ibu-ibu tersebut harus mengqadha’ dan membayar fidyah sekaligus. Wallahu a’lam.

Dan sebagaimana penjelasan dari Sahabat yang mulia Ibnu ‘Abbas Radiyallahu anhu, juga ada dalil penguat yang lain yang diriwayatkan oleh al-Baihaqi di dalam kitab Sunnanya melalui jalan al-Imam Asy Syafi’i (salah satu Imam Mazhab kita) dengan sanad shohih, sebagaiaman yang tertulis di Shifatu Shaumi Nabi fii Ramadhaan , dari Malik, dari Nafi’ bahwa Ibnu Umar pernah ditanya tentang seorang wanita hamil jika khawatir pada kandungannya. Maka dia (Ibnu Umar) menjawab : “Dia boleh tidak berpuasa, tetapi harus memberi makan satu mud gandum setiap hari kepada satu orang miskin.” Dan juga selain itu, diriwayatkan oleh al-Imam ad-Daraquthni (semoga allah merahmatinya) dari Ibnu Umar Radhiyallahu Anhu, bahwasanya “Wanita yang hamil dan wanita yang menyusui boleh tidak berpuasa dan tidak perlu mengqadha’nya.” serta di dalam riwayat yang lain : Bahwa istrinya pernah bertanya kepadanya ketika tengah hamil, maka dia menjawab : “Tidak perlu berpuasa, tetapi kamu harus memberi makan kepada orang miskin setiap hari dan tidak perlu mengqadha’. Adapun dalil lainnya, masih dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu Anhu : “Bahwa seorang anak perempuannya dinikahi oleh seseorang dari kaum Quraisy, sedang dia tengah hamil, lalu dia merasa HAUS disiang hari pada bulan Ramadhan, maka dia menyuruhnya untuk tidak berpuasa, dan mengharuskan memberi makan orang miskin untuk setiap hari yang ditinggalkannya.” Maka semua dalil atau nash-nash yang ana postingkan ini mempertegas bahwa bagi ibu-ibu yang sedang mengandung atau yang lagi menyusui anak-anaknya, maka ibu-ibu tersebut membayar fidyah yakni memberi makan satu orang fakir miskin setiap hari yang ditinggalkan. Untuk lebih jelasnya, baca Shifatu Shaumin Nabi fii Ramadhaan karya Syaikh Salim ‘Ied al Hilali dan Syaikh Ali Hasan al-Halabi.

Dan untuk lebih menegaskan dan menjelaskan, makna peniadaan kewajiban puasa bagi orang-orang yang tidak mampu menjalankannya dengan membayar fidyah, maka kalamullah Surah Al-Baqarah ayat 184 adalah sandarannya , dimana Allah Azza Wa jalla berfirman :

وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيْقُو نَهُ, فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ

“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. “

Jadi telah jelas bukan, bahwa bagi wanita hamil dan wanita menyusui termasuk dalam cakupan ayat ini bahkan termasuk yang di khususkan. Jadi bagi wanita hamil dan ibu –ibu yang menyusui yang mengkhawatirkan akan kondisi dan keadaan anaknya sehingga tidak dapat berpuasa maka cukuplah baginya membayar fidyah. Dan Ingat yang namanya fidyah itu memberi makan , bukan memberi uang. Jadi fidyah adalah memberi makan satu orang miskin.

Sekarang ini, marak dimasyarakat kita, jika mereka membayar fidyah maka mereka menggantinya dengan memberikan uang kepada petugas amil zakat. Padahal jelas ditegaskan bahwa فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Bukan memberi uang kepada amil zakat. Jadi sekali lagi kami meng-ingatkan diri kami dan saudaraku se-Iman se-Aqidah, bahwa yang namanya fidyah yakni memberi makan seorang miskin. Lantas kalau ada yang merasa membayar fidyah dengan uang dan diserahkan kepada petugas amil zakat, maka kami tegaskan orang tersebut telah melakukan sesuatu yang tak sesuai dengan perintah Allah azza wa jalla dan tak sesuai dengan Sunnah rasul-Nya. Maka dari itu, jika membayar fidyah maka berilah makan seorang miskin. Ingat fidyah tidaklah dapat diganti dengan uang. Karna fidyah tidak dengan uang, tetapi dengan makanan. Membayar fidyah berarti dengan memberi makan orang miskin. wallahu a’lam bishowab. Semoga dapat bermanfaat.

Dan sebagai penutup postingan kali ini, ada do’a yang dapat kita hafalkan dan amalkan. Dimana beliau (Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wasallam), pada waktu berbuka puasa, ( tentunya setelah membaca basmalah yakni بِسْمِ الّلهِ saat memasukkan makanan dan minuman kedalam mulut), maka Rasulullah membaca do’a :

ذَهَبَ ا لظَّمَا ءُ وَابْتَلَّتِ اْلعُرُوْقُ, وَثَبَتَ اْلأَ جْرُ

إِنْ شَاءَ اللهُ.

Jadi jangan salah ikhwa fillah, begitu tiba waktu berbuka, saat memasukkan makanan dan minuman kita lantas membaca do’a yang lain atau bahkan tidak membaca apa-apa, padahal telah diajarkan kepada kita bahwa do’a makan dan minum adalah membaca basmalah

عَنْ وَهْبِ بْنِ كَيْسَانَ أَبِي نُعَيْمٍ قَالَ


أُتِيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ


بِطَعَامٍ وَمَعَهُ رَبِيبُهُ عُمَرُ بْنُ أَبِي سَلَمَةَ


فَقَالَ سَمِّ اللَّهَ وَكُلْ مِمَّا يَلِيكَ


“dari Wahb bin Kaisan Abu Nu'aim ia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah diberi makanan, dan saat itu beliau bersama anak tirinya Umar bin Abu Salamah, maka beliau pun bersabda: "Bacalah Basmalah dan ambillah makanan yang ada didekatmu.".

Dan setelah kita membaca basmalah, yakni بِسْمِ الّلهِ kemudian kita memasukkan makanan atau minuman berbuka puasa kemulut dan makanan atau minuman tersebut telah membasahi kerongkongan kita, barulah setelah itu kita membaca do’a :

ذَهَبَ ا لظَّمَا ءُ وَابْتَلَّتِ اْلعُرُوْقُ,


وَثَبَتَ اْلأَ جْرُ

إِنْ شَاءَ اللهُ.


Adapun do’a yang masyhur ditengah-tengah kita selama ini, yakni yang biasa kita baca “Allahuma lakasumtu, wabika amantu... derajat haditsnya adalah dhoif atau lemah. Wallahu a’lam bishawab.

0 komentar: