Selasa, 03 Februari 2009

Badzlun Nada fii Khusnul Khuluq

Assalamu alaikum...
Alhamdulillah.... akhirnya efisode Husnul Khuluq alias akhlaq yang baik nyambung juga !
Pada bulan yang lalu, Alhamdulillah - telah ana postingkan tulisan Ustadz Ashim bin Mushtofa Hafidzahullah mengenai Kafful Adza yang merupakan unsur pertama dari Husnul Khuluq. Nah insya Allah posting kali ini mengenai unsur kedua dari Syarah Husnul Khuluq yang merupakan buah pikir dari ulama Salaf yang Masyhur yakni al-Imam Hasan al-Basri Rahimahullahu Ta'ala Anhu.
Adapun Unsur kedua dari Husnul Khuluq ini Saudaraku dinamakan oleh al-Imam Hasan al-Basri Rahimahullahu Ta'ala anhu, Badzlun Nada - yang kalau dibahasan ke dalam bahasa kita mengandung makna "senang memberikan bantuan kepada sesama" . Adapun tafsir perkatanya, Al-Badzlu bermakna mengulurkan dan meyodorkan. Sedang an-Nada bermakna al-Karam wal-Jud atau kemuliaan hati dan kedermawanan untuk membantu orang lain. Jadi saudaraku, sebagai salah satu anggota masyarakat, Kita haruslah berupaya menjadi seseorang yang pemurah dengan membantu dan berderma kepada orang lain. Bentuk bentuan dan derma ini tidak harus seperti yang dibayangkan kebanyakan orang yakni yang bersifat materi. Akan tetapi, bantuan dan derma yang diberikan dapat lebih luas dari itu. Yakni mencakup uluran tangan dan mengorbankan diri, waktu, dan gengsi, serta memanfaatkan kedudukan untuk menyelesaikan masalah yang dialami oleh saudara kita yang lain.
Misalkan nih, ada salah seorang dari kita yang mengorbankan sebagian waktunya untuk memberikan solusi dan menyelesaikan permasalahan masyarakat, dengan mendatangi pihak terkait yang tak dapat masyarakat sentuh untuk membantu menyelesaikan urusan-urusan mereka, maka orang tersebut berarti telah menjalankan dan menerapkan Badzlun Nada. Atau diantara kita ada yang selalu melakukan amar ma'ruf nahi mungkar kepada orang-orang. Maka, pantaslah ia memperoleh predikat sebagai manusia yang berhusnul khuluq (berbudi pekerti luhur). Sebab, ia telah menebarkan kebaikan kepada orang-orang yang membutuhkan, dengan mencegah mereka terjerumus kedalam kedzaliman serta kemaksiatan.
Mari Saudaraku...kita simak sabda Rasulullah yang masyhur, dimana Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam bersabda : “Bertaqwalah engkau dimanapun engkau berada. Iringilah kejelakan dengan kebaikan. Dan pergaulilah manusia dengan akhlaq yang baik.” Hadits ini derajatnya hasan, dan untuk lebih jelasnya merujuklah ke shahihul jami’.
Dan lebih lanjut mengenai unsur kedua ini, apabila ada seseorang yang berbuat aniaya kepada kita, maka sikap paling baik yang kita pilih ialah memberi maaf dan berlapang dada. Karena Allah ‘Azza wa Jalla menyanjung orang-orang yang memaafkan orang lain. Mari kita simak firman Allah Azza wa Jalla yang menyebutkan tentang sifat-sifat para penghuni surga di dalam Al-Qur'an Surah Ali Imaran ayat 237 : “(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik diwaktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menukai orang-orag yang berbuat kebajikan.”
Ayat-ayat lain yang menganjurkan pemberian maaf bagi orang yang berbuat tidak menyenangkan kepada kita, diantaranya :”…dan pemaafan kamu itu lebih dekat kepada takwa…”
Kemudian di Surah An-Nuur ayat 22 Allah Azza wa Jalla juga berfirman : “…dan hendaknya mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” Sedangkan di Surah Asy-Syura ayat 40 dikatakan : “...maka barangsiapa memaafkan dan berbuat baik, maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang dzalim.”
Jadi Saudaraku....penekanan sikap lapang dada dan pemberian maaf terhadap seseorang yang berbuat salah, lantaran pada kenyataannya, kita terkadang menjumpai sikap tidak menyenangkan dari orang lain dengan berbagai bentuknya. Sehingga pada saat itu dengan mengaca pada nilai-nilai luhur yang termuat dalam ayat-ayat di atas, sebaiknya kita senang memberi maaf dan toleransi.
Namun Saudaraku... hal ini, maksudnya memberi maaf dan toleransi tidaklah bersifat mutlak. Apalagi sipelaku kejahatan - merupakan seseorang yang sudah dikenal kejahatannya, maka untuk kondisi seperti ini, tindakan yang paling tepat ialah menghukumnya sesuai dengan tingkat kejahatannya. Karena tindakan inilah yang mengandung unsur ishlah.
Dalam hal ini saudaraku, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullahu Ta'ala Anhu berkata di dalam Kitabul Ilmi, “Memperbaiki atau ishlahh hukumnya wajib. Sedangkan memaafkan bersifat anjuran atau mandub.” Jadi dalam konteks ini jika peberian maaf justru tidak memperbaiki kondisi penggangguan atau kejahatan yang dilakukan orang tersebut, berarti kita telah mengutamakan hal yang bersifat anjuran di atas perkara wajib, dan itu berarti suatu kesalahan.
Lantas Sikap manakah yang lebih layak untuk kita terapkan dan lakukan !? Membalas keburukannya dengan kebaikan ataukah membalasnya dengan keburukan lagi? atau memaafkan dan membalas gangguan dengan reaksi yang sama ?
Mari kita simak firman Allah di dalam Surah Fushshilat ayat 34 : ”Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan) itu dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia.”. Jadi saudaraku... tindakan terbaik atau al-ahsan, berdasarkan petunjuk ayat di atas tentulah respon pertama yakni memaafkan dan berlapang dada dengan melihat kondisi dan situasinya. Simaklah Peringatan Allah ‘Azza wa Jalla dimana Allah Azza wa Jalla menyatakan, bahwa dengan sikap yang baik, maka seterunya tersebut atau orang yang melakukan gangguan, justeru akan mengalami perubahan sikap menuju positif secara drastis dan mendadak. Di dalam Al-Qur'an Surah Fushshilat ayat 35 Allah Azza Wajalla berfirman “Sifat-sifat yang baik itu, tidak dianugerahkan, melainkan kepada orang-orang yang sabar, dan tidak dianugerahkan, melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keuntungan yang besar.”
Selanjutnya Saudaraku se-Aqidah dan yang tegak diatas Manhaj yang lurus, Manhajnya para Sahabat Ridwanallahu 'Alaihim Ajemain. al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menambahkan alasan lain mengenai pentingnya persoalan ini di dalam Miftahu Daris-Sa’adah. dimana beliau Rahimahullahu Ta'ala Anhu berkata "Bahwa kita menyikapi sikap buruk orang lain dengan balasan yang baik, karena kitapun menginginkan Allah ‘Azza wa Jalla menyikapi demikian (dengan sifat ihsan) terhadap kekeliruan, kesalahan, dan dosa-dosa kita. Oleh karena itu barangsiapa yang menginginkan Allah menyikapi keburukannya dengan ihsan (diampuni dan dihapuskan) maka hendaklah ia menyikapi sikap buruk orang lain kepada dirinya dengan ihsan pula. Karena "al-Jaza min jinsil amal" dimana balasan itu sejenis dengan perbuatan yang dilakukan. Dan barang siapa mengetahui bahwa dosa-dosa dan perbuatan buruk itu sebuah keniscayaan pada manusia, maka perbuatan jelek orang-orang pada dirinya akan dianggap angin lalu yang tak membawa kemudharatan. Wallahu a'lam bish-showab.
semoga bermanfaat. Insya Allah ntar kita sambung lagi ama Unsur yang ketiga...

0 komentar: